Mohon tunggu...
Go Teng Shin
Go Teng Shin Mohon Tunggu... -

Menulis dengan Data dan Logika.\r\nHobby tertawa, tinggal di Jakarta Barat

Selanjutnya

Tutup

Politik

Dua Muka Teman Ahok

10 Juni 2016   12:33 Diperbarui: 10 Juni 2016   12:37 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dalam beberapa hari terakhir ini kita disuguhi drama ditolaknya dua pendiri Teman Ahok masuk Singapura. Ada broadcast sensasional dengan kata-kata ISOLASI, TERORIS, dan MENGERAHKAN KEKUATAN ke Kedubes negeri jiran. Lalu ada kisah menangis, traumatis setelah diinterogasi 12 jam. Belum lagi silang-sengkarut  apakah ada niat melakukan kegiatan politik atau tidak, dan perang statement antara Teman Ahok, KBRI dan Kedubes Singapura.

Drama enam hari ini dapat dikatakan drama orang amatiran, lelakon pejuang yang kurang pengalaman dan tidak teruji. Belum apa-apa sudah panik, mengancam-ancam dan memanfaatkan satu-satunya sarana yang diakrabi yaitu sosmed untuk membroadcast pernyataan jagoan ke seluruh jagad. Lalu ada yang breakdown dan trauma. Padahal pada tanggal 31 Mei kemarin, pendiri Teman Ahok mengumumkan sendiri dengan bangga, mereka punya acara pengumpulan KTP di Singapura :  http://megapolitan.kompas.com/read/2016/05/31/11431531/.teman.ahok.gelar.acara.di.singapura .

Lalu ada berita mereka mendapat penolakan tapi ngotot tetap berangkat. Dan terakhir setelah ditolak dan dideportasi, keterangan berubah jadi bukan acara politik, tidak mewakili Teman Ahok bahkan tidak tahu ada acara tersebut : http://megapolitan.kompas.com/read/2016/06/05/11062861/dua.pendiri.teman.ahok.disebut.trauma.usai.diinterogasi.imigrasi.singapura

Banyak tanggapan negatif terhadap Teman Ahok akibat peristiwa ini. Bahkan Ahok sendiri cuci tangan, menyebut Teman Ahok melanggar aturan. Meski banyak kritikan; ada banyak juga pembelanya. Seperti artikel Daniel HT yang mencoba menggambarkan Teman Ahok ini semata anak muda yang terlalu bersemangat, LUGU; lalu kritik dan komentar dicap sebagai menghina, mencela dan menzholimi anak-anak naif politik. Selanjutnya dalam posting yang sama, tulisan Yon Bayu : http://www.kompasiana.com/yonbayu/mengapa-teman-ahok-cari-dana-di-singapura_57533c1c1bafbd460dff1cb8 dan tulisan GTS : http://www.kompasiana.com/gts69/ahok-heru-teman-ahok-singapura-dan-pertempuran-para-kurawa_575398db2023bd0205002ae9 ; dituduh mengarang grand design mendaur ulang kisah 9 Naga. Apa hubungannya dengan 9 Naga benar-benar tak jelas, karena di dalam dua artikel yang disebut, teripangpun tak ada, apalagi naga.

Ada yang benar dalam pendapat tersebut bahwa Teman Ahok adalah anak-anak LUGU, apabila dilihat dari peristiwa Singapura. Katanya kedua pendiri itu ke Singapura saja belum pernah, jangan-jangan juga belum pernah keluar negeri sekalipun.Di kisah latar belakang kelima pendiri yang dipublish di media massa, pendiri Teman Ahok adalah anak umur antara 23-25 tahun. Ada yang masih sekolah, ada yang baru lulus belum pernah bekerja, ada juga yang sudah bekerja jadi salesman obat dan distributor ban. Hanya Amalia Ayuningtyas satu-satunya yang tercatat pernah bekerja di bidang politik dengan menjadi konsultan di Cyrus selama tahun 2013-2014. Selebihnya mereka semua relawan Jakarta Baru, yang pada saat Pilgub DKI baru melewati umur 20 tahun dan masih bersekolah. 

Kisah mereka berkumpul seperti sinetron sekolahan yang indah. Mengerjakan soal berkelompok, lalu bagi-bagi tugas. Ada yang jadi jubir, ada logistik, ada data entry. Kecuali tugas sekolahan hanya menghasilkan paper beberapa halaman, sementara mereka bisa mencetak rekor ratusan ribu KTP melebihi mesin parpol. Kalau sehebat ini kerja anak muda, rasanya sudah tepat pujian Guntur Soekarno yang mengutip Bung Karno. Berikan 1000 pemuda seperti ini, Amerika dan China pasti terguncang.

Kalau ada cerita Kedubes Singapura menyatakan mereka mengaku melakukan kegiatan politik; sebenarnya tidak perlu disalahkan - coba bayangkan anak amatir yang baru pertama kali keluar negeri dipremani petugas negara Singapura yang demikian digdaya. Apabila omongannya mencla-mencle; juga tidak perlu merasa malu - toh cagub junjungan yang lebih tua dan diidolakan sudah terkenal rajanya ngeles.

Tunggu. 

Ini kita bicara tentang siapa? 

Teman Ahok.

Mari diurutkan kembali. 

Teman Ahok adalah lima anak muda idealis dan innocent yang pada Juni 2015 bisa maju ke depan Notaris untuk bikin akte. Pada saat mereka baru beberapa tahun saja mendapat KTP. Sementara teman sepantarannya masih dangkal soal hukum; mereka sudah bisa membentuk organisasi secara legal dan sah.

Jika dulu Faisal Basri dikabarkan sampai harus berhutang dengan jaminan rumah untuk biaya menjadi cagub independent, lima anak muda ini langsung dapat seed money dari Cyrus Network Rp 500 juta. Lembaga Konsultan yang biasanya haus duit, tiba-tiba jadi dermawan dan sosial, berinvestasi setengah miliar untuk calon independent yang saat itu menyatakan diri akan nyalon saja belum.

Lalu entah bagaimana caranya, lima anak muda ini bisa memakai asset Pemprov DKI di Graha Pejaten dengan GRATIS. Pada saat teman-temannya bayar kamar kos saja masih harus menadah kepada orang tua. 

Kita bicara tentang anak muda dari keluarga bersahaja. Bukan Melvany Kasih si anak magang sekaligus putri bos Artha Graha. Apalagi Sunny Tanuwijaya si anak magang yang punya sejumlah konglomerat di speed dial.

Lebih hebat lagi, tiba-tiba saja mereka bisa membuka puluhan posko di mall; dengan properti yang bernilai belasan-puluhan juta setiap boothnya : meja, kursi, banner, credenza yang semua dipesan khusus. Lalu ada yang menjaga sejak mall buka sampai tutup. Hari biasa 1-2 orang, kalau weekend bisa 3-5 orang bahkan lebih. Luar biasa, pada saat bisnis yang sudah established saja tidak segampang itu bisa membuka point of sales, apalagi sampai puluhan dalam waktu singkat.

Anak muda Teman Ahok yang sangat luar biasa; dalam hitungan bulan bisa mengumpulkan beratus ribu KTP. Dahsyatnya lagi, ngumpulinnya dua kali. Atas prestasinya yang sedemikian DIGDAYA, mereka bisa menantang Parpol yang sudah lama eksis. Dalam 2 bulan sejak berdiri,  mereka sudah mendeklarasikan jumlah KTPnya telah mengalahkan 3 partai gurem termasuk Nasdem dan Hanura. Lalu pada November 2015 mereka gembar-gembor telah mengalahkan PKS. Pada Januari 2016 kembali pecah rekor menghabisi Gerindra. Dan target finalnya adalah meng-K.O PDIP dengan lebih dari 1,2 juta KTP. Tak masalah jika perbandingan itu  apple to apple atau tidak.  Angka yang mereka jadikan acuan dalam mengalahkan parpol itu adalah angka suara dalam sehari pemilu; sementara mereka mencapainya dengan mengasong berbulan-bulan di mall. 

Di zaman krisis harga diri ini kita juga disuguhkan kisah parpol gurem yang sudah dipermalukan demikian rupa, bahwa mesin partainya dianggap kalah dari anak-anak naif politik; ternyata tanpa rasa malu mendukung calon independent yang notabene eksistensinya adalah bukti ketidak-becusan parpol dalam kaderisasi.

Dan puncaknya, para anak muda Teman Ahok ini juga begitu SAKTI sampai bisa mengultimatum Ahok pada Maret 2016, pilih mereka atau pilih PDIP. 

Ahok? Ada yang bisa mengancam Ahok ya? Ada yang bisa membuat Ahok menurut? Hebattt sekali, sementara politisi senior saja banyak yang lemas kakinya menghadapi Ahok.

Setelah sederet kiprah dan prestasi yang luar biasa di atas; tidak heran banyak yang menganggap Teman Ahok ini anak-anak indigo dengan tiket politik fast-track. Hegemoni politik baru dan gelombang idealisme yang bisa memecah tembok, sedahsyat falungong. Bahkan katanya Singapura pun sampai dibikin takut kesambet gelombang pembaharuan ini, sampai sedemikian paranoidnya  melarang bazaar makanan, ceramah anak muda sambil mengumpul 100-200 KTP di ruang rapat sewaan. 

Image yang hebat ini sayangnya langsung buyar pada tes tekanan pertama. Jangankan dibanding dengan anggota falungong yang sanggup dipersekusi begitu kejam, atau mahasiswa pendemo pemerintah yang menerjang dengan nekad di bawah hujan pentungan dan gas air mata, atau gerakan mahasiswa di Trisakti dan Semanggi yang menghadapi peluru karet sampai peluru tajam; para pendiri Teman Ahok yang hebat ini ternyata begitu rapuh. Yang ke Singapura traumatis dan menangis di ruang interview imigrasi berAC dan petugas yang tunduk pada konvensi Jenewa. Yang di rumah gegabah menyebar ancaman pada negara lain bak cacing kepanasan. Setelah itu pakai teknik lawas, menggoreng isu jilbab untuk menuai simpati.

Lucu bukan? Teman Ahok seperti memiliki DUA MUKA. Kita diminta menerima standar ganda. Kiprah Teman Ahok sedemikian hebat, mengalahkan mesin partai, menantang PDIP partai pemenang pemilu, berani mengultimatum Gubernur paling gahar, bisa membuat organisasi yang sedemikian masif, menggerakkan ratusan relawan tanpa bayaran; sehingga kita ingin memperlakukan mereka sebagai orang dewasa, sebagai kekuatan politik yang sangat diperhitungkan. Tapi ujug-ujugnya begitu kepentok, seperti dalam kasus Singapura ini; kita diminta melihat Teman Ahok seperti anak muda lugu, naif dan patut dikasihani. Mengkritik berarti membully, menghina, menyudutkan, menzholimi.

Sekarang mari bahas mengenai DANA.

Teman Ahok selalu mengaku bahwa pendanaan mereka berasal dari penjualan merchandise. Pada awalnya website mereka tidak memuat laporan keuangan. Lalu belakangan laporan keuangan itu dipajang, 3 lembar kwarto dalam PDF. Hanya 3 bulan saja : bulan Juni 2015, Juli 2015, lalu 14 Agustus 2015. Mengapa yang Agustus bukan akhir bulan tapi tanggal 14? Wallahualam.

Laporan tanggal 14 Agustus itu adalah yang terakhir. Mengapa setelah panjat pinang tujuh belasan tak ada laporan lagi, juga hanya Teman Ahok yang tahu. Barangkali selembar kwarto perbulan juga sudah terlalu sulit dibuat. Angka-angka per 14 Agustus 2015 itu yang mereka letakkan besar-besar sebagai banner laporan keuangan Teman Ahok. Pendapatan Rp 797.376.000. Pengeluaran Rp 762.978.864. Saldo Rp 34.397.136. Dan ini adalah saldo per 14 Agustus 2015.

Laporan rinciannya sungguh terlihat abal-abal. Tapi karena hanya inilah yang tersedia, maka harus diberi kehormatan untuk dianalisa. Dari pendapatan Rp 797 juta tersebut, Rp 500 juta disebutkan sebagai sumbangan, dan kita paham bahwa inilah seed money dari Cyrus. Berarti dalam sekitar 3 bulan itu, hanya Rp 297 juta yang dikumpulkan sendiri oleh Teman Ahok.

Pada ketiga laporan, terlihat bahwa belanja Teman Ahok sekitar Rp 250 jutaan perbulan sementara income dari penjualan merchandise hanya Rp 290 juta untuk tiga bulan. Jadi pada dasarnya mereka hanya mengandalkan dana awal Rp 500 juta tsb untuk hidup. Pada bulan kedua dan ketiga defisit lebih dari Rp 100 juta setiap bulannya. Bagaimana organisasi yang terus membuka booth, mencetak material, membuat animasi dan design, memiliki cyber team dan cyber bully; bisa terus beroperasi hanya dengan menjual merchandise dalam defisit semacam ini? Hanya Teman Ahok yang tahu, sebab transparansinya tidak ada sama sekali. Laporan yang mereka buat, tak bertujuan mengedukasi maupun informatif; hanya sekedar buat bekal bagi pendukung Ahok yang asbun untuk ngomong : 'ada kok laporan keuangannya!'

Sekarang coba kita bicara kualitas material yang dipakai Teman Ahok. Yang bergerak di bidang promosi pasti tahu berapa harganya material dengan kualitas demikian. Booth khusus dengan cat duco. Banner dan website dengan design mutakhir. Berbagai video animasi yang disebar di pasar digital ongkosnya puluhan sampai ratusan juta per menit. Semua design seperti diproduksi PH mahal. Sekualitas, misalnya produksi PH Top seperti Narrada, jika bukan dari Narrada sendiri. Tak ada jawaban yang logis. Paling-paling kita disuruh mempercayai bahwa semua itu gratis.

Pengeluaran terbesar di luar biaya interior dan perabot Graha Pejaten Rp 130 juta; adalah biaya sewa booth, operasional posko, biaya inventaris (merchandise) dan biaya formulir. Setiap bulannya hasil penjualan merchandise hanya bisa menutup biaya posko, tak tersisa untuk biaya cetakan, transport, logistik, meeting dll. Biaya listrik, air, telpon tidak wajar karena sangat kecil. Biaya aset seperti komputer dll tidak tampak. Biaya gaji atau disebut uang transport oleh Amalia untuk ratusan relawan, tidak terlihat. Luar biasa. Relawan Teman Ahok yang katanya sampai 400 orang ini adalah manusia-manusia ahli dan berbakat, dari grafis sampai social media, administrasi sampai pengolah database, beberapa bahkan memiliki kemampuan bisnis dan relasi luar biasa dalam menggalang dana, membuka booth dan menjalankan organisasi yang sedemikian profesional. 

Yang terpenting, saat anak muda lain fokus pada sekolah dan merintis karir; mereka bersedia menyumbangkan bakatnya tanpa bayaran, malah nombok transport, makan dan mungkin juga bawa komputer, printer dan kertas rim sendiri. Pakai motor dan mobilnya dengan BBM dari kantong sendiri.

Apakah semua ini benar dan masuk akal? Kita diminta membuang logika ke tong sampah dan mengangguk-angguk seperti kerbau dicucuk hidung.

Di dunia nyata operasi sebesar ini jelas membutuhkan dana besar. Tenaga ahli dan skill profesional mana ada yang gratis. Listrik, BBM dan Biaya Telpon menumpuk. Coba ambil saja laporan Teman Ahok itu dan bandingkan dengan mini market yang jual sandang-pangan bukan merchandise. Bisa sakit perut si pemilik mini market ketawa melihat absurditasnya.

Seberapa laku merchandise Teman Ahok? Banyakkah yang memakainya? Dimana? Dalam 3 bulan pertama, merchandise yang laku Rp 290 juta, setara 2.900 kaus. KTP terkumpul saat itu sekitar 200 ribu. Berarti hanya 1%-2% saja yang menyumbang dengan membeli merchandise. Orang Jakarta paling takut membuka dompetnya kecuali buat shopping. Lantas atas dasar apa ada khayalan bahwa kalau 10% saja teman Ahok menyumbang Rp 100 ribu, 20% saja menyumbang Rp 50 ribu akan terkumpul miliar-miliaran, dan seterus-seterusnya? Apabila produk yang baru dilaunch saja segini seret di awal, bagaimana kelanjutannya? Sudah pernah melihat booth Ahok di mall yang sepi bulan-bulan belakangan ini, dimana kaos-kaos tergantung letoy dengan debu menebal?

Sudah rahasia umum biaya politik sedemikian mahal. Kita disuruh percaya ada cara yang sedemikian murah dan simsalabim, cukup dipimpin anak baru lewat abege juga bisa menggurita, setiap orang idealis langsung siap jadi relawan, berkorban waktu dan biaya. Padahal kenyataannya semua ini hanya bikinan konsultan politik yang sedang berebut rezeki dengan partai; dan dalam kasus Ahok - membangun bargaining chip terhadap PDIP, sebagai ban serep apabila gagal membuat deal dengan partai, dan untuk mendulang simpati karena jalur independen dianggap terobosan dan lebih seksi bagi pemilih yang naif.

Biaya pengumpulan KTP ini sebenarnya receh bagi dunia politik. Biaya verifikasi faktual yang melibatkan ribuan saksi yang luar biasa mahal. Biaya mobilisasi, biaya transpor, uang saku. Celakanya bagi Teman Ahok, KTP yang dikumpulkan di mall tersebar sporadis. Berbeda dengan KTP yang dikumpulkan di kelurahan-kelurahan tempat massa akar rumput berkumpul, maka cukup kembali ke lokasi kelurahan untuk menemui mereka untuk verifikasi.

Ya, mayoritas KTP Ahok berasal dari mall dan posko di tempat bisnis dan ibadah para double minority pendukungnya. Di depan toko buah, mom-pop shop, bengkel, restoran dan gereja di kantong-kantong Tionghoa dan Kristen di Jakarta Barat, Jakarta Pusat dan Jakarta Utara. Orang sok tahu dari Papua mau memggurui dari orang Jakarta, mengcopy paste gambar posko sederhana di tempat marginal dari web Teman Ahok sebagai pembuktian teorinya. Memasang spanduk adalah soal gampang, tak otomatis membuat pos hansip atau rumah penduduk menjadi posko penjaring KTP. Coba perhatikan foto posko-posko yang sepi, dimana penjaganya? Dimana pengumpul KTPnya? Dimana massanya? 

Untuk mengatasi metode sensus, menyediakan saksi dan memobilisasi pemilik KTP diperlukan biaya amat besar. Tidak bisa lagi dikisahkan ditutup dari jual kaus. Pengadaan event adalah salah satu cara melewatkan transaksi duit yang lebih besar. Apalagi event di luar negeri yang sulit diverifikasi KPUD. Beberapa ide sudah digelontorkan sebagai pondasi. Menjual tiket, menjual meja untuk jamuan ketemu Ahok. Menjual tiket sudah dicoba di Teman Ahok Fair, hasilnya dingin dingin saja tak sesuai harapan. Yang bisa lebih besar adalah menjual meja dengan Rp 50 juta per meja. Untuk mengumpulkan Rp 500 juta perlu 50 meja dan 100 orang membayar Rp 5 juta.

Adakah 100 orang RIIL mau membayar Rp 5 juta untuk menonton dan bersalaman dengan Ahok? Mungkin, kalau Ahok adalah Il Divo bersuara emas. Sebaliknya Ahok adalah penyanyi lagu jamban yang frekuensi kemunculannya di TV dan media sudah begitu menjemukan. Lain cerita kalau ada daur ulang dana dan sponsor berdompet tebal yang beli meja, kemudian 10 pinokio berbaju batik diadakan untuk duduk menikmati jamuan supaya tidak melanggar aturan.

Event di luar negeri tidak ada nilai politisnya dan pemberitaannya juga tidak mengangkat pamor Ahok. Lantas untuk apa ngotot diadakan? Apakah Pemerintah Singapura juga mudah terusik dengan bazaar makanan dan pengumpulan KTP kecil-kecilan? Penolakan masuk ya ditolak saja, mengapa ditanyai sampai 12 jam?

Semua adalah hipotesis berdasarkan benang merah dari berbagai peristiwa. Salah satunya adalah keterlibatan Fify Leti Indra di Panama Papers yang tak pernah dijelaskan dan diutak-atik. Notaris bukan, pengacara juga tak pernah terdengar, ada apa kok namanya bisa sejajar dengan para konglomerat dan pejabat negara di skandal keuangan terbesar tahun ini?

Kebenaran hipotesis berpulang pada verifikasi KPUD atas sumber pendanaan Teman Ahok, serta kelanjutan penyidikan KPK atas aliran dana dari kasus RS Sumber Waras, CSR dan kontribusi reklamasi  melalui kerjasama dengan PPATK. Inilah yang harus dikawal terus. Sama seperti Teman Ahok dan pendukung Ahok terus-terusan mengklaim kebersihan Ahok; maka secara obyektif masyarakat juga berhak mempertanyakan klaim kebersihan tersebut tanpa dicap hater dan pemfitnah.

Sementara itu pihak di belakang Teman Ahok - ada Kompasioner di sini menulis 'inang pengasuh' - berhentilah memperalat anak-anak muda naif yang gampang dibikin stress hanya oleh peristiwa semacam Singapura. Kembalikan mereka ke habitat yang benar untuk menuntut ilmu dan membina karir, bukan terlibat politik praktis, menjadi mukadimah organisasi politik, dihadapkan ke intrik politisi parpol bangkotan dan menerima sumbangan sumir dengan nama mereka tercantum di akte. Janganlah anak-anak muda idealis disuruh pasang badan, menjadi topeng domba bagi serigala politik yang hanya memperjuangkan kepentingannya sendiri. 

Politik adalah dunia yang keras dengan resiko tidak kecil. Pertaruhan sebesar ini bukanlah untuk anak tanggung yang baru lulus sekolah dan masa depannya belum lagi dimulai. Biar Papa minta Reklamasi yang berurusan dengan Papa Minta Saham, karena ranah politik memang habitatnya para Papa, bukan dunia anak-anak.

Jakarta, 10 Juni 2016

GTS69

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun