Musim hujan kembali membawa jutaan rindu yang tersesat. Dedaunan menari tertiup angin. Pepohonan mengikuti irama yang dimainkan alam untuknya serta penghuni bumi. Jalanan berlumpur dan kubangan terbentuk membuat perkampungan di pinggiran kota sulit untuk dilewati.
Persawahan terendam dan membuatnya tampak seperti danau cokelat penuh lumpur. Lumut tumbuh subur diantara dinding atau benda yang lembab. Cucian? Tidak ada yang sempat untuk mengeringkannya. Semuanya basah. Begitu juga seorang pria yang murung diguyur hujan. Terlunta jalannya kemudian menepi di dekat pertokoan yang tutup. Mulai sepatu hitam sampai kemeja putihnya, basah. Rambutnya meneteskan sisa air hujan yang menempel, mengendap dan mungkin membuat kepala pria tersebut pusing. Tak lama, dia menangis.
Orang-orang lewat dengan atau tanpa payung. Berjalan maupun berlari. Ada yang menatapnya sedih, heran dan adapula yang hanya lewat. Pria tersebut lalu membuka tas punggungnya yang sedari tadi menggantung sekenanya seakan harga dirinya juga ikut didalamnya. Mengeluarkan map warna warni dari dalamnya yang sudah basah, tinta di tiap kertasnya luntur. Tidak ada yang tersisa dari dirinya. Mungkin.
Duduknya mulai lemah, wajahnya menatap kebawah sambil rambutnya meneteskan air. Tangannya menangkup, mengusap wajahnya. Tebak selanjutnya. Dia menangis tersedu. Dia coba tahan, tapi mungkin rasa dihatinya bergejolak dan sudah tak mungkin dibendung. Tanggul rasanya telah jebol mengalirkan energi negatif keluar lewat tangisnya. Menyesak, merasuk dan meresap. Hujan dengan syahdunya menutupinya dengan lebat tangis seorang pria yang berusia dua puluh tahun menangis di depan toko yang tutup di kala sore.
Tiba-tiba cipratan air mengenai tubuh pria itu. Tidak jauh jaraknya, seorang perempuan berdiri di depannya membawa payung yang cepat-cepat ditutup. "Maaf, Saya tidak sengaja." Ucap perempuan tersebut yang lalu duduk disebelahnya. Hujan makin lebat, mungkin hari ini bendungan rasa dan air di langit sudah tanggung jebol. Jadi, sekalian saja dihabiskan, begitu kiranya.
Tiga menit hanya ada suara hujan. Lima belas menitpun masih sama. Tiga puluh menit sudah dua orang berbeda genre duduk diam menanti hujan yang tidak tau kapan akan berhenti. Jalanan yang rusak berkubang berkali kali memantulkan sorot lampu yang mulai menyala. Pertanda hari mulai gelap.
      "Emm... Mas." Perempuan tersebut mulai berbicara. "Mas tidur, ya?"
      "Kalau tidur jangan disini mas." Suaranya samar dihantam hujan. "Ih ga malu. Saya aja neduh disini malu kalau ada yang lewat."
      Sesegukan... "Mbak." kata pria disampingnya.
      "Iya."
      "Bisa diam, gak?" suaranya sengau akibat ingusnya bercampur aduk.
      "Bisa. Tapi daritadi kita sudah diam lama. Saya bingung ngapain, mandangin hujan aja gak seru."
      "HP."
      "Oh iya. Saya kok lupa." Perempuan itu merogoh sakunya. "Yah lupa bawa. Keburu mau beli nasi tadi. Jadi ketinggalan di rumah."
      Diam...
      "Mbak.." pria itu lantas mengusap wajahnya. Menegakkan kepala kemudian menatap perempuan yang sedari tadi menanti jawaban dengan menatap dirinya. "Bisa gak, enggak lihat saya kaya mau nangkep kucing kabur."
      "Hihihi... masnya sih. Dari tadi diem aja. Tapi muka mas kok serem, ya. Abis digebukin preman?"
      "Jatoh terus ketemu bidadari cerewet."
      "Kok bisa." Percakapan lalu mengalir selaiknya air hujan yang turun dan mengalir menuju sungai.
      "Hapus dulu deh tuh make up karakternya mas? Nih sapu tangan." Tawar perempuan itu pada si pria.
      "Makasih mbak."
      "Kita semacam terasingkan dari dunia, tertutup rimbunnya hujan yang membentang bak kelambu. Berbicara dengan santai. Padahal kita belum pernah saling mengenal."
      "Mungkin memang begitu. Tapi, Saya dapat ngobrol dengan mas juga karena saya gak ingin lihat orang-orang di dekat saya sedih. Makanya, Saya beranikan diri ngomong. Kalau nggak gitu, apa iya mas mau ngomong dulu. Mustahil. Karena Saya sudah pernah." Jawab perempuan tersebut. "Saya Rani." Diapun tersenyum.
      "Ranu." Mereka lalu berjabat tangan dengan sama-sama keduanya basah. Percakapan berakhir. Hujan juga mulai mereda dan lampu kota dari tadi sudah menyala menemani mereka. Tangan mereka basah. Begitu juga hati masing-masing yang basah, kini mulai menghangat. Mungkin.
      "Mas, hujannya sudah reda. Saya pulang dulu. Mari." Pamit Rani yang lekas membawa payung dan bayangnya menjauh dari Ranu yang masih duduk dengan seutas senyum masih terjaga.
Perempuan dengan rambut yang diikat kuncir kuda lambat laun lenyap dan menyisahkan lampu jalan kampung yang semakin lama sepi. Motor mulai merayap, menghentikan suara ribut yang sedari pagi sampai sore membuat bising. Ranu yang masih duduk di depan toko, wajahnya kembali sedia sebelum bertemu Rani. Hawa negatif kembali menyebar.Â
Tubuhnya penuh dengan dendam, kebingungan, sedih dan ragu menjadi satu bertumpuk sampai otaknya mungkin sudah tidak lagi kuat menahan segala emosi dan rasa tersebut. Tangannya mulai menggila, dia mulai meraung lirih. Menangis lagi dan berdiri mengamit semua tumpukan map, menyobeknya dan kemudian membuang ke tempat sampah.
Ranu melangkah dengan sesak yang masih tersisa. Langkahnya masih gontai. Menembus gelapnya malam yang hanya dihias lampu di pojok jalan dan terkadang mati. Pria malang, dia dihadang beberapa orang dengan motor modifikasi yang beraneka warna. Cepat dan kalap, beberapa orang segera merebut tas, memukul dan hampir saja menusuk dengan belati di tangannya, beruntung Ranu dapat menghindar. Tapi, sebuah pukulan mendarat keras di kepalanya.Â
Beramai-ramai, kumpulan geng motor mulai merampas, menelanjangi tubuh tegapnya yang layu bak bunga mekar terpetik dari pohonnya. Tubuhnya yang cokelat ternodai warna  merah yang mengalir dari kepala, perut serta mulutnya. Hujan kembali turun. Geng motor lenyap dengan bawaan yang mungkin tidak berbobot.
Hujan mengguyur tubuh tinggi cokelat yang kini telanjang dengan hanya celana dalam yang menutupi kemaluannya. Tengkurap dan tak bergerak. Sapu tangan dari Rani yang tadi ditemui di depan toko ikut basah oleh hujan dan juga darah.
Tanah kembali gembur dan air mulai menggembung lagi dimana-mana. Sudut kampung yang memang sepi dan gelap, karena lampu disana sengaja dimatikan. Bukan oleh pemerintah, tapi oleh para geng motor bringas yang terus memeras orang asing yang mungkin sekadar lewat. Lampu mati, gelap sudah. Hanya orang nekat yang melewati jalanan seperti itu. Mungkin juga dikatakan sinting jika sudah tau bahwa jalan tersebut adalah sarang para preman maupun geng motor yang bringas.
Kasihan Ranu. Pria muda yang ingin hidup dengan nyaman di kota besar. Mencoba menggapai dengan seluruh upayanya. Nahas, dia harus mati dulu untuk dapat menikmati hidupnya yang diimpikan. Mungkin nanti bila dia bereinkarnasi, segala kemungkinan yang diinginkannya dapat terwujud atau tidak sama sekali.Â
Teruntuk Rani yang entah sekarang ada dirumah menanti sapu tangannya kembali terpaksa pupus dimalam ini. Mungkin dia hanya ingin menghibur Ranu yang terlihat kehilangan hidupnya. Tapi satu hal dari pertemuan mereka adalah perasaan Ranu pada Rani yang juga ikut tersapu oleh darah dimalam sunyi dan dingin.
*Salam untuk kalian yang sedang menjalani hidup   Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H