Kadang tanpa saya ngajak pun pasti mereka mencalonkan diri. 'Om Gui, gami iwot ngo wa uma ta de? (Om Gui, kami ikut juga ke kebun dong?) pinta mereka. Oke, saya bilang. Kami pun melenggang pergi.
Dengan begitu, saya harus mampir ke kios terlebih dulu untuk membelikan mereka jajan. Kalau tiga orang ya cukup sepuluh rebu. Hehe
Letak kebun-- warisan tanah ulayat---saya, kebetulan tidak terlalu jauh dari desa. Jaraknya hanya 200 meter, dan kalau ditempuh dengan jalan kaki ya nggak nyampek 20 menitan. Apalagi kalau jalan barengan dengan konco-konco ini tadi, pasti nggak terasa.
Sesampainya di kebun, bila menghela narasi seputar anak kecil yang dunianya adalah bermain, terkadang mereka memanfaatkan kebun menjadi wahana permainan. Tak hanya bermain masak-masakan, juga menaik-naiki pohon dan ragam mainan lainnya.
Pun ketika saya pulang menengok tanaman dari sudut ke sudut kebun, mereka kemudian meminta penilaian saya terhadap masak-masakan mereka itu. Puji-pujian saya pun tanpa batas kepada mereka.
Yang saya takutkan ketika mereka diluar kontrol kita pada saat berada di kebun. Bisa saja keselamatan mereka diragukan, semisal digigit binatang buas hingga terperosok kedalam lubang. Tetapi puji Tuhan, saya belum punya pengalaman "horor" seperti itu bersama mereka. Hehe
Selebihnya, saya selalu memperkenalkan mereka dengan varietas tanaman yang dijumpai di kebun. Seraya memberi tahu akan manfaat di baliknya. Tidak perlu juga memaksakan mereka untuk mengerti, cukup mereka tahu ala kadarnya saja.
Manusia dengan Alam adalah Satu Kesatuan
Menggiatkan kembali kebiasaan mengikutsertakan anak-anak ke kebun saya rasa penting untuk menyeimbangkan diri mereka. Baik diri mereka dengan alam, juga belajar mencintai hingga menghargai alam.
Kehidupan manusia dikeliliingi oleh budaya, hal ini disebabkan karena manusia selalu berupaya untuk mempertahankan eksistensinya dalam kehidupan yang mengharuskan selalu bersinggungan dengan lingkungan sekitar. Baik lingkungan fisik dan non fisik.
Proses pembentukan budaya berlangsung berabad-abad dan teruji sehingga membentuk suatu komponen yang handal, terbukti dan diyakini dapat membawa kemaslahatan lahir dan batin. Komponen inilah yang saya sebut sebagai kearifan lokal (jati diri).
Budaya masyarakat Manggarai sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!