Akhir-akhir ini hampir setiap saat saya selalu mendengar, membaca, atau melihat pemberitaan yang menyorot perilaku sebagian ASN, terutama pejabatnya dan keluarganya, yang dianggap tidak pantas mereka lakukan dan apalagi pamerkan ke publik. Pasti anda sudah tahu, ya, pamer harta kekayaan dengan semena-mena kehadapan rakyat kebanyakan yang hampir mustahil sebagian besar dari mereka bisa menikmati kekayaan dan kemewahan itu. Ada yang mimpi pun bahkan tak berani untuk memiliki harta benda yang sering dipamerkan itu.
Banyak dari orang-orang itu hanya mengelus dada, jengkel, memendam marah, atau paling banter mengumpat dan memaki ketika melihat perilaku para abdi negara, yang seharusnya otomatis juga abdi rakyat itu saat mereka pamer harta. Yang berang semakin banyak karena dengan mudah para hedonis itu memamerkan segala kemewahan mereka lewat media sosial. Yang menonton pameran itu tak cuma satu-dua orang lagi, tapi dengan cepat akan mencapai ribuan atau jutaan pasang mata.
Di medsos dengan mudah kita bisa menyaksikan mereka memamerkan lambang kemakmuran versi mereka : rumah besar di kawasan mahal, apartemen, mobil-mobil yang nilai rupiahnya ber-nol sembilan atau sepuluh, tas-tas, sepatu, dan pakaian yang gak masuk di akal orang kebanyakan seperti saya jika membandingkan fungsi benda tersebut dan bandrol harganya.
Bahkan ada motor besar yang sering dianggap di sini sebagai pemantap eksistensi orang-orang yang merasa wajib tampil hebat dan mewah di hadapan banyak orang, lebih tepatnya di jalanan, perkenankan saya sebutkan merknya Harley Davidson. Walau ada banyak merk moge, tapi HD lah yang melegenda. Klub motor gede ini jika sudah konvoi di jalanan memang tampak hebat dan keren. Tapi jangan lupa juga banyak yang gak suka juga ketika ada klub motor gede tampil arogan di jalanan milik bersama itu.
Terkini , sebuah kelompok motor gede bernama Belasting Rijder diminta bubar oleh seorang menteri. Anggota klub motor tersebut hampir semuanya adalah para pegawai di kementerian yang dipimpinnya. Tentu ada pertimbangan kemudharatan yang merugikan jika klub motor itu tetap dibiarkan hidup.
Saya gak akan memperpanjang cerita tentang pamer kemewahan ini. Anda pembaca tentu sudah tahu banyak tentang hal-hal tersebut. Saya hanya melihat dan bertanya-tanya dari sudut pandang dan pengetahuan saya yang amat terbatas ini : Mengapa para ASN abdi negara dan abdi rakyat ini jadi suka pamer?
Siapakah mereka? Jika menilik usia mereka, saya memperkirakan kebanyakan dari mereka berusia empatpuluhan sampai limapuluhan tahun. Mapan di kedudukan sebagai pimpinan dengan sekian anak buah. Usia duapuluh sampai tigapuluh adalah junior yang baru merintis karir masa depannya.
Mengapa mereka harus tampil luxurious dan berkelas?
Mungkin mereka dulu sewaktu kecil punya impian bahwa sukses itu jika mereka bisa menampilkan diri dengan segala harta tersebut di depan orang-orang. Impian itu terpatri kuat di otak mereka, dan mereka akan berusaha dengan segala cara untuk meraihnya.
Mungkin juga orang-orang terdekatnya mengkondisikan dia untuk bersikap seperti itu. Orangtua dan sanak saudaranya turut membantu dia menciptakan pola berpikir seperti itu.
Tetapi ada hal lain yang menurut saya membuat di usia matang dan sukses itu mereka malah tampil flexing dengan pongah. Saya menyebutnya gejala "Nakalnya Telat".
Orang-orang ini seringkali di masa kecilnya adalah anak-anak yang manis. Hidup mereka serba teratur dengan norma-norma yang mulia. Anak-anak yang sedari duduk di bangku TK sampai perguruan tinggi berjalan lurus. Dan cita cita mereka tegak membubung setinggi langit.
Mereka tak bisa dan bahkan tak punya kesempatan untuk menjadi "anak nakal". Saat mereka melenceng sedikit, banyak orang-orang terdekatnya akan segera meluruskan mereka.
Saat saya kanak-kanak dan remaja, walaupun tumbuh di keluarga yang hangat penuh perhatian, saya sempat "menikmati" segala kenakalan secukupnya.
Saya pernah mengunduh mangga dan jambu di pekarangan belakang tetangga jauh saya di malam hari. Saya dan teman-teman kecil saya merasa perlu mengunduhnya langsung karena tetangga itu tak pernah berbagi alias pelit. sebenarnya kami tahu tindakan mengunduh buah-buahan tanpa ijin itu tentu disebut mencuri belaka. Â Dan tak ada alasan apapun sebagai pembenaran atas perbuatan kami ini.
Tubuh kami yang kecil ini pernah pula mengendap-endap di antara pepohonan dengan membawa pancing kecil mendekati sebuah kolam untuk melakukan illegal fishing. Dan setelah berhasil mendapat dua-tiga ekor ikan saya dan teman saya harus tunggang langgang karena pemilik kolam tiba-tiba muncul. Tentu ini pula yang harus tegas disebut sebagai perbuatan mencuri.
Seiring berjalannya waktu kami mulai jera melakukan tindakan pencurian itu. Ternyata jadi maling itu sangat tak menyenangkan. Kami sudah menyadari dan belajar dari pengalaman buruk itu di usia masih belia.
Saya curiga, orang-orang dewasa terhormat yang dididik dengan baik dalam norma-norma mulia sejak kecil tetapi ketika dewasa dan sudah hidup sangat layak dan bahkan berlebih itu kok malah  mencuri dengan segala bentuk dan istilahnya dan secara hukum mereka telah dinyatakan bersalah, maka saya hanya bisa menyebut orang-orang itu nakalnya telat.
Mungkin mereka tidak memperoleh kesempatan mendapat pelajaran berharga tentang konsekwensi dari perbuatan mencuri di usia dini mereka. Sehingga mereka mendapatkan kesempatan mencuri itu di usia dewasa mereka. Dan hasil mencuri mereka tentu bukanlah beberapa butir mangga atau jambu. Tentu juga bukan beberapa ekor ikan seperti yang saya dapat dari kolam orang. Dan pula hukuman dari perbuatan mencuri mereka tentu bukan pukulan tongkat rotan di pantat seperti yang saya rasakan dari ayah saya sebagai hadiah dari kenakalan saya.
Ketika remaja saya pernah merasakan nikmatnya sensasi ngebut di jalanan dengan sepeda motor protolan yang jauh dari memenuhi syarat untuk laik jalan dengan aman. Dan segala perbuatan melanggar aturan di jalan itu tentu ada balasannya, yang lagi-lagi, sangat tidak menyenangkan. Saya masih ingat rasanya perih ketika jatuh di aspal . Atau ketika harus terbirit-birit menghindari kejaran petugas polisi yang membuntuti motor pacu liar saya.
Setelah berumahtangga dan mencapai usia empatpuluhan keinginan pamer ngebut di jalanan saya telah padam. Tak ada minat saya ikut gabung dalam klub motor. Apalagi mau tampil gagah mengendarai Harley Davidson mahal. Uang saya jauh dari posisi ada di prioritas membeli moge. Tapi saya sudah kenyang ugal-ugalan di jalanan dan berhenti di usia, yang menurut saya, sudah pantas saatnya.
Ada juga yang lazim dilakukan anak-anak remaja belasan tahun, pacaran. Mereka saling naksir sesama mereka. Entah teman sekolahnya, teman sedesa atau sekampungnya, atau entah teman apalagi. Walau ada juga yang santai nge-jomblo atau gak mau pacaran karena punya pacar dianggap ribet.
Nah, kita kembali ke orang-orang yang hidupnya nampak kokoh mapan dan nyaman tapi kena perkara pelanggaran hukum ini. Saya memperkirakan ada di antara mereka yang masa kecilnya baik-baik bagus lurus saja. Mereka selalu terkondisikan menjadi anak manis dikelilingi norma-norma mulia yang senantiasa memagarinya. Sehingga naluri kenakalan mereka terpendam dan tak pernah muncul ke permukaan untuk dikoreksi lebih dini.
Saat remaja pun mereka adalah anak-anak muda yang tumbuh sebagai "teladan" bagi orangtua, guru-guru, atau bahkan sampai-sampai menjadi standard "menantu idaman mertua".
Seiring berlalunya waktu, perjalanan kehidupan, dan tantangan, maka anak-anak baik dan manis itu ketika di usia dewasa mereka dalam arti yang seharusnya, malah baru memunculkan kenakalan-kenakalan mereka yang terpendam itu.
Ada yang kenakalan mencurinya timbul saat dia telah sukses punya kuasa dan kedudukan. Yang dia maling tentu bernilai besar, bahkan luar biasa besar. Yang dirugikan bukan satu-dua orang lagi, tapi rakyat senegara. Yang perbuatannya tak bisa lagi disebut sebagai juvenile delinquency atau sekedar kenakalan remaja.
Ada yang kenakalan tampil ugal-ugalan ala anak alay-nya  menunggu sampai muncul di usia empatpuluhan sampai limapuluhan untuk ngebut atau berkonvoi di jalanan dengan mengendarai kendaraan mahal berjamaah yang terkadang harus merugikan banyak pemakai jalan lainnya.
Atau ada pula dulu yang semasa remaja lugu, yang takut cewek waktu bersekolah di bangku SMA, sekarang ketika  menjadi orang sukses malah jadi berani dan jago main perempuan, atau punya "istri" simpanan. Sudah pasti istri di luar yang tercatat di dokumen kartu keluarga resminya.
Untuk orang-orang seperti ini, saya tidak punya istilah ilmiah yang tepat. Karena saya bukan ahli di bidang apapun yang bisa tepat untuk menyebut atau menamakannya. Saya hanya bisa melabeli mereka sebagai Orang Yang Nakalnya Telat.
Jika anda, pembaca, adalah orang yang ahli dan berkompeten dalam urusan gejala yang dialami orang-orang ini, saya bertanya : Apakah sebutan yang tepat untuk orang-orang ini menurut anda?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H