Mohon tunggu...
Asep Gunawan
Asep Gunawan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Baru-baru ini suka membaca dan mengerjakan soal matematika dasar (setelah menonton COC Ruang Guru). Suka traveling dan menguasai Bahasa Inggris dan Turki.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Tam dan Anak-anak Panti - Part 2

8 September 2024   14:14 Diperbarui: 8 September 2024   14:25 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerbung. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Yuri B

Sinar mentari pagi menerobos jendela kamar panti asuhan Bunda Mulia, membelai lembut wajah ayu Elianoor yang masih terlelap. Gadis kecil itu menggeliat pelan, matanya yang sebiru langit musim semi perlahan terbuka. Senyum manis tersungging di bibirnya yang mungil, seolah menyambut hari baru dengan penuh harapan.

Elianoor, atau yang akrab disapa Elia, adalah sosok yang istimewa di panti asuhan Bunda Mulia. Dengan rambut pirang bergelombangnya yang terurai indah dan kulit seputih susu, ia tampak bagai malaikat kecil yang turun dari surga. Kehadirannya seolah membawa cahaya tersendiri di antara anak-anak panti lainnya.

"Elia! Ayo bangun, sudah waktunya sarapan!" seru Tam, salah satu sahabat terdekat Elia, sambil mengetuk pintu kamarnya.

Elia bergegas turun dari tempat tidur, merapikan gaun tidurnya yang berwarna pastel, dan membuka pintu dengan senyum cerah. "Selamat pagi, Tam! Aku sudah bangun kok."

Tam, anak laki-laki berkulit sawo matang dengan rambut hitam lebat, tersenyum lebar. "Ayo, Lucas sudah menunggu kita di ruang makan."

Mereka berdua berjalan beriringan menuju ruang makan, di mana aroma roti panggang dan telur dadar sudah menggelitik hidung. Di sana, Lucas, seorang anak laki-laki berkacamata dengan rambut cokelat berantakan, melambai ke arah mereka.

"Pagi, Elia! Pagi, Tam!" sapa Lucas ceria.

Elia membalas lambaian Lucas dengan antusias. "Pagi, Lucas! Wah, hari ini kita sarapan apa?"

Suster Angela, salah satu pengasuh di panti, tersenyum lembut melihat interaksi ketiga sahabat itu. "Hari ini kita punya roti panggang, telur dadar, dan susu segar untuk kalian semua," ujarnya sambil membagikan piring-piring berisi sarapan.

Setelah berdoa bersama, anak-anak panti mulai menyantap sarapan mereka. Suasana riuh rendah memenuhi ruang makan, diwarnai celoteh riang dan tawa ceria. Namun, di tengah keceriaan itu, beberapa anak diam-diam melirik ke arah Elia dengan pandangan penasaran.

"Psst, menurutmu kenapa Elia bisa ada di sini?" bisik seorang anak pada temannya.

"Entahlah, dia kan cantik sekali seperti putri raja. Aneh ya kalau dia di panti asuhan," balas yang lain.

Bisik-bisik itu sampai ke telinga Tam dan Lucas, yang langsung melemparkan pandangan tajam pada anak-anak yang bergosip. Elia, yang tidak menyadari pembicaraan di sekitarnya, tetap menikmati sarapannya dengan gembira.

Seusai sarapan, Elia, Tam, dan Lucas memutuskan untuk bermain di taman belakang panti. Mereka duduk di bawah pohon oak besar yang rindang, tempat favorit mereka untuk mengobrol dan bermain.

"Elia, apa kau masih menunggu ibumu?" tanya Tam hati-hati.

Mata biru Elia berbinar penuh harap. "Tentu saja! Ibu pasti akan datang sebentar lagi. Dia kan hanya pergi ke rumah nenek untuk mengambil boneka Barbie-ku yang tertinggal."

Lucas dan Tam saling melempar pandang, ada kesedihan tersirat di mata mereka. Mereka tahu kebenaran yang tak diketahui Elia, tapi tak sampai hati untuk merusak harapan sahabat mereka itu.

"Iya, Elia. Kami yakin ibumu pasti akan datang," ucap Lucas, berusaha terdengar meyakinkan.

Elia tersenyum lebar. "Benar kan? Aku tidak sabar untuk bertemu ibu dan melihat boneka Barbie-ku. Pasti bonekanya cantik sekali!"

Sementara Elia bercerita dengan antusias tentang boneka impiannya, Tam dan Lucas hanya bisa mendengarkan dalam diam. Mereka tahu bahwa cerita Elia hanyalah hasil dari imajinasinya yang polos, sebuah mekanisme pertahanan yang ia ciptakan untuk menghadapi kenyataan pahit yang belum siap ia terima.

Hari-hari berlalu, dan Elia tetap menunggu dengan sabar. Setiap sore, ia akan duduk di bangku taman depan panti, matanya tak lepas dari gerbang. Berharap sosok wanita cantik yang ia sebut ibu akan muncul dengan senyum lembut dan boneka Barbie di tangan.

Suatu sore, ketika langit mulai berwarna jingga, Suster Angela mendekati Elia yang masih setia menunggu di bangku taman.

"Elia sayang, sudah waktunya masuk. Udara mulai dingin," ujar Suster Angela lembut.

Elia menoleh, senyumnya sedikit memudar. "Sebentar lagi ya, Suster. Aku yakin ibu akan datang hari ini."

Suster Angela menghela napas pelan, hatinya terasa berat melihat keyakinan Elia yang tak tergoyahkan. Ia duduk di samping gadis kecil itu, merangkulnya dengan penuh kasih sayang.

"Elia, ada yang ingin Suster bicarakan denganmu," Suster Angela memulai dengan hati-hati.

Elia menatap Suster Angela dengan mata birunya yang besar dan polos. "Tentang apa, Suster?"

Suster Angela membuka mulutnya, hendak mengatakan sesuatu, namun ragu. Bagaimana ia harus menjelaskan kenyataan pahit pada gadis kecil yang begitu percaya pada mimpinya?

Tepat saat itu, suara klakson mobil terdengar dari arah gerbang. Elia segera bangkit, matanya berbinar penuh harap.

"Itu pasti ibu!" serunya gembira, berlari ke arah gerbang.

Suster Angela berdiri, wajahnya menunjukkan kekhawatiran. Ia mengikuti langkah Elia, bertanya-tanya siapa yang datang di saat seperti ini.

Gerbang panti terbuka perlahan, dan sebuah mobil mewah berwarna silver memasuki halaman. Elia berdiri dengan jantung berdebar, senyum lebar menghiasi wajahnya yang cantik.

Pintu mobil terbuka...

Alih-alih sosok wanita yang selalu hadir di dalam mimpinya. Justru yang keluar dari mobil tersebut adalah sosok pria tua bertopi dan berkacamata bulat yang bertengger di hidungnya.

"Selamat sore, Pak Salvador!" sapa suster Angela kepada sosok yang berdiri tepat di hadapannya.

"Sore!" jawabannya sambil terus berjalan menuju pintu utama panti, tanpa memperdulikan kedua sosok yang berdiri menyambutnya.

Salvador Silistri atau yang biasa dipanggil Pak Salvador, adalah pria tua berusia 70 tahun yang menjabat sebagai ketua yayasan di panti asuhan Bunda Mulia. Ciri khasnya adalah topi hitam, kecamata bulat, serta kumis tebal yang melintang di atas bibir, menambah kesan klasik dan elegan. Tidak lupa juga tatapan tajamnya yang mampu menembus hati dan pikiran, mencerminkan pengalaman hidup yang kaya dan ketegasan dalam setiap keputusan yang diambil. Wajahnya mungkin dihiasi dengan kerutan-kerutan halus yang menandakan perjalanan panjang hidupnya, namun tetap memancarkan aura kekuatan dan kebijaksanaan. Membuat siapa pun yang berbicara dengannya merasa terintimidasi dan terkesan. Kombinasi dari penampilannya ini menciptakan aura yang tidak mudah dilupakan.

"Elia, sayang," Suster Angela berlutut di hadapan gadis kecil itu, berusaha menemukan kata-kata yang tepat. "Kau tahu kan, terkadang ada hal-hal yang tidak berjalan sesuai dengan harapan kita?"

Elia mengernyitkan dahinya, tidak mengerti. "Maksud Suster apa?"

"Maksud Suster... mungkin ibumu memang ingin kembali, tapi ada hal-hal yang membuatnya tidak bisa melakukannya. Setidaknya untuk saat ini."

Untuk sesaat, kilau di mata biru Elia meredup. Namun secepat kilat, senyumnya kembali mengembang. "Tidak apa-apa, Suster. Aku akan terus menunggu. Ibu pasti punya alasan kenapa dia belum bisa kembali. Mungkin nenek sakit, jadi ibu harus merawatnya dulu. Atau mungkin mobilnya rusak di jalan. Tapi aku yakin, suatu hari nanti, ibu pasti akan datang."

Suster Angela hanya bisa terdiam, tak mampu menemukan kata-kata untuk menanggapi keyakinan Elia. Ia hanya bisa memeluk gadis kecil itu erat-erat, berharap pelukannya bisa menyampaikan kasih sayang yang mungkin tak bisa ia dapatkan dari sang ibu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun