"Mungkin memang begitu. Tapi, Saya dapat ngobrol dengan mas juga karena saya gak ingin lihat orang-orang di dekat saya sedih. Makanya, Saya beranikan diri ngomong. Kalau nggak gitu, apa iya mas mau ngomong dulu. Mustahil. Karena Saya sudah pernah." Jawab perempuan tersebut. "Saya Rani." Diapun tersenyum.
      "Ranu." Mereka lalu berjabat tangan dengan sama-sama keduanya basah. Percakapan berakhir. Hujan juga mulai mereda dan lampu kota dari tadi sudah menyala menemani mereka. Tangan mereka basah. Begitu juga hati masing-masing yang basah, kini mulai menghangat. Mungkin.
      "Mas, hujannya sudah reda. Saya pulang dulu. Mari." Pamit Rani yang lekas membawa payung dan bayangnya menjauh dari Ranu yang masih duduk dengan seutas senyum masih terjaga.
Perempuan dengan rambut yang diikat kuncir kuda lambat laun lenyap dan menyisahkan lampu jalan kampung yang semakin lama sepi. Motor mulai merayap, menghentikan suara ribut yang sedari pagi sampai sore membuat bising. Ranu yang masih duduk di depan toko, wajahnya kembali sedia sebelum bertemu Rani. Hawa negatif kembali menyebar.Â
Tubuhnya penuh dengan dendam, kebingungan, sedih dan ragu menjadi satu bertumpuk sampai otaknya mungkin sudah tidak lagi kuat menahan segala emosi dan rasa tersebut. Tangannya mulai menggila, dia mulai meraung lirih. Menangis lagi dan berdiri mengamit semua tumpukan map, menyobeknya dan kemudian membuang ke tempat sampah.
Ranu melangkah dengan sesak yang masih tersisa. Langkahnya masih gontai. Menembus gelapnya malam yang hanya dihias lampu di pojok jalan dan terkadang mati. Pria malang, dia dihadang beberapa orang dengan motor modifikasi yang beraneka warna. Cepat dan kalap, beberapa orang segera merebut tas, memukul dan hampir saja menusuk dengan belati di tangannya, beruntung Ranu dapat menghindar. Tapi, sebuah pukulan mendarat keras di kepalanya.Â
Beramai-ramai, kumpulan geng motor mulai merampas, menelanjangi tubuh tegapnya yang layu bak bunga mekar terpetik dari pohonnya. Tubuhnya yang cokelat ternodai warna  merah yang mengalir dari kepala, perut serta mulutnya. Hujan kembali turun. Geng motor lenyap dengan bawaan yang mungkin tidak berbobot.
Hujan mengguyur tubuh tinggi cokelat yang kini telanjang dengan hanya celana dalam yang menutupi kemaluannya. Tengkurap dan tak bergerak. Sapu tangan dari Rani yang tadi ditemui di depan toko ikut basah oleh hujan dan juga darah.
Tanah kembali gembur dan air mulai menggembung lagi dimana-mana. Sudut kampung yang memang sepi dan gelap, karena lampu disana sengaja dimatikan. Bukan oleh pemerintah, tapi oleh para geng motor bringas yang terus memeras orang asing yang mungkin sekadar lewat. Lampu mati, gelap sudah. Hanya orang nekat yang melewati jalanan seperti itu. Mungkin juga dikatakan sinting jika sudah tau bahwa jalan tersebut adalah sarang para preman maupun geng motor yang bringas.
Kasihan Ranu. Pria muda yang ingin hidup dengan nyaman di kota besar. Mencoba menggapai dengan seluruh upayanya. Nahas, dia harus mati dulu untuk dapat menikmati hidupnya yang diimpikan. Mungkin nanti bila dia bereinkarnasi, segala kemungkinan yang diinginkannya dapat terwujud atau tidak sama sekali.Â
Teruntuk Rani yang entah sekarang ada dirumah menanti sapu tangannya kembali terpaksa pupus dimalam ini. Mungkin dia hanya ingin menghibur Ranu yang terlihat kehilangan hidupnya. Tapi satu hal dari pertemuan mereka adalah perasaan Ranu pada Rani yang juga ikut tersapu oleh darah dimalam sunyi dan dingin.