Mohon tunggu...
Gurgur Manurung
Gurgur Manurung Mohon Tunggu... Konsultan - Lahir di Desa Nalela, sekolah di Toba, kuliah di Bumi Lancang Kuning, Bogor dan Jakarta

Petualangan hidup yang penuh kehangatan

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Alternatif bagi Petani Sawah yang Sulit Ekonomi di Toba

7 Juni 2020   11:35 Diperbarui: 8 Juni 2020   10:42 982
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Tribun Medan/Ho

Di suatu pagi, saya mengopi dengan beberapa orang teman di kedai kopi di Toba. Pagi itu kami duduk menjelang Pilkada. Duduk ngopi bersama dengan para pendukung yang berbeda. Tiga kandidat dan semua pendukung ngopi bersama. Siapakah yang menang?

Salah satu dari kami bertanya, sisa uang siapa yang masih banyak, itulah yang menang. Salah satu menjawab, pragmatis kali kau. Dijawab lagi dengan, "munafik kali kau". Memang itulah realitanya, katanya lagi. Mereka bebas bicara, saling memojokkan, tapi tetap akur dan saling mengingatkan agar kopinya ditambah (tambai kopi mi katua).

Seorang politisi ketika itu mengatakan, daerah-daerah yang rentan politik uang adalah jika penduduk itu berharap dari padi saja.

Bayangkan, jika petani hanya panen sekali setahun tanpa penghasilan tambahan. Mereka itulah sangat rentan politik uang.

Kemudian, satu lagi menjawab, "siapa tak rentan politi uang?", banyak kali ceritamu. Semua orang butuh uang, jangan banyak cincongmu, jawabnya dengan mimik yang lucu. Begitulah komunikasi orang Toba.

Mereka berdialog dengan suka-suka saja walaupun kadang konflik karena beda pendapat. Biasanya konflik tidak lama. Itulah uniknya kedai kopi dan tuak di Toba.

Tulisan ini tidak membahas siapa yang rentan politik uang, karena sangat subjektif. Sama subjektifnya seolah-olah orang miskin yang korup orang kaya tidak akan korup. Realitanya, orang kaya yang ditangkap KPK pada umumnya. Manusia, tidak ada puasnya. Ido kan (begitu kan?).

Hal yang menarik bagi saya adalah pernyataan kawan tadi, bahwa rakyat petani padi yang panen hanya sekali setahun sangat rentan politik uang.

Benarkah? Mengapa dia berakata begitu? Ketika pendemi Covid 19 datang saya melihat banyak petani yang diberikan sembako yang terdiri dari beras, mie, telur ayam dan lain sebagainya. Saya menjadi teringat percakapan  pagi itu. Benar bahwa petani sawah menerima beras.

Beberapa bulan yang lalu, saya berdialog dengan direktur Rumah Tani yang baru bung Irvan. Bung Irvan mengatakan perlu riset apa masalah sesungguhnya yang dialami petani tiap daerah.

Petani sawah Manggarai, Sulawesi Selatan, Jawa Barat dan berbagai daerah pasti berbeda. Karena sistem pertaniannya berbeda. Karena itu, perlu riset untuk mengetahui persoalan mendasar tiap daerah dan kebijakan apa yang dibutuhkan.

Beberapa hari kemudian, ketemu dengan peneliti dari Kementerian Pertanian teman saya kuliah dulu yang mengatakan bahwa di kampung abang perlu diriset agar kebijakan yang tepat sebagai solusi. Petani tidak beradaya karena sering salah memberi kebijakan.

Dari dua pembicaraan itu, kemudian saya diskusi dengan kawan-kawan penyuluh pertanian di Toba. Apa masalahnya? Kebijakan apa yang sudah diberikan ke petani Toba? Apa kendalanya?

Dari semua dialog dan diskusi, saya belum mendengar kebijakan ke petani Toba. Selama ini yang muncul ke permukaan adalah pemerintah salah memberikan bibit jagung sehingga beberapa kecamatan gagal panen. Petani yang mengalaminya menjerit.

Kasus ini pernah saya telusuri, dan berujung kepada pembiaran. Padahal, petani telah rugi mempersiapkan lahan, menyiangi, memupuk dan waktu untuk merawat.

Ketika membuka lahan atau kegiatan baru, petani kehilangan modal. Begitulah konsekuensi bekerja yang tidak serius bagi petani.

Sebagai anak petani yang terus menerus mengamati, walaupun kendala tanpa data karena pemkab Toba miskin data maka yang dapat kita pikirkan sebagai alternatif adalah bagaimana jika petani sawah yang lahannya sedikit, atau tidak punya lahan (buruh tani)?

Bagi daerah yang lahannya hanya sawah perlu dicarikan pemkab lahan untuk perladangan untuk sayur-sayuran, ubi kayu (singkong), ubu jalar, cabai, tomat, terong, jahe, dan berbagai komoditas.

dokpri
dokpri
Desa-desa yang tidak memiliki lahan itu ada Kecamatan Porsea seperti Patane keseluruhan dan Desa lain.

Di Kecamatan Parmaksian ada Lumban Sitorus dan sekitranya. Di Kecamatan Laguboti, Sigumpar, Bonatua Lunasi, Ajibata dan semua di data di desa mana saja yang tidak memiliki lahan atau lahannya hanya sedikit.

Jika petani tanpa lahan dan tidak di intervensi pemerintah, sulit mereka bangkit dari kemiskinannya. Tidak mungkin maju karena tidak mampu menyekolahkan anak.

Bayangkan, jika rakyat miskin anaknya sekolah di sekolah yang gurunya di sekolah tidak up grade (diperbarui secara terus menerus).

Rakyat miskin memiliki anak hanya mengharapkan mendapat keajaiban pendidikan dengan mendapat beasiswa, melalui olah raga dan berbagai keajaiban lainya.

Keajaiban itu pun muncul jika ada yang memfasilitasi seperti pencarian bakat. Bakat itupun bisa muncul jika ada yang mendorong. Realitanya yang mendapat beasiswa adalah anak orang kaya. Sangat sulit anak orang miskin memperolehnya.

Ketika data rakyat yang memiliki lahan tidak ada atau sedikit (tidak layak) maka pemkab dapat mendata lahan tidur (tidak difungsikan) di seluruh Tobasa atau lahan baru yang memungkinkan.

Lahan baru yang memungkin itu ada di Kecamatan Habinsaran, Borbor dan Nassau. Juga ada di Kecamatan Uluan, Lumban Julu, Meranti dan lain sebagainya.

Pemkab dapat berdialog dengan para kepala desa dan tokoh adat. Pemkab harus memiliki strategi meyakinkan bahwa Kabupaten Toba maju secara bersama.

Mungkin Kecamatan Habornas, Uluan, Meranti dan Kecamatan lain yang layak dibuka baru akan keberatan. Tetapi Pemkab harus meyakinkan status tanah.

Pemkab juga harus meyakinkan keuntungan apa yang didapatkan tuan rumah. Dibuat perjanjian secara tegas dan jelas. 

Dan, pertanian ini menggunakan teknologi tepat guna dan dijamin harga. Banyak cara yang dilakukan untuk kestabilan harga jika kreatif.

Cara menjaga harga stabil adalah meningkatkan nilai tambah produk pertanian seperti mengolah nenas, saos cabai, saos tomat dan mencari pasar yang sudah pasti.

Petani bisa kuat jika dikelola dengan baik. Bagaimana mengelola dimulai dari cara membuat atau memilih bibit unggul, memilih pupuk dengan dosis yang tepat dan ramah lingkungan, cara menanam yang tepat, cara memupuk yang tepat, cara memelihara yang tepat, cara panen yang tepat dan penanganan pasca panen dan menjaga pasar agar stabil.

Dalam kondisi sekarang, keadilan tidak ada bagi petani sawah. Bertani di sawah untuk menanam padi itu sangat melelahkan dan harga tidak stabil.

Bisa dibayangkan petani padi panen sekali dan harga tidak stabil. Bagaimana mampu menyekolahkan anak? Lebih mengerikan petani sawah itu pupuk tidak ditemukan dan tidak ada alternatif untuk mencari pupuk seperti kompos.

Jikalaupun ada niat membuat kompos, bahan baku kompos tidak ada. Sampah kita dimana mana menjadi masalah, padahal sampah sangat baik untuk bahan baku kompos.

Petani sawah tidak mampu melakukan itu karena tidak ada modal seperti kendaraan untuk mengangkut. Kendala petani tidak memiliki modal untuk memulai.

Dalam konteks permasalahan inilah sejatinya dibutuhkan Bupati Toba yang energik, cerdas, berintegritas dan selalu mencari jalan alternatif.

Dalam kondisi sekarang petani pasrah. Pasrah karena tak berdaya. Bupati sibuk dengan persoalan internalnya. Betapa dahsyatnya dampak pembangunan atau dasyatnya rakyat bangkit dari kemiskinan jika pemimpinya berpihak kepada rakyat.

Tulisan ini hanyalah sebagai contoh bagimana kita harus mencari alternatif untuk kesejahteraan bersama.

Jika terjadi lahan baru di Borbor misalnya, bisa saja rakyat Laguboti sekitarnya yang bertani dengan fasilitas angkutan umum oleh pemerintah ke lahan pertanian. Petani itu pagi berangkat dan pulang sore dengan angkutan yang difasilitasi pemerintah.

Bisa saja kepala keluarga sekali seminggu atau sekali tiga hari pulang. Rakyat Borbor pun akan bahagia ketika volume produk sangat banyak untuk diantar ke ibukota Provinsi seperti Medan maupun ke kota lain seperti Pekanbaru, Batam dan Jakarta.

Harga produk petani tidak ada karena jumlahnya sedikit. Jadi, sama-sama untung jika makin banyak petani di Habornas.

Pemerintah Pusat melalui Kementerian Lingkungan dan Kehutanan banyak membuat hutan lindung. Hutan lindung itu bisa saja dikeluarkan dengan catatan fungsi lingkungan tidak tereduksi.

Mengapa tidak? Kita harus memilih, apakah kita biarkan petani tanpa lahan (buruh tani) terus akan diberikan sembako atau keluarkan hutan lindung untuk rakyat dan ketaatan kita untuk menjaga fungsi lingkungan?

Hidup kita untuk peradaban, tidak ada peradaban jika rakyat miskin kita biarkan.

dokpri
dokpri

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun