Bisa dibayangkan misalnya yurisdiksi Pengadilan Agama Sanggau yang membawahi Kabupaten Sanggau dan Kabupaten Sekadau, Kalimantan Barat, wilayah dengan jarak terjauh adalah Kecamatan Entikong yang perbatasan langsung dengan Malaysia, di mana jarak tempuh 145 km untuk sampai di Pengadilan Agama Sanggau.
Belum lagi jalanan yang masih berkontur tanah, ditambah lagi  misalnya ada kesalahan format dan substansi gugatan, maka akan memakan waktu berhari-hari hanya untuk mengurus pendaftaran perkara saja, ini tentu buang waktu (waste of time).
Dengan sistem ini pembayaran panjar perkara pun lebih murah, karena panggilan sidang secara elektronik tidak berbayar alias nihil. Bisa dibandingkan dengan biaya panggilan secara manual yang memakai sistem radius, sebagai contoh panggilan paling jauh di Pengadilan Agama Sanggau biaya panggilan untuk radius terjauh adalah dikisaran Rp. 500.000-750.000 untuk Kecamatan Belitung Hulu untuk satu kali panggilan, biaya ini tentu sangat memberatkan para pencari keadilan yang berekonomi lemah.
Selain advokat dan masyarakat umum, aplikasi baru ini juga disambut gembira para ketua pengadilan tingkat pertama. Sampai tulisan ini dibuat jumlah peradilan umum yang sudah mengaktifkan layanan e-court sebanyak 363 dari 382 buah pengadilan, peradilan agama sebanyak 359 dari 412 buah pengadilan, dan peradilan tata usaha negara sebanyak 28 dari 30 buah pengadilan.
Disisi lain jumlah masyarakat yang sudah mendaftarkan perkara secara e-court adalah: peradilan umum sebanyak 208 perkara, peradilan agama sebanyak 714 perkara, dan PTUN sebanyak 28 perkara. Hal tersebut dapat dimaklumi karena dari 262 juta penduduk Indonesia, 54,68 % adalah pengguna internet, ini menunjukkan masyarakat Indonesia cepat menyerap informasi melalui media internet.
Tantangan Kedepan
Penggunaan e-court ke depan bukannya tanpa masalah, penulis setidaknya memiliki tiga alasan yaitu,
pertama, belum meratanya akses jaringan internet, menurut data Badan Pembangunan Nasional di seluruh Indonesia ada sekitar 25.000 desa yang belum menikmati jaringan internet, sebagian besar di Kalimantan, Sulawesai, Nusa Tenggara, dan Papua yang sebagian besar daerahnya tertinggal, terdepan, dan terluar (3T). Hal ini merupakan tantangan besar bagi bangsa Indonesia agar mampu membangun jaringan internet yang menjangkau sampai daerah-daerah tersebut.
Kedua, serangan peretas/hacker, para hacker tidak mengenal lawan, mereka menyerang lembaga apa saja yang mereka anggap penting, bahkan di tahun 2013 Indonesia paling banyak melakukan serangan cyber mengalahkan China. Hacker-hacker ini bahkan menyerang instansi pengadilan, seperti Pengadilan Negeri Unaaha, Sulawesi Tenggara dan Pengadilan Negeri Negara, Bali.
Para hacker melakukan perusakan jaringan internet selama berbulan-bulan, bahkan di PN Negara, hacker menyebarkan foto-foto yang berbau SARA. Hal ini tentu menjadi tantangan penggunaan e-court kedepan, bagaimana menanggulangi para hacker tersebut, kita tidak ingin misalnya hacker memanipulasi panggilan dan jadwal sidang, para pihak seolah-olah dipanggil melalui e-mail padahal pengadilan tidak pernah melakukan panggilan tersebut, selain meruntuhkan kepercayaan (trust) penggunaan e-court, hal ini dapat merugikan para pencari keadilan.
Ketiga, pengetahuan teknologi pegawai pengadilan, sebagian besar pegawai dan hakim masih banyak yang belum melek teknologi, terutama yang berumur 50 tahun ke atas, bagaimana mungkin bisa menerapkan aplikasi e-court dengan baik apabila para hakim dan pegawai pengadilan tidak melek teknologi? MA harus dapat menjawab tantangan ini dengan cara merekrut calon-calon hakim yang sudah melek teknologi, agar para pengadil muda tersebut dapat mengisi kemelekan teknologi dilingkungan pengadilan.