Mohon tunggu...
Guıɖo Arısso
Guıɖo Arısso Mohon Tunggu... Insinyur - ᗰᗩᖇᕼᗩEᑎ

ᗰᗩᖇᕼᗩEᑎ

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Menghela Narasi Seputar Anak-anak Kecil dan Kebun

15 Maret 2020   23:58 Diperbarui: 16 Maret 2020   15:49 492
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di tempat saya, Manggarai, mengikutsertakan anak-anak ke kebun sudah menjadi bagian dari kearifan lokal

Dewasa ini, masih adakah anak-anak yang suka bermain ke kebun? Hampir tidak ada. Aktivitas seperti ini tidak diminati lagi oleh kalangan anak-anak. Mereka lebih doyan dan akrab dengan game online dan atau bermain TikTok.

Bagi kami orang desa, membiasakan anak-anak ke kebun bukan saja artefak---kearifan lokal-- masa lampau, melainkan masih kontekstual dan membumi hingga kini.

Hal ini dilakukan agar eksistensi kearifan lokal tetap kukuh, maka kepada generasi penerus perlu ditanamkan rasa cinta terhadap lingkungan dan atau alam sekitar.

Perlu diketahui juga bahwa, kebudayaan masyarakat Manggarai mempunyai keterkaitan yang integral dengan alam lingkungan hidup. Sehingga sudah menjadi kosekuensi logis bila kebiasaan mengikutsertakan anak-anak ke kebun kian terasa afdol.

Bahkan ketika saya duduk di bangku Sekolah Dasar (SD), salah satu cara yang dapat ditempuh oleh sekolah adalah dengan cara mengintegrasikan nilai-nilai kearifan lokal dalam proses pembelajaran, ekstrakurikuler, atau kegiatan kesiswaan.

Adalah melalui pelajaran muatan lokal (Mulok). Di sana diajarkan bagaimana peserta didik membantu orangtuanya bertani dan atau bercocok tanam. Bahkan ada kalanya guru menghukum murid yang kuku jari tangan-kakinya bersih dan panjang.

Konon disinyalir di rumah pasti tidak membantu orangtua berkebun, memasak dan atau mencari kayu bakar. Hahaha

Mengajak Anak-anak ke Kebun

Setiap kali pulang kampung di akhir pekan, saya selalu menyempatkan diri untuk menengok tanaman di kebun. Ya, hitung-hitung berwisata ekologis selepas rigiditas--gindikan kesibukan kota.

Dalam ekspedisi ke kebun tersebut, saya selalu mengajak beberapa anak kecil yang seumuran anak TK-Paud. Dan kebanyakan dari mereka adalah anak dari abang saya dan atau paman.

Kadang tanpa saya ngajak pun pasti mereka mencalonkan diri. 'Om Gui, gami iwot ngo wa uma ta de? (Om Gui, kami ikut juga ke kebun dong?) pinta mereka. Oke, saya bilang. Kami pun melenggang pergi.

Dengan begitu, saya harus mampir ke kios terlebih dulu untuk membelikan mereka jajan. Kalau tiga orang ya cukup sepuluh rebu. Hehe

Letak kebun-- warisan tanah ulayat---saya, kebetulan tidak terlalu jauh dari desa. Jaraknya hanya 200 meter, dan kalau ditempuh dengan jalan kaki ya nggak nyampek 20 menitan. Apalagi kalau jalan barengan dengan konco-konco ini tadi, pasti nggak terasa.

Sesampainya di kebun, bila menghela narasi seputar anak kecil yang dunianya adalah bermain, terkadang mereka memanfaatkan kebun menjadi wahana permainan. Tak hanya bermain masak-masakan, juga menaik-naiki pohon dan ragam mainan lainnya.

Menaiki pohon cengekh (Dok.pri)
Menaiki pohon cengekh (Dok.pri)
Pun ketika saya pulang menengok tanaman dari sudut ke sudut kebun, mereka kemudian meminta penilaian saya terhadap masak-masakan mereka itu. Puji-pujian saya pun tanpa batas kepada mereka.

Yang saya takutkan ketika mereka diluar kontrol kita  pada saat berada di kebun. Bisa saja keselamatan mereka diragukan, semisal digigit binatang buas hingga terperosok kedalam lubang. Tetapi puji Tuhan, saya belum punya pengalaman "horor" seperti itu bersama mereka. Hehe

Selebihnya, saya selalu memperkenalkan mereka dengan varietas tanaman yang dijumpai di kebun. Seraya memberi tahu akan manfaat di baliknya. Tidak perlu juga memaksakan mereka untuk mengerti, cukup mereka tahu ala kadarnya saja.

Manusia dengan Alam adalah Satu Kesatuan

Menggiatkan kembali kebiasaan mengikutsertakan anak-anak ke kebun saya rasa penting untuk menyeimbangkan diri mereka. Baik diri mereka dengan alam, juga belajar mencintai hingga menghargai alam.

Kehidupan manusia dikeliliingi oleh budaya, hal ini disebabkan karena manusia selalu berupaya untuk mempertahankan eksistensinya dalam kehidupan yang mengharuskan selalu bersinggungan dengan lingkungan sekitar. Baik lingkungan fisik dan non fisik.

Proses pembentukan budaya berlangsung berabad-abad dan teruji sehingga membentuk suatu komponen yang handal, terbukti dan diyakini dapat membawa kemaslahatan lahir dan batin. Komponen inilah yang saya sebut sebagai kearifan lokal (jati diri).

Budaya masyarakat Manggarai sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu. 

Kebiasaan mengikut sertakan anak---anak ke kebun secara tidak langsung membentuk perilaku manusia sehingga terus diwariskan seiring lintas generasi.

Budaya itu sendiri suatu produk dari akal budi manusia, setidaknya bila dilakukan dengan pendekatan etimologi. Dalam hal ini kebudayaan dan masyarakat sangatlah erat kaitannya.

Dalam pergiliran budaya antar generasi dibutuhkan generasi perantara yang sudah mampu memahami konteks dari generasi tua, seraya mampu mengkomunikasikan ke dalam bahasa yang ringan dan mudah dimengerti oleh generasi selanjutnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun