Senja mulai merambat di langit Kota Jakarta, mewarnai gedung-gedung tinggi dengan semburat oranye keemasan. Di balik tembok-tembok usang  Panti Asuhan Bunda Mulia, tawa riang anak-anak memecah keheningan sore.
Di antara suara-suara ceria itu, terdengar paling keras gelak tawa seorang anak laki-laki. Namanya Lucas, 14 tahun, dengan rambut coklat acak-acakan dan kacamata berframe merah terang yang selalu bertengger di hidungnya. Ia berdiri di tengah lingkaran teman-temannya, tangannya bergerak-gerak dramatis saat ia menceritakan lelucon terbarunya.
"...dan kemudian, si ayam bilang, 'Maaf Pak, saya sedang menyeberang jalan!'" Lucas mengakhiri ceritanya dengan mimik serius yang dibuat-buat, membuat teman-temannya terpingkal-pingkal.
"Aduh, Lucas! Kamu ini bisa aja deh!" seru Sarah, gadis kecil berambut kepang, sambil memegangi perutnya yang sakit karena tertawa.
Lucas tersenyum lebar, matanya berbinar-binar di balik kacamata merahnya. Ia selalu merasa bahagia bisa membuat orang lain tertawa. Baginya, tawa adalah obat terbaik untuk melupakan sejenak kenyataan hidup yang kadang terasa berat.
Suster Imelda, pengasuh senior di panti asuhan, mengamati dari kejauhan dengan senyum hangat. Ia masih ingat jelas hari ketika ia menemukan Lucas 13 tahun lalu. Malam itu, hujan turun deras dan petir menyambar-nyambar. Suster Imelda sedang dalam perjalanan pulang setelah membeli beberapa barang keperluan panti, ketika ia melihat kerumunan orang di dekat pos ronda dekat rel kereta.
Dengan hati berdebar, ia mendekat dan melihat pemandangan yang memilukan. Seorang wanita paruh baya tergeletak tak bernyawa, dan di sampingnya, seorang bayi mungil menangis keras. Bayi itu adalah Lucas.
"Kasihan sekali," bisik salah seorang warga.
"Sepertinya mereka pengungsi. Mungkin ibunya sakit dan tak kuat melanjutkan perjalanan."
Tanpa pikir panjang, Suster Imelda mengambil keputusan untuk membawa bayi itu ke panti asuhan.
"Kita akan merawatnya," ujar Ibu Lauren.