Mohon tunggu...
Asep Gunawan
Asep Gunawan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Baru-baru ini suka membaca dan mengerjakan soal matematika dasar (setelah menonton COC Ruang Guru). Suka traveling dan menguasai Bahasa Inggris dan Turki.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Tam dan Anak-anak Panti - Part 3

14 September 2024   21:22 Diperbarui: 14 September 2024   21:27 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Senja mulai merambat di langit Kota Jakarta, mewarnai gedung-gedung tinggi dengan semburat oranye keemasan. Di balik tembok-tembok usang  Panti Asuhan Bunda Mulia, tawa riang anak-anak memecah keheningan sore.

Di antara suara-suara ceria itu, terdengar paling keras gelak tawa seorang anak laki-laki. Namanya Lucas, 14 tahun, dengan rambut coklat acak-acakan dan kacamata berframe merah terang yang selalu bertengger di hidungnya. Ia berdiri di tengah lingkaran teman-temannya, tangannya bergerak-gerak dramatis saat ia menceritakan lelucon terbarunya.

"...dan kemudian, si ayam bilang, 'Maaf Pak, saya sedang menyeberang jalan!'" Lucas mengakhiri ceritanya dengan mimik serius yang dibuat-buat, membuat teman-temannya terpingkal-pingkal.

"Aduh, Lucas! Kamu ini bisa aja deh!" seru Sarah, gadis kecil berambut kepang, sambil memegangi perutnya yang sakit karena tertawa.

Lucas tersenyum lebar, matanya berbinar-binar di balik kacamata merahnya. Ia selalu merasa bahagia bisa membuat orang lain tertawa. Baginya, tawa adalah obat terbaik untuk melupakan sejenak kenyataan hidup yang kadang terasa berat.

Suster Imelda, pengasuh senior di panti asuhan, mengamati dari kejauhan dengan senyum hangat. Ia masih ingat jelas hari ketika ia menemukan Lucas 13 tahun lalu. Malam itu, hujan turun deras dan petir menyambar-nyambar. Suster Imelda sedang dalam perjalanan pulang setelah membeli beberapa barang keperluan panti, ketika ia melihat kerumunan orang di dekat pos ronda dekat rel kereta.

Dengan hati berdebar, ia mendekat dan melihat pemandangan yang memilukan. Seorang wanita paruh baya tergeletak tak bernyawa, dan di sampingnya, seorang bayi mungil menangis keras. Bayi itu adalah Lucas.

"Kasihan sekali," bisik salah seorang warga.

"Sepertinya mereka pengungsi. Mungkin ibunya sakit dan tak kuat melanjutkan perjalanan."

Tanpa pikir panjang, Suster Imelda mengambil keputusan untuk membawa bayi itu ke panti asuhan.

"Kita akan merawatnya," ujar Ibu Lauren.

"Tuhan telah mempertemukan dia dengan kita. Dia adalah tanggung jawab kita sekarang."

Sejak hari itu, Lucas tumbuh menjadi anak yang ceria dan penuh kasih. Namun di balik senyum lebarnya dan lelucon-lelucon konyolnya, ada sebuah pertanyaan besar yang selalu menghantui benaknya: siapa orang tuanya?

Malam itu, setelah semua anak tidur, Lucas duduk di tepi tempat tidurnya, memandang keluar jendela. Bulan purnama bersinar terang, seolah mengejek kegelapan yang menyelimuti masa lalunya.

"Hei, Lucas!" bisik Tam, sahabat baiknya. "Belum tidur?"

Lucas tersentak dari lamunannya. "Oh, belum. Kamu sendiri?"

Tam menggeleng. "Nggak bisa tidur. Mikirin apa sih? Kok serius amat?"

Lucas terdiam sejenak, ragu apakah ia harus membagi pikirannya. Tapi akhirnya ia memutuskan untuk bicara.

"Aku... aku sering kepikiran tentang Ibu ku, Tam. Kata suster Imelda, aku ditemukan besama Ibu ku yang telah meninggal. Apa yang sebenarnya terjadi pada Ibu ku saat itu ya...."

Tam mengangguk paham. Sama seperti Lucas, Tam pun tidak memiliki kenangan sedikit pun tentang orang tuanya. "Aku ngerti, Luc. Sangat berat memang, nggak tahu apa-apa tentang orang tua kita."

"Kadang aku berpikir," Lucas melanjutkan, suaranya pelan nyaris berbisik, "Apakah wanita itu memang ibuku? Lalu dimana ayahku? Atau... apakah ayah memang sengaja meninggalkan aku dan ibu?"

Tam bangkit dari tempat tidurnya dan duduk di samping Lucas. "Hei, jangan berpikir begitu. Kita nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi."

Lucas mengangguk lemah. "Iya, kamu benar. Tapi tetap saja... rasanya ada lubang besar di hatiku yang nggak bisa diisi."

Keduanya terdiam, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Tiba-tiba, Tam tersenyum kecil. "Tapi kamu tahu nggak, Luc? Meskipun kamu nggak tahu siapa orang tuamu, kamu sangat beruntung."

Lucas mengerutkan kening, tidak mengerti apa yang sedang dikatakan oleh sahabatnya itu.

"Beruntung?"

"Iya," Tam mengangguk.

"Kamu beruntung punya aku, Elia, Suster Imelda, dan yang lainnya. Kami adalah keluargamu sekarang."

Lucas tersenyum lebar dan merangkul pundak sahabatnya itu. "Kamu benar, Tam. Kita semua keluarga di sini."

Dengan senyum di wajahnya, Lucas pun terlelap, siap menyambut hari esok dengan semangat dan keceriaan yang menjadi ciri khasnya.

Keesokan harinya, Lucas bangun dengan semangat baru. Ia memutuskan untuk tidak membiarkan misteri masa lalunya menghalangi kebahagiaannya. Dengan kacamata merah terangnya yang khas, ia berlari ke ruang makan, siap memulai hari dengan lelucon baru.

"Hei, teman-teman!" serunya riang. "Kalian tahu nggak kenapa ayam menyeberang jalan lagi?"

Semua anak mengerang, tapi dengan senyum di wajah mereka. "Aduh, Lucas! Kamu mau mulai lagi ya?" Elia berseru, tapi matanya berbinar-binar menanti lelucon baru sahabatnya.

Lucas nyengir lebar. "Karena dia lupa beli telur di seberang jalan!"

Gelak tawa memenuhi ruangan. Suster Imelda yang baru masuk, tersenyum melihat pemandangan itu. Ia bersyukur Lucas bisa tumbuh menjadi anak yang ceria dan penuh kasih, meskipun dengan latar belakang yang tidak mudah.

Bersambung ......

Sudah terbawa suasana? Temukan cerita menarik lainnya di bawah ini!

Terjebak di Stasiun Masa Lalu

Takdir yang Terlambat Dipahami

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun