Mohon tunggu...
Gubuk Literasi SMAIS
Gubuk Literasi SMAIS Mohon Tunggu... Penulis - Komunitas Literasi SMA Islam Sabilillah Malang

Kumpulan siswa-siswi melek baca-tulis di SMA Islam Sabilillah Malang Boarding School Sistem Pesantren. Berdiri sejak 1 Agustus 2018 dan telah meretaskan 80 buku solo maupun antologi ber-ISBN.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Bait Kenangan yang Tertulis di Buku Kuningku

7 Mei 2024   20:30 Diperbarui: 7 Mei 2024   21:07 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penulis: Titania Anziamecca Jauzanuha
Kelas: X 2C

-------------------------------

Bait kenangan di buku kuningku

1 hari... 2 hari... mungkin berhari hari

Aku bertahan tanpa perasaan yang pasti

Secangkir teh yang ku minum

Terasa lebih pahit pagi itu

Hari hari terus berulang

Membuat kenangan yang sama

Semakin lama semakin muak

Hidup yang kujalani ini hambar

Apakah selamanya aku akan berjalan

Di atas perihnya air mata yang tertelan

Apakah selamanya aku takan terlihat

Di tengah kerumunan orang orang

Kakiku terlalu lelah untuk berjalan

Mungkin sekarangku merangkak

Berusaha untuk tetap bergerak

Mencapai garis akhir di sana

 

Pengukir Bintang

Gelapnya langit malam

Tak kan pernah hangat

Malam...

Tanpa adanya sang purnama

Mereka membunuh jiwa jiwa

Yang dipenuhi kesunyian

Kartika...

Dimanakah dirimu menghilang

Dahayumu menyita heningnya malam

Membawa kehangatan dalam senyap

Kama selalu kau dapat

Sinarmu mengundang mudita

Kini siapakah yang kan menjadi kartika?

Yang kembali menyita sunyinya malam

Dan menggantikan dengan kehangatan

Inikah orangnya?

Yang membuatku mengukir kenangan

Pada gelapnya nabastala

Perempuan Dengan Kameranya

Pukul sepuluh awal

Aku berdiri dengan lempang

Memindai perempuan dengan kameranya

Kamera yang selalu dibawanya

Sekali dua kali ia mengambil gambar

Memicu rasa penasaran akan hasilnya

Seiring berjalannya waktu

Semakin tinggi rasa penasaranku

Pagi hari sampai petang

Aku selalu menemukan poros matanya

Tak bosan ia mengukir senyuman

Diatas bibir indahnya

Saat aku mendengar namanya

Hanya senyum manisnya

Yang selalu ku ingat

Rasa girang tak bisa ia sembunyikan

Saat berkisah akan belahan hatinya

Sebait kisah yang ia sampaikan

Tak kan menjadi kisah yang  jelak

Itulah sepintas kata

Tentang perempuan dengan kameranya

Seorang yang tak pernah bosan

Mengabadikan kenangan

Dengan kamera kesayanganny

Bintang yang redup

Setiap malam kau terbangun

Menatap bintang yang redup

Malam itu sudah sangat kusut

Namun kau tetap menyinari yang redup

Apa kau tidak lelah?

Menerangi gelapnya malam

Mengapa kau tidak mengelak?

Terkadang kau juga harus bernafas

Hiduplah...

Cahayamu itu bersinar

Namun,  jangan terlalu kasar

Dunia akan menghina yang kasar

Apa gunanya langit malam?

Jika kau tidak menghiasnya

Ukirlah kenanganmu di bulan

Bersama dengan namamu yang bersinar

Sepatu Yang Tertinggal

 

Waktu terus berlari

Mengejar diriku yang tak sanggup berlari

Sepatuku tertinggal

Menungguku untuk kembali menjumpainya

Namun aku tak menemukannya

Mungkin ia takkan sadar tanpa pemiliknya

Namun tanpa alasku aku sadar

Tajamnya duri menusuk kakiku

Berdarah darah

Kakiku lecet

Oh apa ini yang mama katakan

Aku tak bisa hidup tanpa sepatuku

Mbak Aku Datang

Mentari kembali menyapa dunia

Oh sayang

Hanya kepedihan yang tersisa

Merampas air mata yang menggenang

Mbak

Adikmu sudah datang

Suaranya lirih

Tapi aku mendengarnya jernih

Mukanya berseri

Melukis air mata di bumi

Meninggalkan rasa perih

Namun, wajahnya berseri

Sudahlah, ia senang bertemu mbaknya

Kerutan jelek di wajahnya sirna

Mbaknya tersenyum melihat adiknya datang

Ia tidak pergi dengan sia sia

Namun ia kembali mengukir luka

Ia mengukir dengan indah

Diatas bekas lukaku yang masih perih

Biar kukatakan sekali lagi

Selamat pergi

Ukiranmu takkan pernah mati

Inung Tjandrawati...

Selembar Harapan

Dinginnya udara lalu

Perlahan menyita rasa lelahku

Kertas yang berisi harapan

Kembali memberi pelajaran

Mungkin sejam lagi

Aku kembali dengan perasaan yang ringan

Apakah aku salah?

Apa seharusnya aku tidak berharap demikian?

Kenyataan perlahan mengikis pikiranku

Kebohongan mendarah daging pada diriku

Kertas yang bertulisan harapan

Perlahan mengubah semuanya

4 Februari

Mungkin menjadi hari perih

Namun perlahan aku mengerti

Apa yang orang katakan saat aku dini

Oh jadi begini rasanya

Menanggung harapan yang mereka berikan

Oh tapi sayang

Aku itu anak papa

Kecewa

Petang ini mungkin bukan seperti harapan

Amarah dan duka menyita kesenangan

Mungkin banyak yang kecewa

Akupun kecewa

Namun apa boleh kekecewaan menyayat kemenangan?

Apakah boleh induk ayam memakan anaknya?

Oh kejam sekali!

Kami disini bukan untuk mati

Bapak, Ibu bagaimana kalau mereka tau?

Kamu menghianati kepercayaan bapak ibuku

Oh jadi untuk ini kamu dibayar?

Untuk membuang kami sia sia

Mimpi Yang Terlupakan

Aku sendiri

 Menatap gelapnya malam

Di jendela kamarku yang sunyi

Merasakan dinginnya malam

Yang perlahan membawa kembali

Mimpi yang terlupakan

Mimpi itu kembali

Kembali menagih apa yang ku janjikan

Aku tak mampu

Tak mampu menepati janjiku

Perlahan janjiku terkikis

Oleh kenyataan yang ku jalani

Bukan rumahku

Aku kembali ke admosfer ini

Atmosfer yang sudah tidak asing

Langit hari ini begitu indah

Tapi tidak untuk perasaan

Hampa

30 malam

Sangat lama untukku menunggu 30 malam

Hatiku tak siap

Pada akhirnya ku terima semua

Pulang?

Ini bukan rumah yang kucari

Mataku tertusuk air mata

Aku tak sanggup pulang

Bibirku membeku

Wajah apa yang akan aku pasang

Di hadapan orang yang menungguku

Apakah disini tempatnya?

Apakah ini rumahku?

Rambut pendekku

Saat aku kembali

Papa bertanya tanya

Kemana pergi rambut pendekmu nak?

Ia tak tau

Ramput pendekku sudah hilang

Menjadi saksi

Bahwa aku bukan lagi anak kecil

Aku bukan lagi anak kecil

Yang menangis jika mainannya diambil

Mungkin sekarang

Aku lebih lemah

Hatiku mudah tersayat

Aku lebih banyak membisu

Ternyata rambutku sudah panjang

Rumah kodok tersisa imajinasi

Aku sudah dewasa pa

Kasur yang Terasa Luas

Pukul 9 malam

Aku memeluk erat

Guling yang bersarung merah

Membuat malamku lebih nyaman

Namun ada yang hilang

Kasurku  terasa luas

Tidak ada kehangatan

Senyum yang kulihat

Perlahan pudar

Bersamaan dengan

Hlangnya sang rembulan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
  19. 19
  20. 20
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun