Mohon tunggu...
Asep Gunawan
Asep Gunawan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Baru-baru ini suka membaca dan mengerjakan soal matematika dasar (setelah menonton COC Ruang Guru). Suka traveling dan menguasai Bahasa Inggris dan Turki.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Terjebak di Stasiun Masa Lalu

4 Agustus 2024   15:53 Diperbarui: 4 Agustus 2024   15:54 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sore itu, matahari mulai condong ke barat ketika Dainaka berjalan menyusuri rel kereta api tua yang sudah lama tidak terpakai. Pemuda berusia 17 tahun itu selalu penasaran dengan rel yang membelah hutan di pinggiran kotanya. Tanpa disadari, langkahnya telah membawanya jauh ke dalam rimba yang semakin rimbun.

Tiba-tiba, sesuatu yang berkilau menarik perhatiannya. Di antara bebatuan dan kayu-kayu lapuk, tergeletak sebuah jam tangan mewah berwarna emas. Dainaka memungutnya dengan hati-hati. Matanya terpaku pada ukiran lambang VOC yang tercetak jelas pada bingkai jam tersebut.

"Aneh sekali," gumamnya. "Bagaimana bisa benda antik seperti ini ada di sini?"

Rasa penasaran mendorongnya untuk terus mengikuti rel itu. Entah berapa lama ia berjalan, hingga akhirnya ia tiba di sebuah stasiun kereta api yang megah. Arsitektur bergaya Eropa klasik menjulang di hadapannya, kontras dengan hutan lebat di sekelilingnya.

Dainaka mengucek matanya, tidak percaya dengan pemandangan yang ia saksikan. Stasiun itu dipenuhi oleh orang-orang Belanda dan noni-noni cantik berpakaian mewah ala abad ke-18. Mereka berlalu-lalang, berbincang, dan tertawa seolah tidak menyadari kehadiran Dainaka.

Di sudut-sudut stasiun, ia melihat beberapa pribumi berpakaian lusuh. Wajah mereka kuyu dan letih, jelas sekali berbeda dengan para bangsawan Belanda yang angkuh. Dainaka merasakan desir aneh di dadanya. Ia merasa seperti terlempar ke masa lalu, ke era penjajahan yang hanya pernah ia baca di buku sejarah.

"Halo, tuan muda," sebuah suara lembut mengejutkannya. 

Dainaka berbalik dan mendapati seorang gadis Belanda cantik tersenyum padanya. Gadis itu mengenakan gaun putih mewah dengan renda-renda rumit. Rambutnya yang pirang tergelung rapi, dihiasi dengan hiasan bunga-bunga kecil.

"Aku Anneke van der Meer," ujar gadis itu. "Dan sepertinya kau telah menemukan jam tanganku."

Dainaka tergagap, "A-aku... bagaimana kau tahu?"

Anneke tertawa kecil, "Tentu saja aku tahu. Jam itu milikku yang paling berharga. Dan kau, tuan muda, telah menemukannya. Sebagai imbalannya, aku akan mempersuntingmu menjadi suamiku."

Jantung Dainaka berdegup kencang. Ada yang tidak beres. Semua ini terlalu aneh, terlalu tiba-tiba. Ia mencoba mengambil langkah mundur, tapi Anneke dengan cepat menggenggam tangannya.

"Jangan takut," ujar Anneke. "Kau akan bahagia di sini. Kita akan hidup selamanya bersama."

Kata-kata itu justru membuat Dainaka semakin panik. Ia menyentakkan tangannya dan berlari, mencoba mencari jalan keluar dari stasiun itu. Namun setiap pintu yang ia buka hanya membawanya kembali ke ruang tunggu utama.

Semakin ia berusaha keluar, semakin ia tersesat. Waktu seolah berhenti di stasiun itu. Orang-orang Belanda dan para budak pribumi terus beraktivitas, seolah terjebak dalam pengulangan abadi.

Hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Dainaka mulai kehilangan hitungan waktu. Ia telah mencoba berbagai cara untuk keluar, bahkan berusaha menghancurkan dinding-dinding stasiun. Namun semuanya sia-sia.

Suatu hari, saat ia duduk termenung di salah satu bangku stasiun, seorang pria tua pribumi mendekatinya. 

"Nak," ujar pria itu dengan suara serak. "Kau tidak akan bisa keluar dari sini."

Dainaka menatapnya dengan putus asa, "Kenapa? Apa yang sebenarnya terjadi di sini?"

Pria tua itu menghela napas panjang, "Stasiun ini adalah jebakan. Tempat di mana arwah-arwah penasaran dari masa penjajahan terkurung. Mereka yang meninggal dengan dendam dan penyesalan, terjebak dalam pengulangan abadi."

"Tapi aku masih hidup!" teriak Dainaka frustasi.

"Kau membawa jam itu," jawab si pria tua. "Jam itu adalah kunci yang membuka gerbang antara dunia nyata dan dunia arwah. Dan sekarang, kau telah menjadi bagian dari kami."

Air mata Dainaka mengalir deras. Ia teringat keluarganya, teman-temannya, dan kehidupan normalnya yang kini terasa begitu jauh.

Hari-hari berlalu, dan Dainaka mulai menerima kenyataan pahit bahwa ia mungkin tidak akan pernah bisa kembali. Ia belajar untuk berkomunikasi dengan para arwah, mendengarkan kisah-kisah mereka tentang penderitaan di masa lalu.

Anneke sering mendekatinya, masih dengan tawaran yang sama. Namun Dainaka selalu menolak. Ia tahu, menerima tawaran itu berarti menyerah pada takdirnya yang baru.

Suatu malam, saat stasiun itu diselimuti kabut tipis, Dainaka memutuskan untuk kembali menyusuri rel kereta. Ia berjalan dan terus berjalan, berharap mungkin kali ini ia bisa menemukan jalan keluar.

Namun rel itu seolah tak berujung. Ia berjalan selama berhari-hari, tapi selalu kembali ke stasiun yang sama. Putus asa, ia jatuh berlutut di atas rel, menatap jam tangan emas yang masih melingkar di pergelangan tangannya.

"Mengapa?" bisiknya lirih. "Mengapa aku harus terjebak di sini?"

Tiba-tiba, jam itu bersinar terang. Dainaka merasakan tubuhnya menjadi ringan, seolah melayang. Ketika ia membuka mata, ia mendapati dirinya kembali di tepi hutan, di tempat ia pertama kali menemukan jam itu.

Dengan tangan gemetar, Dainaka melepas jam tangan itu dan meletakkannya kembali di antara bebatuan. Ia berlari sekuat tenaga, meninggalkan rel kereta dan hutan itu sejauh mungkin.

Sejak hari itu, Dainaka tidak pernah lagi mendekati rel kereta tua itu. Namun pengalamannya di stasiun hantu itu telah mengubah hidupnya. Ia menjadi lebih menghargai setiap detik kehidupan yang ia miliki, dan berjanji untuk selalu menghormati sejarah dan perjuangan para pendahulunya.

Sementara itu, jauh di dalam hutan, jam tangan emas itu masih tergeletak di antara bebatuan, menunggu korban berikutnya yang akan terjebak dalam dunia antara kenyataan dan mimpi buruk sejarah.

Biografi singkat penulis : 

Asep Gunawan adalah seorang individu dengan minat yang beragam. Ia memiliki hobi membaca dan mengerjakan soal matematika dasar. Dia juga menguasai bahasa Inggris dan Turki serta dikenal memiliki rasa ingin tahu yang tinggi terhadap berbagai aspek kehidupan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun