"Entahlah, dia kan cantik sekali seperti putri raja. Aneh ya kalau dia di panti asuhan," balas yang lain.
Bisik-bisik itu sampai ke telinga Tam dan Lucas, yang langsung melemparkan pandangan tajam pada anak-anak yang bergosip. Elia, yang tidak menyadari pembicaraan di sekitarnya, tetap menikmati sarapannya dengan gembira.
Seusai sarapan, Elia, Tam, dan Lucas memutuskan untuk bermain di taman belakang panti. Mereka duduk di bawah pohon oak besar yang rindang, tempat favorit mereka untuk mengobrol dan bermain.
"Elia, apa kau masih menunggu ibumu?" tanya Tam hati-hati.
Mata biru Elia berbinar penuh harap. "Tentu saja! Ibu pasti akan datang sebentar lagi. Dia kan hanya pergi ke rumah nenek untuk mengambil boneka Barbie-ku yang tertinggal."
Lucas dan Tam saling melempar pandang, ada kesedihan tersirat di mata mereka. Mereka tahu kebenaran yang tak diketahui Elia, tapi tak sampai hati untuk merusak harapan sahabat mereka itu.
"Iya, Elia. Kami yakin ibumu pasti akan datang," ucap Lucas, berusaha terdengar meyakinkan.
Elia tersenyum lebar. "Benar kan? Aku tidak sabar untuk bertemu ibu dan melihat boneka Barbie-ku. Pasti bonekanya cantik sekali!"
Sementara Elia bercerita dengan antusias tentang boneka impiannya, Tam dan Lucas hanya bisa mendengarkan dalam diam. Mereka tahu bahwa cerita Elia hanyalah hasil dari imajinasinya yang polos, sebuah mekanisme pertahanan yang ia ciptakan untuk menghadapi kenyataan pahit yang belum siap ia terima.
Hari-hari berlalu, dan Elia tetap menunggu dengan sabar. Setiap sore, ia akan duduk di bangku taman depan panti, matanya tak lepas dari gerbang. Berharap sosok wanita cantik yang ia sebut ibu akan muncul dengan senyum lembut dan boneka Barbie di tangan.
Suatu sore, ketika langit mulai berwarna jingga, Suster Angela mendekati Elia yang masih setia menunggu di bangku taman.