Mohon tunggu...
Gunadi Kasnowihardjo
Gunadi Kasnowihardjo Mohon Tunggu... PNS -

Sarjana arkeologi, S1 UGM, S2 U.I. tinggal di Yogyakarta dan bekerja di Balai Penelitian Arkeologi Yogyakarta. Saat ini tengah memulai studi tentang arkeologi publik dan manajemen sumberdaya arkeologi di Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Penelitian Arkeologi sebagai Leading Sektor dalam Manajemen Sumber Daya Arkeologi

18 September 2017   11:09 Diperbarui: 18 September 2017   11:27 682
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Model penelitian arkeologi di Indonesia seperti pernah digagas oleh Nurhadi dalam Evaluasi Hasil Penelitian Arkeologi di Bedugul, Bali tahun 2000 yang lalu perlu saya ingatkan kembali dalam forum komunikasi dan diskusi akbar seperti EHPA kali ini. Ada dua hal penting yang harus kita (para peneliti arkeologi) perhatikan yaitu : pertama, amanat yang tertuang dalam Instruksi Presiden RI No. 7 tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kerja, baik akuntabilitas akademik maupun akuntabilitas publik.

Kedua, dengan memperhatikan akuntabilitas publik tersebut maka hasil penelitian arkeologi akan dapat dirasakan oleh masyarakat, terutama  masyarakat pemilik sumberdaya tersebut (Nurhadi, 2000). Hal senada dipertanyakan oleh Daud A. Tanudirjo, apakah hasil kerja arkeologi selama ini sudah memberikan manfaat yang cukup berarti bagi masyarakat? (Tanudirjo, 2003).

ARKEOLOGI PUBLIK

Dalam Manajemen Sumberdaya Arkeologi-2 (Gunadi, 2004), tentang arkeologi publik ini penulis memformulasikan setidaknya mencakup tiga hal. Pertama, keberadaan sumberdaya arkeologi selalu terkait dengan kepentingan masyarakat (nilai ekonomis). Kedua, sumberdaya arkeologi penting bagi kehidupan manusia karena mengandung nilai edukatif dan rekreatif.

Ketiga, sumberdaya arkeologi akan memacu munculnya ikatan emosional bagi masyarakat yang peduli akan kelestarian dan pelestariannya, dengan membentuk Lembaga Swadaya Masyarakat yang bersifat nirlaba. Tiga hal inilah yang harus ditangani dan digarap oleh para manajer sumberdaya arkeologi yang berkaitan dengan arkeologi publik. Rumusan di atas semata-mata usulan yang dikarenakan masih adanya beberapa perbedaan tentang definisi arkeologi publik (Prasojo, 2004) 

Seperti telah ditulis pada bagian pendahuluan bahwa arkeologi tanpa keterlibatan masyarakat umum adalah sia-sia. Oleh karena itu masyarakat harus tahu dan memahami apa yang dikerjakan oleh para peneliti arkeologi agar dapat mengambil intisari dari hasil penelitian tersebut dalam menjalani kehidupan saat ini ataupun bagi masyarakat dari generasi yang akan datang. Pada dasarnya sumberdaya arkeologi adalah milik dan untuk publik (Tanudirjo, 2005), maka dari itu semua bentuk perencanaan penelitian arkeologi semaksimal mungkin hasil laporannya dapat dikontribusikan kepada kepentingan masyarakat luas.

Agar masyarakat tertarik kepada arkeologi, seperti yang dilakukan di Negara-negara maju, mereka secara periodik menyelenggarakan apa yang disebut dengan  Archaeology Month, di Indonesia mungkin lebih tepat memakai istilah Bulan Purbakala yang dapat diselenggarakan setiap bulan Juni selama sebulan penuh dengan melibatkan berbagai instansi purbakala dan arkeologi serta instansi terkait lainnya, maupun organisasi profesi, seperti Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) dan Asosiasi Prehistorisi Indonesia (API).

Untuk itu masyarakat harus  dibekali tentang berbagai hal yang berkaitan dengan arkeologi seperti nilai-nilai apa saja yang terkandung dalam sumberdaya arkeologi, apa relevansinya dengan dunia modern saat ini, siapa yang dapat diuntungkan dari sumberdaya arkeologi, dan bagaimana keuntungan tersebut dapat diperoleh, serta mengapa sering terjadi konflik yang dipicu dari keberadaan sumberdaya arkeologi. Di Negara-negara maju materi seperti tersebut di atas bahkan dapat diberikan melalui kursus-kursus yang diselenggarakan oleh organisasi profesi.

Di Indonesia, dengan berdirinya berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat yang peduli akan pusaka budaya ataupun pusaka alam (bahkan kedua-duanya), arkeologi dapat bekerjasama dengan lembaga nirlaba tersebut. Sayang, kemitraan antara lembaga arkeologi (yang sampai saat ini masih didominasi oleh pemerintah) dan lembaga swadaya masyarakat tersebut  belum dapat terjalin dengan "mesra".

Hal ini berbeda dengan yang terjadi di Negara-negara maju seperti di Amerika, di sana benar-benar archaeology for the public seperti yang dilakukan oleh Society for American Archaeology (SAA) dengan anggotanya yang berjumlah 7000 orang, mereka bukan arkeolog tetapi oleh organisasi tersebut dilatih untuk belajar tentang budaya manusia masa lampau berdasarkan tinggalan artefaktualnya, serta diarahkan untuk dapat berperan dalam upaya pelestarian sumberdaya arkeologi dan sumberdaya budaya pada umumnya (www.saa.org).      

ANTARA PENELITIAN ARKEOLOGI DAN ARKEOLOGI PUBLIK

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun