Mohon tunggu...
Go Teng Shin
Go Teng Shin Mohon Tunggu... -

Menulis dengan Data dan Logika.\r\nHobby tertawa, tinggal di Jakarta Barat

Selanjutnya

Tutup

Politik

Dua Muka Teman Ahok

10 Juni 2016   12:33 Diperbarui: 10 Juni 2016   12:37 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Seberapa laku merchandise Teman Ahok? Banyakkah yang memakainya? Dimana? Dalam 3 bulan pertama, merchandise yang laku Rp 290 juta, setara 2.900 kaus. KTP terkumpul saat itu sekitar 200 ribu. Berarti hanya 1%-2% saja yang menyumbang dengan membeli merchandise. Orang Jakarta paling takut membuka dompetnya kecuali buat shopping. Lantas atas dasar apa ada khayalan bahwa kalau 10% saja teman Ahok menyumbang Rp 100 ribu, 20% saja menyumbang Rp 50 ribu akan terkumpul miliar-miliaran, dan seterus-seterusnya? Apabila produk yang baru dilaunch saja segini seret di awal, bagaimana kelanjutannya? Sudah pernah melihat booth Ahok di mall yang sepi bulan-bulan belakangan ini, dimana kaos-kaos tergantung letoy dengan debu menebal?

Sudah rahasia umum biaya politik sedemikian mahal. Kita disuruh percaya ada cara yang sedemikian murah dan simsalabim, cukup dipimpin anak baru lewat abege juga bisa menggurita, setiap orang idealis langsung siap jadi relawan, berkorban waktu dan biaya. Padahal kenyataannya semua ini hanya bikinan konsultan politik yang sedang berebut rezeki dengan partai; dan dalam kasus Ahok - membangun bargaining chip terhadap PDIP, sebagai ban serep apabila gagal membuat deal dengan partai, dan untuk mendulang simpati karena jalur independen dianggap terobosan dan lebih seksi bagi pemilih yang naif.

Biaya pengumpulan KTP ini sebenarnya receh bagi dunia politik. Biaya verifikasi faktual yang melibatkan ribuan saksi yang luar biasa mahal. Biaya mobilisasi, biaya transpor, uang saku. Celakanya bagi Teman Ahok, KTP yang dikumpulkan di mall tersebar sporadis. Berbeda dengan KTP yang dikumpulkan di kelurahan-kelurahan tempat massa akar rumput berkumpul, maka cukup kembali ke lokasi kelurahan untuk menemui mereka untuk verifikasi.

Ya, mayoritas KTP Ahok berasal dari mall dan posko di tempat bisnis dan ibadah para double minority pendukungnya. Di depan toko buah, mom-pop shop, bengkel, restoran dan gereja di kantong-kantong Tionghoa dan Kristen di Jakarta Barat, Jakarta Pusat dan Jakarta Utara. Orang sok tahu dari Papua mau memggurui dari orang Jakarta, mengcopy paste gambar posko sederhana di tempat marginal dari web Teman Ahok sebagai pembuktian teorinya. Memasang spanduk adalah soal gampang, tak otomatis membuat pos hansip atau rumah penduduk menjadi posko penjaring KTP. Coba perhatikan foto posko-posko yang sepi, dimana penjaganya? Dimana pengumpul KTPnya? Dimana massanya? 

Untuk mengatasi metode sensus, menyediakan saksi dan memobilisasi pemilik KTP diperlukan biaya amat besar. Tidak bisa lagi dikisahkan ditutup dari jual kaus. Pengadaan event adalah salah satu cara melewatkan transaksi duit yang lebih besar. Apalagi event di luar negeri yang sulit diverifikasi KPUD. Beberapa ide sudah digelontorkan sebagai pondasi. Menjual tiket, menjual meja untuk jamuan ketemu Ahok. Menjual tiket sudah dicoba di Teman Ahok Fair, hasilnya dingin dingin saja tak sesuai harapan. Yang bisa lebih besar adalah menjual meja dengan Rp 50 juta per meja. Untuk mengumpulkan Rp 500 juta perlu 50 meja dan 100 orang membayar Rp 5 juta.

Adakah 100 orang RIIL mau membayar Rp 5 juta untuk menonton dan bersalaman dengan Ahok? Mungkin, kalau Ahok adalah Il Divo bersuara emas. Sebaliknya Ahok adalah penyanyi lagu jamban yang frekuensi kemunculannya di TV dan media sudah begitu menjemukan. Lain cerita kalau ada daur ulang dana dan sponsor berdompet tebal yang beli meja, kemudian 10 pinokio berbaju batik diadakan untuk duduk menikmati jamuan supaya tidak melanggar aturan.

Event di luar negeri tidak ada nilai politisnya dan pemberitaannya juga tidak mengangkat pamor Ahok. Lantas untuk apa ngotot diadakan? Apakah Pemerintah Singapura juga mudah terusik dengan bazaar makanan dan pengumpulan KTP kecil-kecilan? Penolakan masuk ya ditolak saja, mengapa ditanyai sampai 12 jam?

Semua adalah hipotesis berdasarkan benang merah dari berbagai peristiwa. Salah satunya adalah keterlibatan Fify Leti Indra di Panama Papers yang tak pernah dijelaskan dan diutak-atik. Notaris bukan, pengacara juga tak pernah terdengar, ada apa kok namanya bisa sejajar dengan para konglomerat dan pejabat negara di skandal keuangan terbesar tahun ini?

Kebenaran hipotesis berpulang pada verifikasi KPUD atas sumber pendanaan Teman Ahok, serta kelanjutan penyidikan KPK atas aliran dana dari kasus RS Sumber Waras, CSR dan kontribusi reklamasi  melalui kerjasama dengan PPATK. Inilah yang harus dikawal terus. Sama seperti Teman Ahok dan pendukung Ahok terus-terusan mengklaim kebersihan Ahok; maka secara obyektif masyarakat juga berhak mempertanyakan klaim kebersihan tersebut tanpa dicap hater dan pemfitnah.

Sementara itu pihak di belakang Teman Ahok - ada Kompasioner di sini menulis 'inang pengasuh' - berhentilah memperalat anak-anak muda naif yang gampang dibikin stress hanya oleh peristiwa semacam Singapura. Kembalikan mereka ke habitat yang benar untuk menuntut ilmu dan membina karir, bukan terlibat politik praktis, menjadi mukadimah organisasi politik, dihadapkan ke intrik politisi parpol bangkotan dan menerima sumbangan sumir dengan nama mereka tercantum di akte. Janganlah anak-anak muda idealis disuruh pasang badan, menjadi topeng domba bagi serigala politik yang hanya memperjuangkan kepentingannya sendiri. 

Politik adalah dunia yang keras dengan resiko tidak kecil. Pertaruhan sebesar ini bukanlah untuk anak tanggung yang baru lulus sekolah dan masa depannya belum lagi dimulai. Biar Papa minta Reklamasi yang berurusan dengan Papa Minta Saham, karena ranah politik memang habitatnya para Papa, bukan dunia anak-anak.

Jakarta, 10 Juni 2016

GTS69

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun