Dipercayai bahwa, istri dengan betis besar itu mengisyaratkan tak neko-neko dalam bekerja. Sementara, punggung yang lebar itu simbol kekuatan. Mungkin maksudnya adalah ketika menyunggi roto [sejenis anyaman berbentuk keranjang] dan memikul beban yang lain.
Lebih lanjut lagi, rumah tangga petani Manggarai itu memiliki jam terbang tersendiri dalam bekerja, yakni dikenal dengan sebuah istilah;
duat gula we'e mane..[kerja dari pagi hingga sore hari]
Selain merujuk pada alokasi waktu kerja, idiom kerja petani Manggarai ini dapat diartikan juga sebagai tindakan yang terdorong oleh manifestasi kebudayaan agraris.
Baca juga: Hesiodos dan Etos Kerja "Duat Gula We'e Mane"
Dan bagi lelaki tani Manggarai, peran sosok istri dalam keluarga memang sangat penting, lantaran andilnya sangat besar bagi keberlangsungan hidup rumah tangga petani.
Karena kita berbicara dalam ruang lingkup rumah tangga petani, maka keberhasilan panen merupakan salah satu parameter keberhasilan oleh adanya kerjasama antara pihak laki-laki [suami dan anak] dengan pihak perempuan [istri dan anak].
Perlu diingat bahwa, kedudukan istri di dalam rumah tangga petani Manggarai bukanlah abdi dari suami [patron]. Sederhananya, suami dan istri merupakan satu-kesatuan yang utuh dan harus dipandang setara.
Pertanian merupakan rahim kebudayaan orang Manggarai dan perempuan merupakan simbol kehidupan dan kesuburan
Lebih daripada penjelasan di atas, bagi lelaki Manggarai, segala sesuatunya tetap kembali ke alam, naluri dasar manusia. Demikian halnya dalam memperlakukan perempuan. Harus ada kepekaan dan kehati-hatian.
Tersebab, perempuan adalah mahluk yang identik dengan kelemahlembutan, sehingga sebagai kosekuensinya, harus dikasih-sayangi lahir dan batin.(*)
Kopce☕
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H