Baca juga: Bertani Sambil Berfilsafat
Lebih lanjut, di dalam beberapa kebudayaan, akan didapati ragam bentuk ritual agraris yang sifatnya esensial. Selain meminta restu alam pada saat pembukaan lahan, musim tanam dan pasca panen, tapi juga sebagai simbol doa dan menghargai alam.
Objek simbolik dalam doa itu biasanya beragam. Entah itu berupa hewan, telur, beras, bunga dan lain sebagainya.
Hakekat dari doa tersebut bertolak dari sebuah kesadaraan, bahwa alam (tanah, air, gunung dan lembah) merupakan bagian yang integral dan tak terpisahkan dari kehidupan manusia.
Relasi yang saling melengkapi antar manusia dan alam itulah yang pada satu sisi menjadi fondasi dasar keseluruhan hidup manusia, dan pada sisi yang lain alam dan manusia saling menghidupi antar satu dengan yang lain.
Praktik kebudayaan ini pula yang tertanam dalam selama ratusan tahun lamanya, serta turut membentuk pola tutur dan perilaku masyarakat dalam memanfaatkan dan melayani alam.
Masyarakat yang saya maksudkan di sini adalah petani yang bermukim di perdesaan. Yang notabene mereka masih berpegang teguh pada tradisi agraris dan masih menerapkan pola pertanian alami dalam hal bercocok tanam.
Sebagaimana petani yang sehari-harinya bekerja di ladang dan menggantungkan hidupnya dari hasil alam, maka konstruktif berpikirnya adalah bagaimana memanfaatkan peluang bertaninya sebaik mungkin.
Selebihnya, adalah menumbuhkan kesadaran akan pentingnya mengelola sumber daya yang ada demi keniscayaan pertanian di masa yang akan datang.
Dalam artian, usah pertaniannya tak hanya diperuntukkan dan dinikmati saat ini saja, melainkan menyiapkan peluang bertani bagi masa depan anak cucunya.