E-court adalah layanan pendaftaran perkara, pembayaran dan pemanggilan secara online di lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung (peradilan umum, peradilan tata usaha negara, peradilan agama, dan peradilan militer).
Dengan adanya terobosan ini, MA telah menjawab harapan dan cita-cita para pencari keadilan yaitu peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan, maklum selama ini masyarakat banyak mengeluh karena proses berperkara di pengadilan sangat lama, mahal, dan terkesan bertele-tele.
Dasar hukum aplikasi e-court adalah Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 tahun 2018 tentang Administrasi Perkara di Pengadilan Secara Eletronik (Perma 3/2018) yang diundangkan pada tanggal 4 April 2018. Peluncuran e-court sendiri dilakukan oleh Ketua Mahkamah Agung (MA) Muhammad Hatta Ali pada tanggal 13 Juli 2018 di Hotel Novotel, Balikpapan, Kalimantan Timur.
Melalui aplikasi pendaftaran perkara (e-filing) misalnya, advokat atau masyarakat umum yang sudah terdaftar, dapat melakukan pendaftaran gugatan/permohonan secara elektronik tanpa harus datang ke pengadilan, memilih pengadilan yang berwenang, mendaftarkan surat kuasa khusus, membayar PNBP surat kuasa, menginput para pihak, mengunggah dokumen gugatan/permohonan dapat dilakukan secara elektronik.
Bahkan untuk menghemat waktu, surat jawaban, replik, duplik dan/atau kesimpulan dapat dikirim secara elektronik tanpa perlu sidang, dengan catatan para pihak setuju menggunakan aplikasi ini. Apabila dihitung-hitung maka para pihak hanya perlu sidang 4-6 kali saja yaitu, pada saat mediasi, pembacaan gugatan, pemeriksaan saksi, alat bukti, dan pembacaan putusan.
Untuk pembayaran perkara juga dapat dilakukan dengan aplikasi (e-payment), dimana penggugat/pemohon nanti akan memperoleh taksiran panjar biaya perkara (e-SKUM) yang disertai kode akun virtual saluran pembayaran elektronik, lalu melakukan pembayaran, dan setelah mendapat konfirmasi maka akan mendapatkan nomor perkara setelah diregister dalam sistem informasi penelusuran perkara (SIPP).
Panggilan sidang pun sudah tidak perlu lagi melalui pos atau juru sita, penggugat akan dipanggil secara elektronik (baca: lewat e-mail), untuk tergugat/termohon untuk pertama kali dipanggil secara manual, lalu untuk proses sidang selanjutnya dapat dilakukan secara elektronik asal disetujui kedua belah pihak. Aplikasi ini juga digunakan untuk memberitahu putusan secara elektronik.
Pihak yang Diuntungkan
Kalangan yang paling diuntungkan dari penerapan aplikasi ini adalah advokat, karena selain memudahkan pendaftaran perkara, jadwal sidang pun sudah dipangkas hampir setengah, sehingga para advokat lebih fokus untuk riset penanganan kasus yang sedang ditanganinya.
Hadirnya Perma ini juga menjadi jawaban bagi masyarakat pencari keadilan (Justicia Bellen) yang selama ini terkendala waktu, jarak dan biaya.
Bisa dibayangkan misalnya yurisdiksi Pengadilan Agama Sanggau yang membawahi Kabupaten Sanggau dan Kabupaten Sekadau, Kalimantan Barat, wilayah dengan jarak terjauh adalah Kecamatan Entikong yang perbatasan langsung dengan Malaysia, di mana jarak tempuh 145 km untuk sampai di Pengadilan Agama Sanggau.
Belum lagi jalanan yang masih berkontur tanah, ditambah lagi  misalnya ada kesalahan format dan substansi gugatan, maka akan memakan waktu berhari-hari hanya untuk mengurus pendaftaran perkara saja, ini tentu buang waktu (waste of time).
Dengan sistem ini pembayaran panjar perkara pun lebih murah, karena panggilan sidang secara elektronik tidak berbayar alias nihil. Bisa dibandingkan dengan biaya panggilan secara manual yang memakai sistem radius, sebagai contoh panggilan paling jauh di Pengadilan Agama Sanggau biaya panggilan untuk radius terjauh adalah dikisaran Rp. 500.000-750.000 untuk Kecamatan Belitung Hulu untuk satu kali panggilan, biaya ini tentu sangat memberatkan para pencari keadilan yang berekonomi lemah.
Selain advokat dan masyarakat umum, aplikasi baru ini juga disambut gembira para ketua pengadilan tingkat pertama. Sampai tulisan ini dibuat jumlah peradilan umum yang sudah mengaktifkan layanan e-court sebanyak 363 dari 382 buah pengadilan, peradilan agama sebanyak 359 dari 412 buah pengadilan, dan peradilan tata usaha negara sebanyak 28 dari 30 buah pengadilan.
Disisi lain jumlah masyarakat yang sudah mendaftarkan perkara secara e-court adalah: peradilan umum sebanyak 208 perkara, peradilan agama sebanyak 714 perkara, dan PTUN sebanyak 28 perkara. Hal tersebut dapat dimaklumi karena dari 262 juta penduduk Indonesia, 54,68 % adalah pengguna internet, ini menunjukkan masyarakat Indonesia cepat menyerap informasi melalui media internet.
Tantangan Kedepan
Penggunaan e-court ke depan bukannya tanpa masalah, penulis setidaknya memiliki tiga alasan yaitu,
pertama, belum meratanya akses jaringan internet, menurut data Badan Pembangunan Nasional di seluruh Indonesia ada sekitar 25.000 desa yang belum menikmati jaringan internet, sebagian besar di Kalimantan, Sulawesai, Nusa Tenggara, dan Papua yang sebagian besar daerahnya tertinggal, terdepan, dan terluar (3T). Hal ini merupakan tantangan besar bagi bangsa Indonesia agar mampu membangun jaringan internet yang menjangkau sampai daerah-daerah tersebut.
Kedua, serangan peretas/hacker, para hacker tidak mengenal lawan, mereka menyerang lembaga apa saja yang mereka anggap penting, bahkan di tahun 2013 Indonesia paling banyak melakukan serangan cyber mengalahkan China. Hacker-hacker ini bahkan menyerang instansi pengadilan, seperti Pengadilan Negeri Unaaha, Sulawesi Tenggara dan Pengadilan Negeri Negara, Bali.
Para hacker melakukan perusakan jaringan internet selama berbulan-bulan, bahkan di PN Negara, hacker menyebarkan foto-foto yang berbau SARA. Hal ini tentu menjadi tantangan penggunaan e-court kedepan, bagaimana menanggulangi para hacker tersebut, kita tidak ingin misalnya hacker memanipulasi panggilan dan jadwal sidang, para pihak seolah-olah dipanggil melalui e-mail padahal pengadilan tidak pernah melakukan panggilan tersebut, selain meruntuhkan kepercayaan (trust) penggunaan e-court, hal ini dapat merugikan para pencari keadilan.
Ketiga, pengetahuan teknologi pegawai pengadilan, sebagian besar pegawai dan hakim masih banyak yang belum melek teknologi, terutama yang berumur 50 tahun ke atas, bagaimana mungkin bisa menerapkan aplikasi e-court dengan baik apabila para hakim dan pegawai pengadilan tidak melek teknologi? MA harus dapat menjawab tantangan ini dengan cara merekrut calon-calon hakim yang sudah melek teknologi, agar para pengadil muda tersebut dapat mengisi kemelekan teknologi dilingkungan pengadilan.
Ke depan kita harus optimis dan terus bekerja, seperti ucapan Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali "Kita sudah maju selangkah untuk menjadikan pengadilan di Indonesia seperti di negara maju". Ucapan sang ketua MA tersebut adalah juga harapan rakyat Indonesia yang rindu akan peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan sebagaimana roh dan asas UU Kekuasaan Kehakiman.
Terakhir, seperti kata Prof. Satjipto Rahardjo "Hukum untuk manusia bukan manusia untuk hukum" dan pernyataan Karl Von Savigny "Das Recht in nicht gemacht aber es ist und wird mit den Volken (hukum itu tidak dibuat, akan tetapi tumbuh dan berkembang, bersama-sama dengan masyarakat". Karena hukum untuk manusia, maka hukum harus selalu mengikuti dinamika masyarakat yang dilayaninya.
Gunawan Simangunsong
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Hukum Kenegaraan Universitas Indonesia
Peneliti Pusat Studi Ketatanegaraan (Pusaran) Universitas Tarumanagara, Jakarta
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H