TPA Sumurbatu sudah overload, Foto; Humas Pemkot Bekasi
SEJAK Februari 2016 lalu Tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPA) Sumur Batu Kota Bekasi sudah overload alias tidak mampu lagi menampung sampah. Akibatnya sampah terus menggunung. Gunungan sampah rawan longsor jika hujan lebat tiba. Sudah beberapa kali gunung sampah longsor dan menelan korban jiwa para pemulung. Dampaknya kerusakan lingkungan maha dasyat terjadi. Jutaan kubik gunungan sampah itu juga mengancam kesehatan warga sekitar. Perlu solusi yang tepat mengatasi darurat persampahan, bukan cuma memperluas lahan TPA, namun juga mengolah sampah secara modern yang ramah lingkungan. Â Â Â Â Â
Permasalahan persampahan terjadi karena produksi sampah warga kota dan sampah dari pasar terus meningkat. Sedangkan TPA Sumurbatu kondisinya sudah overload. Dengan penduduk sekitar 2,6 juta, setiap hari warga kota menghasilkan volume sampah 6119 meter kubik atau setara 1528 ton per hari. Armada truk yang tersedia 181 unit mampu mengangkut sekitar 650 – 700 ton per hari atau sekitar 60 % lebih. Sisa sampah sekitar 40 % sebagai dipilah dan didaur ulang warga melalui bank sampah yang tersebar di 110 titik bank sampah.
Sebagian lagi dipilah para pemulung, didaur ulang menjadi komposing dan sekitar 10% sampah yang tidak terangkut berada di TPS liar. Kesadaran warga yang minim dan tidak mau bau sampah, malah membuang sampah seenaknya di pinggir-pinggir jalan. Modusnya, memasukkan sampah ke kantong plastik dan membuangnya pagi-pagi buta saat berbarengan berangkat kerja. Biasanya, warga yang membuang sampah liar karena di domilisi tinggal, Â pembuangan sampah tidak dikelola oleh RT setempat. Â Â
Sementara kondisi TPA Sumurbatu seluas 15,8 hektar yang sudah overload, rencana perluasan untuk zona 6 Â terkendala pembebasan lahan. Langkah darurat yang dilakukan dengan mengatur trap di zona 3, 5-D dan zona 5 B. Â Rencana pembebasan lahan seluas 3,6 hektar milik pengelola TPST Bantargebang terkendala harga lahan yang cukup mahal, tidak sesuai NJOP.Â
Hingga saat ini TPA Sumurbatu masih memakai sistem sanitari landfiel belum terbarukan. Sehingga proses pembusukan sampah sangat lama dan malah membuat gunungan sampah sehingga rawan longsor saat musim hujan. Sementara alat berat jenis beko milik Pemkot Bekasi cuma 6 unit tidak sebanding dengan masuknya volume sampah yang masuk per hari. Daya tampung TPA Sumurbatu sudah bludak overload sejak Februari 2016. Kekuatiran darurat sampah perkotaan sedikit teratasi dengan sinyal Pemprov DKI Jakarta yang memperbolehkan, sampah Kota Bekasi dibuang di TPST Bantargebang.
Pemandangan di lokasi, tumpukan sampah tertinggi sudah mencapai 20 meter, sedangkan terendah sekira 4-5 meter. Sampah itu terdiri dari berbagai macam, seperti sampah pohon, rumah tangga, plastik, kaleng dan sebagainya. Kondisi saat ini volume sampah di TPA Sumurbatu mencapai dua juta meter kubik. Sampah itu berada di lima zona pembuangan sampah, yakni zona 1, 2, 3, 4, 5A sampai 5D.
Rencana pembebasan tanah warga sekitar seluas 3,6 hektar untuk perluasan zona TPA belum terlaksana pada tahun 2015 lalu. Kendalanya, warga tidak setuju dengan harga yang ditawarkan pemerintah daerah. Warga meminta harga tanahnya dibayar Rp 890.000 per meter, padahal Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) di sana fluktuatif berkisar Rp 250.000-Rp 350.000. Alokasi anggaran untuk pembebasan sebesar Rp 32 miliar di tahun 2015 tidak terpakai. Â
PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA SAMPAH
Pengolahan sampah menjadi pembangkit listrik sudah dirintis, namun melihat dari pengolahan yang sama dilakukan TPST Bantargebang hingga kini tidak maksimal, masih perlu pembuktian. Pengelolaan pembangkit listrik tenaga sampah atau PLTSa, di TPA Sumurbatu dikerjakan PT. Nusa Wijaya Abadi Industries Group (NWAG), dengan investasi mencapai Rp130 miliar.
Pada instalasi tahap awal ada dua unit mesin pengolah sampah menjadi listrik yang akan dipasang. Mesin tersebut masing-masing berkaplahan asitas produksi 2,3 MW, hasil pengolahan 384 ton sampah warga Kota Bekasi dalam satu hari. Kemudian tahap selanjutnya akan kembali menambah enam mesin pengolah sampah masing-masing berkapasitas 2×2,3 MW, 2×4 MW, dan 2×6 MW. Sehingga total produksi listrik dari sampah di TPA Sumurbatu mencapai 29,2 MW dari bahan baku 2.450 ton sampah masyarakat Kota Bekasi setiap harinya.
Untuk instalasi mesin pertama akan membutuhkan waktu sekitar sembilan bulan, unit dua butuh waktu pemasangan 12 bulan, unit tiga akan selesai dalam 15 bulan, unit empat rencananya selesai dalam 18 bulan, sementara unit lima hingga delapan diperkirakan selesai setiap enam bulan per unit. Target instalasi mesin akan rampung paling cepat 42 bulan. Jika tidak ada pasokan sampah baru, pasokan sampah di TPA Sumurbatu akan habis dalam waktu 15 tahun ke depan.
Dengan adanya kerja sama pengolahan sampah dengan pihak ketiga ini, nantinya akan menghasilkan pembangkit listrik melalui sampah tersebut. Dengan adanya PLTS itu bisa menghemat anggaran sebesar Rp5 miliar setiap tahunya. Namun, semua itu realita secara kongrit agar penangan sampah lebih mudah.
ANCAM PENCEMARAN DAN KESEHATAN WARGA
Dalam monitoring yang dilakukan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jakarta sepanjang April 2014-Februari 2016 difokuskan pada lingkungan hidup di TPA Sumurbatu  dan sekitarnya, menghasilkan gambaran nyata betapa buruknya pengelolaan lingkungan.
Dalam laporannya WALHI menjelaskan TPA Sumurbatu tidak dilengkapi IPAS. Sekeliling Zona III, IV, VA, dan VB atau Zona aktif TPA Sumurbatu tidak dilengkapi saluran air hujan (drainase) dan pengelolaan air leachate (IPAS) sehingga sangat mengancam pencemaran lingkungan dan kesehatan warga sekitar.
Kondisi yang sangat mengkhawatirkan TPA Sumurbatu adalah sebagian besar tumpuk sampah di Zona aktif dan tidak aktif dilakukan cover-soil. Dulu Zona I,II, III dan IV pernah di cover –soil namun belum tertutup semuanya, karena sebagian sampah masih kelihatan. Terutama sampah non organik, seperti plastik.
Pada akhir 2015 Zona IV dimanfaatkan sebagai proyek penangkapan gas sampah, jadi ditutup geo-membrant. Berbarengan dengan itu justru semua zona penuh dan kini TPA Sumurbatu dalam keadaan darurat.
Ancaman kerusakan dan pencemaran lingkungan terjadi di Zona VA dan VB atau Zona baru. Tumpukan sampah yang volumenya mencapai ribuan ton sama sekali belum pernah di cover-soil. Dampaknya air lindi langsung kemana-mana, termasuk ke kali Ciketing.
Berdasarkan pengamatan WALHI pada akhir April 2015, bahwa Zona III, IV, VA dan VB (zona baru) tidak mempunyai saluran air hujan (drainase), sehingga antara air hujan dan leachate sampah menyatu menjadi satu, mengalir ke tanah dan kali Ciketing. Dengan kata lain, semua Zona baru tersebut tidak mempunyai IPAS atau water-treament.
Pemkot Bekasi tidak memiliki kepekaan terhadap kondisi TPA Sumurbatu. Ada pengelola sampah, namun tidak menjadikan kompos/pupuk organik sehingga setiap Zona aktif cepat penuh paling lama hanya 10-11 bulan saja. Pabrik kompos mangkrak , sorting plant jadi sarang ternak lalat dan kolam ikan. Padahal proyek-proyek itu dibangun dengan dana ratusan hingga milyaran rupiah. Bahkan ada proyek bantuan dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kemen PUPR) dan Pemerintah Jepang.
Akibat tidak ada pengelolaan sampah di TPA. Contoh Zona baru sejak mulai dioperasikan tahun 2015 belum sampai 3,5 bulan sudah penuh. Bahkan tumpukan sampah sudah menutupi badan jalan utama. Artinya sampah sama sekali tidak diolah. Jika diolah pasti akan terkurangi volumenya.
Pengelolaan TPA Sumurbatu menunjukkan cara-cara kerja tidak profesional, tidak ada Standar Operasional Prosedur (SOP) apalagi standar internasional. Sejak TPA Sumurbatu dioperasikan sudah memendam permasalahan, dan ketika dioperasionalkan permasalahannya semakin bertambah besar, kompleks dan sangat mengerikan.
Pada Mei 2015 - Februari 2016 Pemkot Bekasi mulai bingung mencari perluasan lahan TPA Sumurbatu guna pembangunan zona baru. Pada tahun ini membutuhkan tanah 1-2 hektar. Sebetulnya luas lahan ideal 10-15 hektar untuk 5 sampai 10 tahun kedepan.
Tetapi kendalanya, lahan kosong di sini semakin sempit dan harganya semakin mahal. Harga tanah secara umum mencapai Rp. 500.000- 700.000/meter persegi, bahkan ada yang menawarkan sampai Rp. 1 juta/ meter persegi. Naiknya harga tanah di sekitar TPA Sumurbatu akibat kebutuhan ekspansi industri /pabrik. Sejumlah pengusaha dari Tangerang, Jakarta dan Bekasi pindah memilih pinggiran TPA ketimbang daerah lain.
Sebagai bahan pelajaran , bahwa Zona IV TPA Sumurbatu mengalami beberapa kali longsor. Longsor pada 2013 pernah menelan korban nyawa pemulung . Malapetaka sampah terulang lagi. Selain itu Zona III TPA Sumurbatu juga mengalami beberapa kali longsor lebih dulu.
Korbannya adalah pabrik kompos BUMD Mitra Patriot hancur. Hingga kini pabrik kompos belum pulih dan akhirnya tidak beroperasi lagi. Padahal pabrik kompos yang tidak mengelola sampah TPA tersebut menelan anggaran milyaran rupiah.
Kemudian warga menuntut agar sampah diolah dengan tehnologi modern, ramah lingkungan merapikan dan cover-soil gunungan sampah, membuat saluran air dan IPAS baru, pemagaran keliling dan buffer zone, penyedian air bersih, pengobatan gratis, konvensasi atau uang bau, dan lain-lain.
Pada umumnya masalah pengelolaan sampah di berbagai daerah, terutama Jabodetabek sejak dari sumbernya. Kemudian dalam perjalanan menuju pembuangan akhir. Sampah manjadi masalah bagi daerah yang dilewati, karena air lindi menetes sepanjang jalan ditambah bau tidak sedap. Akibat truk sampah yang digunakan tidak layak dan bukan peruntukannya.
Catatan WALHI ini setidaknya menjadikan Dinas Kebersihan Kota Bekasi terus mencari terobosan bagiaman mengelola TPA Sumurbatu dengan sistem terbarukan yang ramah lingkungan. Mengelola sampah secara terpadu, modern dan beradab agar sampah tidak menjadi momok warga kota namun bagaimana menjadikan sampah sebagai sahabat yang harus ditangani, diolah dengan daur ulang agar berguna dan bermanfaat bagi kehidupan. Bukan menimbulkan malapeta ancaman kemanusiaan. SEMOGA
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H