Mohon tunggu...
Gurgur Manurung
Gurgur Manurung Mohon Tunggu... Konsultan - Lahir di Desa Nalela, sekolah di Toba, kuliah di Bumi Lancang Kuning, Bogor dan Jakarta

Petualangan hidup yang penuh kehangatan

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Romantisme Itu Dahsyat Setelah Kesetiaan Teruji

14 Oktober 2020   08:14 Diperbarui: 14 Oktober 2020   09:16 312
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : Tribunnews.com

Ketika saya kuliah kebiasaan kebaktian di gereja tru selalu duduk di belang. Ketika di Bogor gereja kami memiliki balkon. Di Balkon itulah langganan saya duduk jika kebaktian. 

Di suatu hari minggu siang, saya kebaktian duduk di balkon. Seorang wanita cantik terlambat kebaktian dan duduk persis di sampingku.  Ketika kotbah pendeta itu bertanya, " mengapa penyanyi dan pencipta lagu romantis banyak yang bercerai?". Pendeta itu dengan suara yang amat kencang selalu mengulang, "mengapa? mengapa? mengapa? mengapa saudaraku?

Saya berbisik ke perempuan cantik nan ayu itu.  Menurutmu mengapa iya, dek?.  Kemudian, mengapa pula orang Batak yang konon tidak romantis tidak mudah bercerai?, tanyaku.

Gadis cantik  yang rambutnya panjang, berpakain ala tradisional Batak yang begitu indah itu menjawab tidah tahu. Kemudian  saya bertanya  lagi.  Mengapa kalau orang Batak itu jarang bercerai padahal tidak romantis? 

Gadis itu menjawab, tidak tahu.  Menurut abang, kenapa? tanyanya balik.  Saya jawab, " mungkin saja romantis  itu dinikmati dan penasaran melakukan romantis lagi dengan orang yang berbeda, tetapi orang Batak lebih menitikberatkan kepada kesetiaan dibandingkan romantsime".  Bisa saja orang Batak memahami bahwa kesetiaan adalah kehidupan yang paling romantis. 

Jika kita pikir, romantisme tanpa kesetiaan adalah ketersiksaan, bukan? Bagaimana jika pasangan tidak saling percaya?. Nah, pemahaman romantisme menjadi panjang ceritanya, kan? jelasku. 

Kotbah selesai, cerita kami pun selesai.  Maksud hati kebaktian yang khusuk, berubah menjadi seolah petemuan biasa. Berharap Tuhan mengampuni saya dan gadis cantik itu ketika itu.  

Ketika kebaktian selesai, gadis itu meminta nomor telepon saya. Gadis itu mengatakan senang berkenalan denganku dan nanti ingin curhat.  Tidak lama kemudian, gadis itu menelpon saya dan sering curhat. 

Gadis itu curhat tentang  ketidakromatisan pacarnya. Pacarku, kaku katanya.  Saya mengatakan, tidak elok menceritakan hal itu kepada saya, karena  beresiko potensi jatuh cinta lagi\, candaku.  Sampaikanlah keinginanmu kepada pacarmu, dan jangan sampaikan kepada orang lain. Setialah kepadanya dan putuskan pacarmu jika tidak ada damai sejahtera.  Kami memutuskan kominikasi sejak  percakapan itu.

Pertanyaan pendeta itu menarik. Jika kita perhatikan memang, bahwa banyak pencipta lagu yang amat romatis dan penyanyi lagu-lagu romatis bercerai dengan pasangannya. 

Pertanyaan itu menarik sekali  bagi para  peneliti perilaku. Sejak kuliah, saya pernah mempelajari perilaku ikan (fish behavior). Nelayan-nelayan di laut itu menangkap ikan dengan menggunakan cahaya. 

Jika ada cahaya di laut, maka ikan berkumpul di cahaya itu. Hal itu memudahkan nelayan menangkap ikan. Ketika kecil, saya sering menangkap ikan di sungai dengan menggunakan cahaya dimalam hari.  Ikan kelihatan bodoh jika sudah ada dibawah cahaya.

Dimulai dari ketertarikan perilaku ikan, kemudian tertarik dengan perilaku hewan, termasuk satwa liar.  Ternyata perilaku makhluk hidup itu  selalu berulang. Itu-itu saja berulang.  

Kesenangan saya belajar perilaku itulah suatu ketika ada beberapa teman kostku polisi. Suatu ketika ada tawuran anak-anak  sekolah. Ketika tawuran, ada beberapa  membawa benada tajam . 

Polisi teman kost saya itu  mengehentikan tawuran dan tibalah waktunya untuk pengakuan siapa pemilik benda tajam  itu.  Teman-temanku polisi itu memaksa mereka untuk mengakui siapa pemiliknya.  Anak-anak itu ketakutan dan tidak ada yang mau mengakui siapa pemilik benda tajam yang bentuk sabit rumput itu.  

Keadaan mencekam karena marah-marah dan pemaksaan. Saya berbisik ke polisi yang masih mud  itu. Bisa ngak saya yang bertanya kepada mereka?. Polisi itu memperbolehkan.

Saya menenangkan atau mencairkan suasana dengan cara bicara yang lembut. Adik-adik sebetulnya tidak ada yang berencana tawuran kan?. Rencana mau meyabit rumput tadi, kan? 

Hanya karena kalian diganggu lalu kalian marah, iya kan? Betul pak, sahut salah satu anak yang terlibat tawuran itu. Terus, siapa tadi yang membawa sabit ini dari rumah untuk menyabit rumput? Saya pak, kata salah satu diantara mereka. Siapa lagi?

Mereka mengakui semua, siapa  pemilik masing-masing sabit itu. Padahal, sudah sangat lama dipaksa polisi siapa pemilik sabit itu, tidak ada yang mengakui.

Setelah kejadian itu, kami ngobrol di tempat kost bahwa  untuk mendaptkan informasi tidak harus memaksa. Tetapi, ada teknik yang baik untuk mengetahui informasi secara akurat. Teman-teman polisi yang masih muda-muda itu mengiyakan apa yang saya katakan.  

Dalam kejadian kita seharihari, jika kita memahami perilaku maka akan menolong kehidupan kita. Jika kita memahami kesukaan teman, maka dengan mudah kita menyenangkan hatinya. 

Jika ada hal tertentu tidak disukai teman kita, maka jangan lakukan hal itu kepadanya. Dengan demikian, hidup kita aman dan tenteram. Memahami perilaku manusia dan makhluk hidup juga erat kaitanya dengan kepekaan sosial. Kepekaan kita sangat menolong untuk memahami orang lain dan alam sekitar kita.

Menyadari pentingnya pengetahuan tentang perilaku, maka saya tertarik dengan pertanyaan pendeta itu.  Ketika saya jawab pertanyaan  gadis cantik itu soal mengapa orang Batak  yang konon kurang romatis tidak bercerai dan jawaban saya karena setia tentu saja jawaban asal-asalan. Mengapa? Karena ketika itu muncul subjektifitas.  Walaupun subjektif, tetapi pertanyaan pendeta itu menjadi pertanyaan serius bagi saya.

Beberapa tahun yang lalu, saya melewati suatu desa di Lintong Nihuta, Kabupaten Humbanghas, Sumatera Utara. Seorang kakek dan nenek  pulang dari  gereja sepanjang jalan berpegangan tagan. 

Kakek dan nenek itu berjalan dengan bungkuk, usia kakek 82 tahun dan nenek itu 80 tahun.  Romantisme mereka saya videokan dan saya unggah di medsos. Unggahan saya itu mendapat respon yang luar biasa. Penonton video itu hingga 600 ribu  satu video. Satu  video  lagi  banyak juga,  sekitar 400 ribu yang menonton. Padahal, saya hanya videokan pegangan tangan kakek dan nenek yang sudah tua itu. 

Di pesta adat orang Batak, di kota dan di desa saya sering mengamati nenek yang usianya di atas 70-an tahun selalu mencari suaminya. Saya sering tanya, mengapa cari-cari suaminya?

Jawabnya hampir sama. Jawabannya adalah suaminya tidak makan jika tidak didampingi atau kuatir tidak makan jika tak diingatkan. Ketika makan dipesta, umumnya perempuan Batak yang sudah tua membantu suaminya makan dengan manambah nasi atau lauk ke piring suaminya. Romantis sekali. Tetapi, apakah mereka sadar bahwa mereka sangat romantis?.

Tahun 2008 tetangga kami, orang tuanya datang dari kampung. Orang tua mereka laki-laki umurnya 78 tahun dan ibunya 76 tahun. Suatu pagi si kakek jalan-jalan  di kompleks perumahan  dan tidak pulang.  

Si nenek (oppugn panggilannya dalam Bahasa Batak) begitu kuatir.  Kata si nenek sangat kuatir dan kelihatan sekali betapa dalamnya cintanya kepada suaminya.  Ketika suaminya ketemu, betapa bahagianya si nenek itu. Saya mendengar cerita dari tetangga kami itu bahwa kebahagiaan si nenek adalah menyiapkan makan suaminya, menyiapkan dasi, pakaian, sepatu suami jika ke pesta, ke geraja atau kemanapun menjadi kepauasan tersendiri. Kebahagian si nenek adalah mengurus suaminya walaupun sudah lelah pulang dari ladang.

Baru-baru ini ada seorang kakek sakit gula, jantung dan hipetensi diusia 75 tahun.  Si kakek dinyatakan positif Covid19.  Ketika si kakek dibawah ke rumah sakit, si nenek tidak mau pisah.  Kata si nenek, satu-satunya yang bisa merawat suaminya hanya dia. 

Jika ditinggal, pasti meninggal. Dalam Bahasa Batak dikatakan, "holan ahu do naboi mangattusi sahit ni i, mate namai molo so ahu  mangurus" ( hanya aku yang bisa mengetahui sakitnya, hanya aku yang bisa mengurusnya". Si nenek tidak pernah meninggalkan rumah sakit. Dan, si kakek sembuh dan nenek pun sehat-sehat saja.

Banyak sekali hasil pengamatan saya soal romantisme di masa tua. Pertanyaannya adalah mengapa tulisan ini  membahas seolah hanya perempuan yang romantis?. Bukankah romantisme itu harus laki-laki dan perempuan?

Dalam pengamatan saya, sumber romantisme itu berasal dari perempuan.  Laki-laki di masa tua tidak menunjukkan romantisme. Laki-laki terkesan lebih senang baca koran daripada bernostalgia dengan pasangannya. 

Sementara, kaum perempuan menunggunya. Walaupun romantisme perempuan begitu dahsyat, laki-laki terkesan cuek tetap saja perempuan tidak menyebut, "aku bukan pengemis cinta" kayak lagu dangdut. Perempaun menikmati romantisme dengan memberi cinta yang tulus dan dalam.  Jadi, romantisme itu dahsyat  ketika kesetiaan telah teruji.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun