Mohon tunggu...
J Sumardianta
J Sumardianta Mohon Tunggu... -

Penulis buku Guru Gokil Murid Unyu (2103); Mendidik Pemenang Bukan Pecundang (2016) & Jatuh 7 Kali Bangkit 8 Kali (2017)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Absurditas di Tepian Garis Batas Seksualitas

8 Juli 2017   11:30 Diperbarui: 8 Juli 2017   21:49 975
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Vidya dididik di lingkungan keluarga heteroseks. Bapaknya pendoyan durian. Relasi luasnya memungkinkan si bapak berkawan dengan kalangan para pendoyan rambutan. Seorang pengusaha, teman bapaknya Vidya, meninggal 2014 karena HIV/AIDS. Pengusaha ini punya istri dan anak. Di luar rumah si bos juga punya banyak "momongan brondong". Pengusaha itu bisa disebut sebagai Sugar Daddy. Bapak yang murah hati bagi para para lelaki muda yang menjadi kekasihnya. Vidya melepas Ardha karena tidak siap mendapati kenyataan kelak suaminya pulang membawa momongan. Atau bernasib tragis seperti kawan bapaknya.

Vidya dan keluarganya tidak membenci Ardha. Perasaan jengkel, sedih, dan marah pasti ada. Mereka bisa mengendalikannya. Emosi (takut, sedih, senang, bahagia) itu selalu didahului kognisi. Orang takut karena pikirannya mendapat sinyal adanya ancaman. Sedih karena pikiran membaca adanya gejala hendak kehilangan. Marah karena pikiran mendapat informasi adanya pengkhianatan. Senang karena pikiran mendapat pengetahuan adanya perhatian.

Mentalitas Sinergis

Mereka, dalam kasus ini, melihat dengan sudut pandang berbeda dari perspektif masyarakat pada umumnya. Vidya didik orang tuanya dengan paradigma sinergi. Cara berpikirku ketemu cara berpikirmu menghasilkan cara berpikir kita. Paradigma menang-menang, menang-kalah, atau kalah-kalah, bagi orang tua Vidya, sudah tidak memadai buat mengurai konflik di zaman mileneal.

Ardha, kendati memiliki orientasi seksual berbeda, tetap dihargai Vidya dan keluarga besarnya. Hidup sebagai kaum sehati, sebutan yang diberikan Dede Oetomo  bagi kaum homoseks, dalam Memberi Suara padayang Bisu (2001), sungguh tidak mudah. Mereka masih tetap dianggap sebagai wabah sehingga terus dimusuhi. Padahal, banyak di antara kaum homoseks merupakan figur cemerlang. Entah ada atau tidak, hingga sekarang belum pernah jelas, kaitan kecemerlangan otak dengan orientasi seksual pada sesama jenis kelamin ini.

Nama-nama besar yang termasuk dalam barisan kaum sehati antara lain raja Alexander Agung, kaisar Julius Caesar, filsuf Yunani klasik Plato dan Aristoteles, Boden Powell (bapak kepanduan internasional), Michelangelo dan Leonardo da Vinci (pemahat dan perupa), John Maynard Keynes, (ekonom neo-klasik), Michel Foucault (posmodernis), Elton John (penyanyi), dan Gianni Versace (designer). Dari kalangan sastrawan internasional antara lain Oscar Wilde, Virginia Woolf, Walt Wiltman, dan Nikolai Gogol.

Konstruksi sosial yang menempatkan kaum homoseks sebagai penyebar epidemi, menurut Seno Joko Soyono, dalam Tubuh yang Rasis (2002), telah berabad-abad mengendap di alam bawah sadar masyarakat. Tak heran bila kebesaran prestasi dan sumbangan mereka bagi kemajuan peradaban tak kunjung mengubah pencitraan buruk (imagologi) yang terlanjur diterakan pada kaum homoseks. Kontribusi mereka cenderung dikesampingkan. Homophobia, prasangka berlebihan terhadap gay dan lesbian, terlanjur berurat-berakar. mBalung sumsum. Tak gampang dikikis.

Vidya dan keluarganya tidak memperlakukan Ardha dan teman-teman sehatinya sebagai manusia berorientasi seksual menyimpang. Homoseksualitas, entah gay, lesbi, transgender, dan biseksual bukanlah anomali sosial. Fenomena homoseksualitas diterima dengan apa adanya sebagai kodrat. Orang tidak bisa melawan kodrat. Arang tak mungkin bisa berubah menjadi putih sekalipun sudah dibilas. Siapapun tidak bisa menolak dilahirkan sebagai manusia dengan orientasi homo, hetero, dan biseks.  Kaum Sehati, secara sosiologis tidak bisa lagi disebut manusia anti-sosial. Secara psikologis mereka juga bukan manusia pengidap kelainan mental.

Inilah yang dimaksud dengan cara berpikir sinergis. Kaum mayoritas (hetero) seharusnya menghargai minoritas (homo). Tugas si banyak mestinya melindungi yang sedikit. Vidya menyadari bahwa paradigma sinergis keluarganya ini terlampau maju. Berseberangan dengan pandangan umum masyarakat kebanyakan yang masih menistakan kaum sehati. Vidya, semasa kuliah, mendalami ilmu-ilmu sosial post-modern. Pengejaran dan pengambinghitaman terhadap kaum minoritas selalu terkait dengan politik identitas. Perihal pengambinghitaman kaum minoritas ras, etnis, agama, dan orientasi seksual ini Vidya mendapat penjelasan paling memadai dari Sindhunata (2006), Kambing Hitam: Teori Rene Girard.

Saat jutaan orang Eropa tewas akibat wabah sampar pada abad pertengahan kaum minoritas Yahudi yang dipersalahkan, dikejar, dan dianiaya sebagai penyebab malapetaka. Padahal penyebaran epidemi pes yang meluas di seluruh Eropa daratan ditularkan tikus-tikus yang membonceng kapal-kapal Afrika yang sedang bongkar muatan di pelabuahan Genoa, Italia. Krisis hebat akibat jatuhnya pemerintahan Soeharto memicu kerusuhan etnis. Minoritas China yang dikambinghitamkan.

Pembubaran petemuan kaum homo dan lesbi di Yogyakarta dan Surabaya pada awal 2000 terjadi bersamaan menguatnya politik identitas sesudah keruntuhan rezim Orde Baru. Pun pembubaran pesta kaum gay di Jakarta belum lama ini juga terjadi saat pemerintah sedang sibuk menghalau radikalisme dan terorisme. Penguatan politik identitas selalu terjadi saat kondisi masyarakat sedang didera krisis hebat. Kaum minoritas pasti mengalami stigmatisasi dan persekusi. Kaum pendoyan rambutan mesti mewaspadai bahaya laten penguatan politik identitas yang setiap saat potensial mengambinghitamkan, mengejar, dan menganiaya mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun