"Membicarakan Mantan Pacar, sedianya mengais kembali cerita yang pernah tercecer dalam suatu periode"
Sebelum kita menguliti sang mantan habisan-habisan di sini, izinkan saya menggunakan terminologi mantan pacar ini tanpa mereduksi kualitas moralnya. Sebagaimana saya juga dikonkritasikan sedemikian olehnya. Hukum timbal balik, bray!
Lebih lanjut, saya sendiri adalah tipe manusia yang daya ingatanya rendah. Sehingga bila diperintah untuk mengingat sesuatu, kecil kemungkinan untuk diejawantahkan. Secara empirik otak saya memang kadang soak.
Tapi menjelang momen valentine yang sakral ini, saya coba meneropong kembali sampai ke dasar batok kepala, siapa tahu puing-puing kisah asmara itu masih menempel seperti artefak dan belum beranjak.
Dan ternayata, memang masih ata satu dua hal. Secara historis, puing-puing asmara itu punya nilai sejarah dan sifatnya urgent. Yeah, kosekuensi logis cinta pada pandangan pertama memang demikian. Ehem
Tapi bila dipaksakan untuk mengingat kembali rentetan kenangan itu, terkadang saya merasa leher saya terjerat kawat jemuran. Sakitnya satu digit di atas keselek tulang ikan. Nggak enak banget!
Ihwal kesesakan ini tentu berkesadaran pada cerita perpisahan. Boleh dibilang kepergiannya meninggalkan bara di dada. Tapi sejauh ini saya tidak punya dendam kesumat sampai ke ulu hati dengannya. Toh itu pilihannya, kehendaknya. Woles gan!
Menyibak Wajah Liyan Sang Mantan
Dua tahun satu bulan kami pernah membangun hubungan. Siklus relativisme percintaan kami diawali dengan kenalan, PDKT-an hingga pacaran.
Namanya Loreta. Perempuan Manggarai yang cantik, tinggi, dan berambut air. Banyak punggawa yang menaksirnya, termasuk saya. Loreta memang sulit ditaklukan.
Hingga kini setelah berpisah pun saya tidak tahu kenapa dulu dia tertarik denganku, mau menerima salamku. Sekali saja aku pernah bertanya; Kenapa? Namun jawabannya mengawang-awang. Tak bisa ditarik sebuah konklusi. Dia benar-benar misterius adanya.
Benar kata Opa Nietzsche (filsuf Prusia), wanita memiliki pesona yang sulit kita tangkap. Meskipun kita berusaha keras sampai menelanjanginya. Wanita misterius adanya.
Lebih lanjut, Kami awali masa-masa pacaran itu menjelang semester akhir di bangku kuliah. Secara kebetulan kami juga seangkatan, cuma beda jurusan dan kampus.
Loreta sangat baik lagi perhatian. Manjanya juga gak ketulungan. Pundakku kerap menjadi sandarannya. Hobby-nya traveling, ya sesuai dengan jurusannya pendidikan sejarah. Meloncat dari satu candi ke candi yang lain.
Berkat hobby-nya itu, saya jadinya ikut termobilosasi mengikuti hasrat ke mana hatinya ingin pergi. Singkatnya terjadi kapitalisasi virus; cinta dan jalan-jalan.
Sejujurnya memang saya bukanlah tipe laki-laki yang romantis. Lidah saya pun kurang lincah untuk melahirkan kata-kata indah. Adakalanya, saya terpaksa membengkokkan sedikit mulut agar suara mengalin sendu (sok imut). Kendati pun Loreta tak banyak menuntut harus ini dan itu kepadaku.
Segmentasi saya di tahun kedua bersamanya ialah, memantapkan pilihan untuk memperistrikannya kelak. Berita baik itu pula saya beberkan dengan kedua orang tua saya dikampung.
Karena bila meyelisik ke belakang, pada setahun yang sudah-sudah, dia adalah pasangan yang cocok dan saya anggap ekual (gue banget).
Tapi apa mau dikata, seusai kami berdua diwisuda dan tamat barengan, hubungan itu mendadak renggang begitu saja. Persisnya setelah kami sudah pulang dan menetap di kampung.
Terjadi miskomunikasi. Ditambah lagi faktor jaringan (sinyal) di desa yang 'asma' kian memperlebar jurang pemisah antar kami berdua. Blass, saban hari dirinya menjadi asing saja.
Dua bulan setelah itu, mengendus kabar bahwa dia telah dijodohkan dengan pria lain oleh orang tuanya. Tak tanggung-tanggung, acara pernikahannya pula akan diselenggarakaan dua minggu setelah itu.
Sontak kepala saya jadi penpeng mendengar kabar itu. Saya lebih memilih diam dan mengasingkan diri dari jejaring media sosial. Orangtua saya yang sedari awal mengetahui hubungan kami berdua, sedini coba menguatkan saya penuh cinta.
"Ah, sudahlah. Mungkin bukan jodohku. Kuhormati pilihannya" batinku
Loreta dengan suaminya memang sudah menikah November 2019 kemarin. Jika saya perhatikan dia sangat bahagia dengan kehidupannya. Saya juga merasa senang, setidaknya ada pria baik yang menjaganya kini.
Bertani, Jalan Ninjaku Melupakan Mantan
Salah satu saluran untuk move on dari mantan pacar ialah memperdayakan diri dengan aktivitas pertanian. Hal ini mungkin terdengar asing untuk sekaliber masyarakat urban.
Tapi saya sudah membuktikanya. Meski setahun terakhir ini saya merasa termotivasi. Lha kok cukup, berarti kurang totalitas nih niat melupakan mantan?
Hemm, Iyo memang. Tapi setidaknya kita punya waktu untuk manuver ke hal-hal lain yang lebih produktif tentunya. Sehingga episteme di dalam batok kepala tidak melulu statis dengan kegalauan semu saja.
Selain terus terkungkung dalam kegalutan, pun energi habis tersedot dengan hal-hal konyol untuk diratapi. Harus diakui memang galau merupakan gejolak yang sangat manusiawi. Tapi bukan berarti kita terus terperdaya dengan hal demikian, bukan?
Atau entahlah, saluran setiap orang memang berbeda. Tapi untuk saya, dengan nimbrug kedalam aktivitas tani seperti ini sedini bisa keluar dari lingkaran setan tersebut. Heheh
Demikian saja curhatan ini saya beberkan apa adanya di sini, dengan sejujur-jujurnya dan sewaras-warasnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H