"Dalam berbagai hasil penelitian dan survey hampir tidak ada korelasi pengumpulan massa untuk memengaruhi pemilih. Jika pengumpulan massa yang berkerumun tidak berkorelasi dengan sikap pemilih mengapa dilakukan pengumpulan massa?"
Ketika Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan bahwa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak akan berlangsung 9 Desember 2020 dalam kondisi Pandemi Covid-19 banyak yang protes. Mereka protes karena potensi berkerumun dimasa kampanye sangat tinggi.
Kekuatiran akan potensi berkerumun itu telah menunjukkan tanda-tanda ketika pendaftaran Pasangan Calon (Paslon) ke KPU tanggal 4-6 Sepetember 2009. Hampir semua Paslon yang mendaftar ke KPU membawa massa sebanyak-banyaknya. Mereka seolah lupa, kondisi kita pandemi. Hanya beberapa Paslon yang peduli protocol kesehatan.
Fakta rakyat pendukung Paslon ramai-ramai ke KPU ketika pendaftaran sebagi tanda bagi kita bahwa kampanye menjelang Pilkada serentak hamper dipastikan akan menjadi kluster baru Covid-19. Lalu, langkah apa yang akan dilakukan semua elemen bangsa untuk menyiasatinya?
Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Calon Legislatig (Pilcaleg) khususnya di tingkat pusat tahun 2019 yang lalu sudah hamper semua meninggalkan pola kampanye mengumpulkan massa dengan banyak. Model kampanye Akbar seperti masa Orde Baru (Orba) nyaris ditinggalkan Partai Politik (Parpol).
Parpol dengan berbagai hasil survey menunjukkan bahwa kampanye akbar tidak efektif dan efisien untuk merebut hati pemilih. Selain tidak efektif dan efisien kampanye akbar itu sangat mahal. Lalu, mengapa Parpol sudah meninggalkan kampanye akbar justru muncul lagi menunjukkan jumlah massa ketika pendaftaran Paslon ke Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD)?
Nampaknya, para Paslon di Pilkada serentak ini ketinggalan informasi hasil-hasil survey Lembaga Independen yang khusus menangani Pilpres, Pilcaleg dan Pilkada.
Hasil penelitian Dwidyawati dari Universitas Samratulangi yang dilakukan di Minahasa Utara tahun 2016 menunjukkan bahwa pemilih memilih karena ada kaitannya dengan pendidikan, jabatan atau pekerjaan dan jenis kelamin atau usia.
Memilih dilihat dari keterkaitan seseorang dengan partai politik, orientasi seseorang terhadap isu-isu dan orientasi seseorang terhadap kandidat, memilih untuk tujuan diri sendiri dengan beberapa alternatif mana yang maksimal baginya, pemilih yang lebih melihat sosok figur dari kandidat calon kepala daerah, meski diberi barang berupa kebutuhan pokok atau dalam bentuk apapun, tidak mempengaruhi pemilih.
Dalam berbagai hasil penelitian dan survey hampir tidak ada korelasi pengumpulan massa untuk memengaruhi pemilih. Jika pengumpulan massa yang berkerumun tidak berkorelasi dengan sikap pemilih mengapa dilakukan pengumpulan massa?
Dalam konteks kekinian, patut diduga para Paslon atau orang-orang disekitarnya masih percaya pengumpulan massa yang banyak mempengaruhi pemilih.
Betapa sedihnya, dalam konteks kekinian dengan risiko pengumpulan massa menjadi kluster baru Covid-19 dan ternyata tidak berkorelasi dengan terpilihnya Paslon.
Tahun 2000 an ketika masi awal reformasi saya memiliki teman yang menjadi ketua partai baru di sebuah Kabupaten. Kawan ini sangat serius membangun eksistensi partai di daerahnya. Ketika mau pelantikannya sebagai ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) dia mengundang ketua umum partai dari Jakarta.Â
Dalam rangka menunjukkan eksistensinya dia mengundang masyarakat perwakilan dari setiap desa. Dia mengumpulkan massa yang sangat banyak.
"Risiko itu kita tangguli jika hanya dan jika kita semua komponen bangsa secara sadar akan risiko Pilkada serentak ini. Dampak dari kesadaran ini adalah semua kita belajar taat kepada protokol kesehatan dan minimalisir konflik sesame kandidat."
Ternyata, ketika dihitung biaya kawan itu stress memikirkannya. Betapa mahalnya biaya mengumpulkan massa. Kawan itu terlilit utang karena mengumpulkan massa yang sangat banyak. Mengumpulkan massa dengan biaya sendiri. Tidak menyangka jumlah biaya sebanyak itu.
Risiko paling tinggi dari Pilkada 9 Desember 2020 adalah munculnya kluster baru Covid-19. Risikonya adalah penularan Covid-19 yang tidak terkendali. Lalu, jika hal yang kita kuatirkan itu terjadi, siapa yang akan bertanggung jawab?
Mengapa hal-hal yang tidak berguna seperti pengumpulan massa masih dilakukan? Bagaimana kampanye yang paling efektif dan efisisen dalam konteks Covid-19 agar tidak menjadi kluster baru?
Penyelenggara Pemilu KPU dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) harus tegas. Sebab, risiko Pilkada menjadi kluster sangat berbahaya. Bagaimana bangsa ini mengatasi jika Pilkada serentak di 270 daerah yaitu 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota menjadi kluster baru?
Kita memahami, di berbagai daerah Rumah Sakit belum memadai untuk menyembuhkan mereka. Betapa mengerikan jika Pilkada menjadi kluster baru.
Menyadari bahwa jika Pilkada tahun 2020 menjadi kluster baru menjadi tragedy bagi negeri kita tercinta maka secara realistis KPU, Bawaslu dan semua komponen bangsa tidak siap mengatasi jika terjadi maka semua kandidat dan pendukungnya harus menyadari agar taat kepada protokol kesehatan. Ketaatan kita kepada protokol kesehatan sekaligus kampanye bagi kita untuk menarik simpati pemilih.
Mengingat bahwa satu-satunya jalan menyiasati agar Pilkada 2020 tidak menjadi kluster baru Covid-19 adalah kesadaran Paslon dan pendukung maka metode kampanye dan ke Tempat Pemilihan Suara harus taat protokol kesehatan. Demikian juga dengan penghitungan suara juga sangat rentan menjadi kluster baru.Â
Lelah dan sarat konflik tingkat tinggi. Keputusan KPU menyelenggarakan Pilkada serentak 9 Desember 2020 memang sangat berisiko.Â
Risiko itu kita tangguli jika hanya dan jika kita semua komponen bangsa secara sadar akan risiko Pilkada serentak ini. Dampak dari kesadaran ini adalah semua kita belajar taat kepada protokol kesehatan dan minimalisir konflik sesame kandidat.Â
Dampak lain kesadaran ini adalah pilihlah metode kampanye yang kreatif dengan meminimalisasi risiko kluster baru Covid-19. Jika kita semua sadar akan risiko kluster baru Covid-19 maka kita akan lewati agenda pelaksanaan tugas konstitusi ini dengan baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H