Mohon tunggu...
Marius Gunawan
Marius Gunawan Mohon Tunggu... Freelancer - Menulis adalah usaha Meng-ada-kan ku

Mencari aku yang senantiasa tidak bisa kutemui

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Menilik Alasan MK "Membunuh" KPK

7 Mei 2021   12:11 Diperbarui: 7 Mei 2021   16:56 250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: stlevipardosi.blogspot.com


Palu sudah diketuk oleh MK. MK adalah lembaga tertinggi di negara ini untuk menguji apakah Undang - Undang yang ada sesuai dengan konstitusi atau tidak.

Secara formal, dengan penolakan untuk mencabut Undang - undang hasil revisi UU KPK mungkin hanya dilihat sebagai perubahan peraturan saja. 

Namun jika dikaji lebih mendalam, dengan tidak dicabutnya undang - undang hasil revisi itu adalah berarti membunuh KPK yang selama ini merupakan institusi paling disegani dalam memberantas korupsi.

Ya, dengan Undang - undang baru tersebut independensi KPK sudah digerogoti, padahal independensi adalah syarat mutlak dalam usaha penegakan hukum agar tidak dijadikan alat politik kekuasaan dan pihak yang berkepentingan.

Apakah keputusan MK ini sudah sungguh didasari nalar obyektif dan rasa keadilan yang seharusnya jadi tolok ukur utama? Mari kita tilik alasan itu satu persatu.

Mengenai UU KPK yang tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR. Mahkamah menilai dalil tersebut tidak beralasan menurut hukum.

MK mengatakan, RUU KPK sudah masuk dalam Prolegnas sejak lama, terkait lama atau tidaknya pembahasan tergantung pada UU itu sendiri.

Alasan MK ini nampaknya sangat verbal. Padahal kita ketahui bahwa setiap tahun DPR sudah menentukan Undang - undang mana yang menjadi prioritas untuk dibahas. Jika undang - undang itu tidak  masuk Prolegnas, maka biasanya tidak dibahas karena sebenarnya masih ada undang - undang prioritas yang sudah disepakati bersama.

Keanehan memang terjadi ketika undang - undang KPK diminta untuk direvisi. Walau bukan menjadi undang - undang prioritas di Prolegnas, tapi justru dibahas dengan proses yang sangat cepat. Ada kesan bahwa saat itu terjadi situasi di mana ada bargaining kuasa politik. 

Usaha untuk merevisi UU KPK sebenarnya sudah sering dilakukan sebelumnya, namun selalu kandas karena pihak pemerintah selalu menolak. 

Dan usulan untuk merevisi UU KPK itu memang senantiasa karena usulan dan inisiatif DPR. Institusi legislatif ini sejak awal sungguh ingin agar sepak terjang KPK dibatasi karena banyak pimpinan dan anggota nya dibui gara - gara terbelit korupsi.

Namun entah mengapa, saat revisi UU itu diajukan, pemerintah seolah tidak punya mendapat dengan mengatakan hal itu adalah inisiatif DPR. Kemudian dengan alasan "untuk penguatan" KPK dengan cepat usulan revisi tersebut disetujui.

Dalam prosesnya itu demonstrasi penolakan dan ketidaksetujuan dari para tokoh dan akademisi serta masyarakat anti korupsi tidak dianggap sama sekali.

Sebenarnya alasan proses yang sangat cepat, menjadi salah satu argumen dari hakim MK yang menyatakan Dissenting Opinion. Dilihat bahwa perubahan yang begitu mendasar dalam UU KPK dilakukan dalam proses sangat cepat dan seolah -0lah tergesa.

MK juga membantah pernyataan terkait dalil tidak dilibatkannya aspirasi masyarakat dalam penyusunan UU KPK hasil revisi.

Hakim konstitusi  mengatakan bahwa berdasarkan bukti-bukti yang disampaikan pembuat UU, yakni DPR, sudah melibatkan masyarakat dan stakeholder terkait termasuk pimpinan KPK dalam pembahasan RUU.

Ya ini juga alasan penolakan yang sangat verbal. Memang ada pertemuan untuk meminta mendapat tetapi aspirasi dan alasan penolakan sama sekali tidak didengarkan dan dipertimbangkan. 

Artinya, MK tidak melihat secara obyektif apakah proses dengar pendapat itu sungguh dilakukan secara benar dan obyektif. MK hanya melihat adanya pertemuan, sejauh mana pertemuan itu berjalan dan apakah sungguh semua suara diperhitungkan untuk mengambil keputusan tidak menjadi pertimbangan keputusan MK.

Sementara terkait dengan adanya berbagai macam penolakan dari kalangan masyarakat terkait pengesahan RUU KPK, Mahkamah menilai itu sebagai bagian kebebasan menyatakan pendapat karena kegiatan tersebut tidak hanya dilakukan oleh kelompok yang menolak tetapi juga yang mendukung.

Sekali lagi MK tidak menilai berdasarkan esensi dari keberatan ini. Sudah menjadi rahasia umum bahwa setiap keberatan dari suatu kebijakan pasti ada kelompok tandingannya. Umumnya kelompok tandingan itu tidak jelas mewakili siapa dan sangat sering merupakan kelompok bayaran. 

Mereka yang menolak Revisi UU KPK sangat jelas identitasnya, juga merupakan tokoh - tokoh yang tidak diragukan semangat mereka untuk memberantas korupsi dari jejak kegiatan yang bisa ditelusuri secara obyektif. Namun dalam proses ini, pertimbangan mereka hanya dianggap angin lalu saja.

Masih ada beberapa poin penolakan MK dan alasan mengapa mereka menolak uji formil UU KPK yang baru.

Jika dilihat alasan yang diberikan oleh MK sangatlah formil, tidak ada nuansa untuk berani mencari keadilan secara lebih hakiki. Seolah dalam hal ini,  bagi MK, KPK bukanlah institusi penting yang sangat memerlukan pertimbangan mendalam supaya KPK dikuatkan dan bukannya dilemahkan.

Posisi MK sebagai benteng terakhir untuk mencari keadilan dalam hal ini patut dipertanyakan.***MG

Bahan bacaan:

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun