Vidya, punya keyakinan kuat, kasus yang dialaminya pasti juga banyak dialami oleh orang lain. Kecenderungan mayoritas diam yang membuat kasus-kasus seperti ini tidak terungkap ke permukaan. Stigmatisasi dan persekusi selalu ujung-ujungnya salah kaprah pandangan masyarakat. Tidak ada kebenaran di mata orang yang perspektifnya salah. Tidak ada yang baik di mata orang yang pikirannya senantiasa menjelek-jelekkan.
Sudut Pandang Kurban
Persoalan kaum sehati memang merupakan persoalan kaum minoritas dalam masyarakat. Jumlah mereka semakin besar. Sub-kultur mereka juga makin terbuka. Sikap Vidya menunjukkan terobosan baru perilaku empatik terhadap kaum sehati. Bukan buat apologi atau pembelaan diri melainkan buat mendudukkan soal secara proporsional. Agar sikap penuh prasangka terhadap kaum minoritas tak makin mengeras.
Mengapa paradigma Vidya tentang kaum minoritas seksual terbilang progresif, meluas, dan mendalam? Vidya kutu buku yang rakus membaca referensi dengan sudut pandang kurban. Kebiasaan membaca buku bermutu didorong rasa ingin tahu itu jelas menumbuhkan pikiran kritis. Membaca buku membuat pikiran mengembang seperti parasut. Buku membuat manusia berpikir bukan menerima sesuatu yang sudah jadi.
Membaca membuat Vidya belajar tentang manusia sekaligus belajar menjadi manusia. Vidya menyukai buku Agustinus Wibowo, Selimut Debu (2010). Buku kisah perjalanan yang dengan memikat menuturkan kultur homoseksualitas di Afghanistan. Kaum lelaki Afghan di balik adat patriarkat dan machoisme yang sulit ditandingi  bangsa manapun, di balik jubah dan jenggot tebal mereka, ternyata penggemar sinetron India Karena Ibu Mertua Pernah Menjadi Menantu. Opera sabun dengan lakon utama seorang wanita tangguh yang tidak pernah menyerah pada dominasi lelaki dalam keluarga.
Pejuang Afghan suka menyelipkan bunga di bedil mereka. Afghan, negeri yang tak putus dirundung perang itu, kaum lelakinya sangat merindukan perempuan. Perempuan di sana tak bisa leluasa bepergian di luar rumah tanpa didampingi suami. Perempuan Afghan mahkluk tanpa identitas. Ke manapun pergi selalu tertutup rapat burqa. Di rumah pun kaum lelaki tak bisa menemui perempuan tanpa izin keluarga. Memandang perempuan merupakan kekuranajaran tak terperi. Harga mahar untuk perempuan sangat mahal. Di desa mas kawin perempuan nilainya setara dengan 150 ekor kambing. Akibatnya, kaum lelaki Afghan jarang yang menikah. Merebaklah kultur Bachabazi. Lelaki dewasa memelihara bocah lelaki sebagai pelampiasan hasrat seksual. Bachabazimakna harafiahnya play with boy. Nyaris semua tarian macho mengarah pada erotisme kaum lelaki. Setali tiga uang  tradisi warok di Ponorogo atau gandrung lanang di Banyuwangi.
Bachabazi relatif masih lebih termaafkan ketimbang zina. Humor lelaki Afghan lebih menjurus ke hubungan badan antar lelaki atau organ tubuh lelaki. Jangan sesekali kamu membungkuk memungut uang jatuh di jalanan Kandahar. Pantatmu bisa ditembus dari belakang. Humor macam ini, dengan berbagai variasinya, banyak beredar di Afghanistan. Sebaliknya humor porno menyangkut organ tubuh perempuan sangat jarang terdengar. Jika Anda pemuda berkulit mulus tanpa bulu, tanpa jenggot, dan tanpa cambang, berhati-hatilah. Anda akan ditawari menginap di rumah lelaki Afghan. Iming-imingnya, "Aku punya Vaseline, di rumah." Â
Rezim Taliban saat berkuasa sangat menentang bachabazi. Adat berhubungan seksual dengan bocah-bocah yang sudah mendarah daging diberantas. Pelaku hubungan sejenis dihukum dengan diambruki tembok. Di negeri yang hancur karena perang, tembok rusak tersedia melimpah. Taliban tak memberi ampun pada homoseks. Apalagi pelaku zina perkosaan. Maling dipotong tangannya. Jasad perampok digantung di pinggir jalan buat menciptakan efek jera. Candu dilarang. Jangankan kriminalitas, meja, kursi, dan lukisan tidak boleh. Semua orang harus duduk di lantai beralas karpet atau matras.
Pelecehan seksual, kendati hukum ditegakkan dengan keras, justru makin gamblang dan intens. Aturan yang terlalu ketat rupanya membuat orang depresi dan butuh pelampiasan. Agustinus Wibowo, sebagaimana dikisahkan dalam Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan (2013), mengalaminya berkali-kali. Seorang polisi menjilati lehernya saat berpelukan salam perpisahan sehabis wawancara. Tak terhitung pantatnya diremas. Seorang penumpang bus yang penuh sesak mencuri kesempatan menggesek-gesekkan kelaminnya di selangkangan Agustinus. Bahkan, polisi harus patroli di dalam bioskop, saat film diputar, buat mencegah penonton masturbasi. Â Â
Agustinus Wibowo, dalam Garis Batas (2011), menulis refleksi bagus. Renungan yang sangat mempengaruhi perilaku Vidya. Manusia pada hakekatnya musafir. Hidup sesungguhnya perjalanan sepanjang hayat melintasi pelbagai garis batas. Garis batas alam seperti laut, sungai, danau, dan gunung. Garis batas buatan manusia seperti Great Wall, Tembok Berlin, dan kawat berduri. Pula garis batas portabel abadi yang dibawa kemanapun sang musafir pergi: warna kulit, gender, dan orientasi seksual. Dalam peziarahannya musafir berulang kali mempertanyakan, menyangkal, menerima, dan mengakui identitasnya. Peziarahan musafir memang perjalanan mengukuhkan identitas. Soalnya dalam tubuh musafir sudah melekat begitu banyak identitas alias garis batas portabel. Garis batas membuat hidup manusia penuh warna. Betapa membosankan bila semuanya tampak sama.
Bangsa Afghanistan dan Tajikistan, sejak dulu, dipisahkan sungai Amur Daya. Shahnama, epos klasik bangsa Persia menuturkan bagaimana sungai legendaris itu memisahkan Iran dengan Turan, dua negeri yang saling bermusuhan. Rustam, pemimpin Iran, adalah jagoan tak terkalahkan. Ia ditakuti di seluruh pelosok negeri. Tanpa sepengetahuan Rustam, salah satu gundiknya melahirkan anak lelaki di negeri musuh. Sohrab, anak lelaki itu, besar menjadi pejuang tangguh. Walau berdarah Iran, Sohrab berjuang membela Turan---negeri orang Turki di seberang sungai Amur Daya. Suatu hari, Rustam dan Sohrab, bertarung di bantaran sungai agung. Ayah dan anak yang tidak saling mengenal itu berkelahi membela panji-panji negara masing-masing. Sohrab sedang mencari ayahnya. Rustam gigih membela kehormatan negerinya. Sohrab mati di ujung pedang ayah biologisnya. Rustam berlinang air mata menyesali takdir garis batas yang dengan bengis memisahkan anak dengan orang tuanya. Â