Mohon tunggu...
Guıɖo Arısso
Guıɖo Arısso Mohon Tunggu... Insinyur - ᗰᗩᖇᕼᗩEᑎ

ᗰᗩᖇᕼᗩEᑎ

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kapela Tua Jadi Saksi

7 Oktober 2020   20:02 Diperbarui: 8 Oktober 2020   07:26 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kapela Wae Balak, kapela tua tempat ibadah di sekolah Philip (santuklaus.ch)

Memasuki bulan Mei, bulan Maria, siswa siswi di sekolah Philip mengadakan doa rosario bersama. Mereka rutin mengadakan doa bersama di depan gua Maria yang letaknya di tengah perkebunan sekolah.

Doa rosario itu diadakan setiap hari pada jam 16.00 sore selama sebulan penuh. Di sana berkumpul anak-anak SMA, SMP dan juga biarawan biarawati. Di sana pula mereka menyanyikan lagu Yo Ende Maria yang ngelangut, khas Manggarai.

Kebiasaan itu sudah menjadi kultus tersendiri di sekolah Philip yang bernaung di bawah karya misionaris barat.

Memasuki hari keempat di bulan Maria itu, Philip memberanikan diri untuk menyambagi Riska di kelasnya, pada saat jam istirahat kedua KBM sekolah. 

Maksud hati ingin mengajak Riska bertemu sebentar sore di kapela. Selebihnya, merasakan seperti apa sensasi ketika berada di dekat Riska, sang adiratnanya itu.

"Sesudah doa rosario nanti, kita ketemuan di kapela ya, Ris?"

Celutuk Philip yang mengalun sendu tepat di gendang telinga Riska. Mendengar ucapan itu, Riska hanya tersenyum sipu; pertanda setuju.

Suatu sisi, alasan kuat yang mendorong Riska mengiyakan ajakan itu, tersebab dimatanya, Philip digambarkan sebagai sosok sophrosyne (bijak, rendah hati), dewasa dan tidak suka berbuat onar. Baik itu di sekolah juga di asrama. Meski secara tampang, Philip lumayan proporsional.

Sepulang bertemu Riska, kebahagian Philip mencapai kulminasi. Seakan dia berjalan diatas angin dan telapak kakinya tak menyentuh tanah lagi. Ya. Pikirannya sudah mengawang-awang (bayeond) melampaui realitas.

Galibnya, Philip amat naksir berat dengan Riska, gadis manis yang sudah duduk di bangku kelas 2 SMA itu. Secara badaniah, Riska memang sangat elok dipandang mata. Setidaknya, situasi itu semakin terang terlihat dari posisi Philip berpijak.

Dalam relung jiwa Philip, ada hasrat yang berdarah-darah untuk mencaplok hati sang adiratna, tanpa sisa. Terbilang, hasrat itu mengendap sangat dalam, mengakar dan radikal di dalam dirinya.

¿

Tibalah pada sore itu, segenap anak-anak asrama dan sejumlah pemimpin komunitas di sekolah Philip, berjalan menuju gua Maria untuk berdoa rosario bersama.

Setiba didekat gua dan hendak memulai doa bersama, masing-masing dari mereka membentuk perkumpulan-perkumpulan kecil. 

Anak asrama di sekolah Katolik memang begitu. Pada saat doa bersama, terjadi pemisahan antar kelompok putri dan juga putra. 

Tidak ada aturan yang mewajibkan itu sebenarnya. Hanya saja karena faktor in se (baca: dirinya masih malu-malu kucing). Selebihnya, mewanti-wanti ada tangan jahil yang mencolek dari arah samping atau dari belakang bila duduk bareng.

Tampak, sore itu Riska mengenakan baju bewarna biru langit dan celana pendek selutut. Persisnya pula, ia duduk paling depan di kelompoknya. Demikian dengan wajahnya yang bersinar, ayu nun ceria

Begitu pula dengan Philip. Tampilannya sore itu sangat berbeda. Hitam rambutnya sangat mengkilap, dan badanya bermandikan parfum kasablanca; harum semerbak. Setidaknya, teman lelaki yang duduk disebelahnya memberikan kesaksian seperti itu.

Selama doa rosario berlangsung, acapkali keduanya saling mencuri pandang. Terlihat sangat kompak dan sesekali menyampaikan pesan cinta lewat kedipan mata. Dari sederet kode-kode (dialogis) itu, semakin mempertebal niat hati dari keduanya untuk bertemu.

¿

Setelah doa bersama selesai, satu persatu dari anak asrama pergi meninggalkan tempat sakral itu. Hanya tinggal beberapa orang saja yang masih belum beranjak, karena masih ingin melanjutkan doa; menyampaikan itensi pribadinya didepan patung Bunda Maria. 

Selebihnya, ada Philip dan Riska yang masih bertahan.

Karena merasa situasi sudah agak bersahabat, secepat cahaya, Philip mulai mendekati Riska dan menyapa dengan nada suara yang merendah. Lalu, memegang tangan Riska tanpa sungkan. Ada tawa-tawa kecil terdengar di tengah perbincangan mereka.

Pada momen pertemuan perdana itu pula, Philip hendak menembak Riska. Ia ingin menumpahkan isi hatinya itu kepada Riska dengan apa adanya dan sejujur-jujurnya.

Lalu, untuk memuluskan niatnya itu, Philip membawa Riska ke Kapela Wae Balak, kapela tua yang letaknya agak ke selatan dan tidak jauh dari gua Maria. Hal itu dilakukannya atas pertimbangan situasi dan agar tidak menodai kekhusyukan orang yang sementara berdoa.

Sesampainya di teras kapela tua, sembari dengan manja memegang jari-jemari kedua tangan Riska, Philip mengatakan cintannya:

"Aku sangat mencintaimu, Ris. Sudah lama aku ingin mengatakan hal ini kepadamu. Dan kupikir inilah waktu yang tepat" kata Philip, serius.

Lagi dan lagi, Riska hanya tersenyum. Entah, mungkin dia kehilangan kata-kata saking tepersona. Riska kemudian jatuh ke pelukan Philip. Dipeluknya Riska dengan erat, penuh kelembutan dan kasih sayang. 

Sejak saat itu, di hari keempat bulan Maria, Philip dan Riska resmi menjalin hubungan yang diikat dengan tali kasih dan cinta, tentu saja.

Sungguh sebuah awal yang baik, karena perjalinan cinta mereka terikrar di bulan suci dan disaksikan oleh kapela tua, tempat Tuhan bersemedi.(*)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun