Petani sawah Manggarai, Sulawesi Selatan, Jawa Barat dan berbagai daerah pasti berbeda. Karena sistem pertaniannya berbeda. Karena itu, perlu riset untuk mengetahui persoalan mendasar tiap daerah dan kebijakan apa yang dibutuhkan.
Beberapa hari kemudian, ketemu dengan peneliti dari Kementerian Pertanian teman saya kuliah dulu yang mengatakan bahwa di kampung abang perlu diriset agar kebijakan yang tepat sebagai solusi. Petani tidak beradaya karena sering salah memberi kebijakan.
Dari dua pembicaraan itu, kemudian saya diskusi dengan kawan-kawan penyuluh pertanian di Toba. Apa masalahnya? Kebijakan apa yang sudah diberikan ke petani Toba? Apa kendalanya?
Dari semua dialog dan diskusi, saya belum mendengar kebijakan ke petani Toba. Selama ini yang muncul ke permukaan adalah pemerintah salah memberikan bibit jagung sehingga beberapa kecamatan gagal panen. Petani yang mengalaminya menjerit.
Kasus ini pernah saya telusuri, dan berujung kepada pembiaran. Padahal, petani telah rugi mempersiapkan lahan, menyiangi, memupuk dan waktu untuk merawat.
Ketika membuka lahan atau kegiatan baru, petani kehilangan modal. Begitulah konsekuensi bekerja yang tidak serius bagi petani.
Sebagai anak petani yang terus menerus mengamati, walaupun kendala tanpa data karena pemkab Toba miskin data maka yang dapat kita pikirkan sebagai alternatif adalah bagaimana jika petani sawah yang lahannya sedikit, atau tidak punya lahan (buruh tani)?
Bagi daerah yang lahannya hanya sawah perlu dicarikan pemkab lahan untuk perladangan untuk sayur-sayuran, ubi kayu (singkong), ubu jalar, cabai, tomat, terong, jahe, dan berbagai komoditas.
Di Kecamatan Parmaksian ada Lumban Sitorus dan sekitranya. Di Kecamatan Laguboti, Sigumpar, Bonatua Lunasi, Ajibata dan semua di data di desa mana saja yang tidak memiliki lahan atau lahannya hanya sedikit.
Jika petani tanpa lahan dan tidak di intervensi pemerintah, sulit mereka bangkit dari kemiskinannya. Tidak mungkin maju karena tidak mampu menyekolahkan anak.