Jantung Dainaka berdegup kencang. Ada yang tidak beres. Semua ini terlalu aneh, terlalu tiba-tiba. Ia mencoba mengambil langkah mundur, tapi Anneke dengan cepat menggenggam tangannya.
"Jangan takut," ujar Anneke. "Kau akan bahagia di sini. Kita akan hidup selamanya bersama."
Kata-kata itu justru membuat Dainaka semakin panik. Ia menyentakkan tangannya dan berlari, mencoba mencari jalan keluar dari stasiun itu. Namun setiap pintu yang ia buka hanya membawanya kembali ke ruang tunggu utama.
Semakin ia berusaha keluar, semakin ia tersesat. Waktu seolah berhenti di stasiun itu. Orang-orang Belanda dan para budak pribumi terus beraktivitas, seolah terjebak dalam pengulangan abadi.
Hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Dainaka mulai kehilangan hitungan waktu. Ia telah mencoba berbagai cara untuk keluar, bahkan berusaha menghancurkan dinding-dinding stasiun. Namun semuanya sia-sia.
Suatu hari, saat ia duduk termenung di salah satu bangku stasiun, seorang pria tua pribumi mendekatinya.Â
"Nak," ujar pria itu dengan suara serak. "Kau tidak akan bisa keluar dari sini."
Dainaka menatapnya dengan putus asa, "Kenapa? Apa yang sebenarnya terjadi di sini?"
Pria tua itu menghela napas panjang, "Stasiun ini adalah jebakan. Tempat di mana arwah-arwah penasaran dari masa penjajahan terkurung. Mereka yang meninggal dengan dendam dan penyesalan, terjebak dalam pengulangan abadi."
"Tapi aku masih hidup!" teriak Dainaka frustasi.
"Kau membawa jam itu," jawab si pria tua. "Jam itu adalah kunci yang membuka gerbang antara dunia nyata dan dunia arwah. Dan sekarang, kau telah menjadi bagian dari kami."