Lucas mengangguk lemah. "Iya, kamu benar. Tapi tetap saja... rasanya ada lubang besar di hatiku yang nggak bisa diisi."
Keduanya terdiam, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Tiba-tiba, Tam tersenyum kecil. "Tapi kamu tahu nggak, Luc? Meskipun kamu nggak tahu siapa orang tuamu, kamu sangat beruntung."
Lucas mengerutkan kening, tidak mengerti apa yang sedang dikatakan oleh sahabatnya itu.
"Beruntung?"
"Iya," Tam mengangguk.
"Kamu beruntung punya aku, Elia, Suster Imelda, dan yang lainnya. Kami adalah keluargamu sekarang."
Lucas tersenyum lebar dan merangkul pundak sahabatnya itu. "Kamu benar, Tam. Kita semua keluarga di sini."
Dengan senyum di wajahnya, Lucas pun terlelap, siap menyambut hari esok dengan semangat dan keceriaan yang menjadi ciri khasnya.
Keesokan harinya, Lucas bangun dengan semangat baru. Ia memutuskan untuk tidak membiarkan misteri masa lalunya menghalangi kebahagiaannya. Dengan kacamata merah terangnya yang khas, ia berlari ke ruang makan, siap memulai hari dengan lelucon baru.
"Hei, teman-teman!" serunya riang. "Kalian tahu nggak kenapa ayam menyeberang jalan lagi?"
Semua anak mengerang, tapi dengan senyum di wajah mereka. "Aduh, Lucas! Kamu mau mulai lagi ya?" Elia berseru, tapi matanya berbinar-binar menanti lelucon baru sahabatnya.