Penulis: Titania Anziamecca Jauzanuha
Kelas: X 2C
-------------------------------
Bait kenangan di buku kuningku
1 hari... 2 hari... mungkin berhari hari
Aku bertahan tanpa perasaan yang pasti
Secangkir teh yang ku minum
Terasa lebih pahit pagi itu
Hari hari terus berulang
Membuat kenangan yang sama
Semakin lama semakin muak
Hidup yang kujalani ini hambar
Apakah selamanya aku akan berjalan
Di atas perihnya air mata yang tertelan
Apakah selamanya aku takan terlihat
Di tengah kerumunan orang orang
Kakiku terlalu lelah untuk berjalan
Mungkin sekarangku merangkak
Berusaha untuk tetap bergerak
Mencapai garis akhir di sana
Â
Pengukir Bintang
Gelapnya langit malam
Tak kan pernah hangat
Malam...
Tanpa adanya sang purnama
Mereka membunuh jiwa jiwa
Yang dipenuhi kesunyian
Kartika...
Dimanakah dirimu menghilang
Dahayumu menyita heningnya malam
Membawa kehangatan dalam senyap
Kama selalu kau dapat
Sinarmu mengundang mudita
Kini siapakah yang kan menjadi kartika?
Yang kembali menyita sunyinya malam
Dan menggantikan dengan kehangatan
Inikah orangnya?
Yang membuatku mengukir kenangan
Pada gelapnya nabastala
Perempuan Dengan Kameranya
Pukul sepuluh awal
Aku berdiri dengan lempang
Memindai perempuan dengan kameranya
Kamera yang selalu dibawanya
Sekali dua kali ia mengambil gambar
Memicu rasa penasaran akan hasilnya
Seiring berjalannya waktu
Semakin tinggi rasa penasaranku
Pagi hari sampai petang
Aku selalu menemukan poros matanya
Tak bosan ia mengukir senyuman
Diatas bibir indahnya
Saat aku mendengar namanya
Hanya senyum manisnya
Yang selalu ku ingat
Rasa girang tak bisa ia sembunyikan
Saat berkisah akan belahan hatinya
Sebait kisah yang ia sampaikan
Tak kan menjadi kisah yang  jelak
Itulah sepintas kata
Tentang perempuan dengan kameranya
Seorang yang tak pernah bosan
Mengabadikan kenangan
Dengan kamera kesayanganny
Bintang yang redup
Setiap malam kau terbangun
Menatap bintang yang redup
Malam itu sudah sangat kusut
Namun kau tetap menyinari yang redup
Apa kau tidak lelah?
Menerangi gelapnya malam
Mengapa kau tidak mengelak?
Terkadang kau juga harus bernafas
Hiduplah...
Cahayamu itu bersinar
Namun, Â jangan terlalu kasar
Dunia akan menghina yang kasar
Apa gunanya langit malam?
Jika kau tidak menghiasnya
Ukirlah kenanganmu di bulan
Bersama dengan namamu yang bersinar
Sepatu Yang Tertinggal
Â
Waktu terus berlari
Mengejar diriku yang tak sanggup berlari
Sepatuku tertinggal
Menungguku untuk kembali menjumpainya
Namun aku tak menemukannya
Mungkin ia takkan sadar tanpa pemiliknya
Namun tanpa alasku aku sadar
Tajamnya duri menusuk kakiku
Berdarah darah
Kakiku lecet
Oh apa ini yang mama katakan
Aku tak bisa hidup tanpa sepatuku
Mbak Aku Datang
Mentari kembali menyapa dunia
Oh sayang
Hanya kepedihan yang tersisa
Merampas air mata yang menggenang
Mbak
Adikmu sudah datang
Suaranya lirih
Tapi aku mendengarnya jernih
Mukanya berseri
Melukis air mata di bumi
Meninggalkan rasa perih
Namun, wajahnya berseri
Sudahlah, ia senang bertemu mbaknya
Kerutan jelek di wajahnya sirna
Mbaknya tersenyum melihat adiknya datang
Ia tidak pergi dengan sia sia
Namun ia kembali mengukir luka
Ia mengukir dengan indah
Diatas bekas lukaku yang masih perih
Biar kukatakan sekali lagi
Selamat pergi
Ukiranmu takkan pernah mati
Inung Tjandrawati...
Selembar Harapan
Dinginnya udara lalu
Perlahan menyita rasa lelahku
Kertas yang berisi harapan
Kembali memberi pelajaran
Mungkin sejam lagi
Aku kembali dengan perasaan yang ringan
Apakah aku salah?
Apa seharusnya aku tidak berharap demikian?
Kenyataan perlahan mengikis pikiranku
Kebohongan mendarah daging pada diriku
Kertas yang bertulisan harapan
Perlahan mengubah semuanya
4 Februari
Mungkin menjadi hari perih
Namun perlahan aku mengerti
Apa yang orang katakan saat aku dini
Oh jadi begini rasanya
Menanggung harapan yang mereka berikan
Oh tapi sayang
Aku itu anak papa
Kecewa
Petang ini mungkin bukan seperti harapan
Amarah dan duka menyita kesenangan
Mungkin banyak yang kecewa
Akupun kecewa
Namun apa boleh kekecewaan menyayat kemenangan?
Apakah boleh induk ayam memakan anaknya?
Oh kejam sekali!
Kami disini bukan untuk mati
Bapak, Ibu bagaimana kalau mereka tau?
Kamu menghianati kepercayaan bapak ibuku
Oh jadi untuk ini kamu dibayar?
Untuk membuang kami sia sia
Mimpi Yang Terlupakan
Aku sendiri
 Menatap gelapnya malam
Di jendela kamarku yang sunyi
Merasakan dinginnya malam
Yang perlahan membawa kembali
Mimpi yang terlupakan
Mimpi itu kembali
Kembali menagih apa yang ku janjikan
Aku tak mampu
Tak mampu menepati janjiku
Perlahan janjiku terkikis
Oleh kenyataan yang ku jalani
Bukan rumahku
Aku kembali ke admosfer ini
Atmosfer yang sudah tidak asing
Langit hari ini begitu indah
Tapi tidak untuk perasaan
Hampa
30 malam
Sangat lama untukku menunggu 30 malam
Hatiku tak siap
Pada akhirnya ku terima semua
Pulang?
Ini bukan rumah yang kucari
Mataku tertusuk air mata
Aku tak sanggup pulang
Bibirku membeku
Wajah apa yang akan aku pasang
Di hadapan orang yang menungguku
Apakah disini tempatnya?
Apakah ini rumahku?
Rambut pendekku
Saat aku kembali
Papa bertanya tanya
Kemana pergi rambut pendekmu nak?
Ia tak tau
Ramput pendekku sudah hilang
Menjadi saksi
Bahwa aku bukan lagi anak kecil
Aku bukan lagi anak kecil
Yang menangis jika mainannya diambil
Mungkin sekarang
Aku lebih lemah
Hatiku mudah tersayat
Aku lebih banyak membisu
Ternyata rambutku sudah panjang
Rumah kodok tersisa imajinasi
Aku sudah dewasa pa
Kasur yang Terasa Luas
Pukul 9 malam
Aku memeluk erat
Guling yang bersarung merah
Membuat malamku lebih nyaman
Namun ada yang hilang
Kasurku  terasa luas
Tidak ada kehangatan
Senyum yang kulihat
Perlahan pudar
Bersamaan dengan
Hlangnya sang rembulan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H