Setiap kucing lain yang mau masuk pasti ditaboknya, begitu juga terhadap paman Cipluk. Dia juga menyerangku, mencakarku, mengejarku.
Untung saja tubuhku masih mungil, sehingga aku dapat menyelamatkan diri berlari, dan bersembunyi dengan aman di bawah kolong meja.
Kalau sampai emakku tahu, pasti dia amat marah. Si Oyen Garong dan Paman Cipluk pasti akan diusirnya, seperti halnya yang terjadi sama si Ikang tukang serobot.
Emakku selalu mengajarkan kami untuk saling berbagi. Beliau akan marah sekali kalau kami berkelahi berebut makanan. Aku yang paling kecil mendapat perlakuan khusus, aku selalu dipangku saat diberi makan.
Tapi saat ini aku tidak berani keluar menghampiri emak, perutku sudah keroncongan, aku lapar dan mungkin juga susu hangat telah menjadi dingin di pagi berhujan ini. Dan, kelihatannya emakku sudah bersiap untuk pergi. Hiks.
Banyak kucing-kucing yang datang dan makan di halaman rumah emakku, termasuk indukku
Aku dibawa olehnya ke rumah emak, di saat aku sakit, mata berair, hidung ingusan, dan perut cacingan
Indukku sendiri mengabaikanku. Ia tidak mau menyusui dan merawatku, sepertinya aku ini anak tiri.
Namun dengan sabar emak mengobati mataku, mengompresnya dengan air hangat, dan memberiku obat yang rasanya pahit. Untunglah setelah beberapa hari, sakit flu-ku sembuh, mata dan hidungku tidak berair lagi.
Emak pun rajin menyuapiku susu dari pipetnya, yang tentunya keras tidak selembut puting indukku. Aku tidak suka itu, tapi aku tak berdaya menolaknya.
Walhasil, dari kucing kecil ingusan serta cacingan, aku menjelma menjadi anak kucing yang cantik.