Selama ini pula, berulang kali kami anak-anaknya melarang beliau untuk tidak usah ke kebun lagi dan bekerja yang berat-berat. Tetapi ia tetap saja ngotot;
"Hee.. Saya bisa stress berat bahkan bisa kena struk bila tidak ke kebun lagi" gerutunya.
Berkesadaran pada hal itu, kami biasanya mengalah; "Yo sudah, Bapa". Meski kami juga tahu, keinginannya itu tidak lebih dari sekadar memenuhi subjek hasratnya semata. Maklum, orang tua seumuran beliau sudah tidak peduli lagi dengan subjek ekonomi yang menjadi tanggung jawab kami anak-anaknya. Ha ha ha
Demikian halnya bila kami sekeluarga sedang ngumpul dan ngopi bareng di pendopo rumah, pasti saja topik diskusinya seputar perkebunan dan/atau tanaman. Tidak lebih dari itu.
***
Bila menghela narasi seputar pemanenan cengkeh yang usai belum lama ini, beliau lebih memilih untuk menangani bagian penyortiran dan penjemuran cengkeh di rumah bersama Mama tercinta.
Mungkin karena Bapak sudah menganggap kami anak-anaknya mahir dalam mengkoordinasi jalannya pemetikan di kebun. Jadi, kehadiranya tidak dirasa perlu lagi.
Lebih lanjut, di Kecamatan Pacar sendiri, beliau tidak saja di kenal sebagai seorang guru, melainkan juga petani cengkeh besar. Lebih tepatnya, memiliki lahan perkebunan cengkeh yang lumayan besar dari serumpun petani cengkeh lain.
Begitu juga halnya dengan kami jika sedang ditanyai oleh orang; "Om, anaknya si pak anu yang punya cengkeh banyak itu ya?". Meski ujung-unjungnya minta bibit cengkeh juga. Ahaaha
Tetapi memang benar demikian. Galibnya, seusai panen cengkeh kami sengaja menyisahkan bunga cengkeh pada beberapa dahan pohon untuk modal pembibitan nanti.