Bhante Bhadrapala beranjak bangkit dari duduknya, berdiri tegap dan merapikan jubah beliau. Aku cepat-cepat ikut bangkit sembari beranjali, sementara Molly sudah siap mengantarkan Bhante kembali ke vihara. Dia senang, ekornya berkibas-kibas karena tahu sebentar lagi akan mendapatkan makan malam maknyus yang telah disiapkan istri Pak Jo untuknya.
"Bro, penyesalan itu derita. Menyesali yang sudah berlalu itu kebodohan ganda, bagai menghujami diri dengan dua pukulan sekaligus. Ibunda Bro tampak sedih dan menyesakkan hati, tidakkah terpikir bahwa bisa jadi itu tanda-tanda beliau sedih melihat Bro yang masih terus memikul penyesalan ke mana-mana?"
"Iya, Bhante," jawabku lirih. Tak bisa dibantah kebenarannya.
"Ngomong-ngomong, Bro sudah lakukan pelimpahan jasa untuk almarhumah Ibunda?"
Hah? Tak terpikirkan olehku. Aku menggelengkan kepala dengan malu.Terlalu larut dalam penyesalan hingga tak ingat lakukan pelimpahan jasa.
Bhante tersenyum maklum. "Lakukan kebajikan dan persembahkan jasa kebajikan itu kepada almarhumah Ibunda. Lepaskan penyesalanmu. Mimpi-mimpi itu tidak akan datang lagi."
Aku mengangguk takzim dan berkata dengan penuh syukur, "Anumodana, Bhante, atas nasihat dan cerita inspiratifnya. Perasaan saya kini sudah lebih lega dan mulai bisa menerima."
Aku menemani Bhante berjalan turun kembali ke vihara, dan ketika kami telah sampai, Molly langsung menghilang ke dapur. Bhante kembali ke kuti beliau, dan aku bersiap mengerjakan tugasku menyiram taman vihara. Sambil menyiram taman, pikiranku teringat kembali ke cerita Bhante tentang keluarga yang terkena musibah tersebut. Keluarga siapakah itu, memgapa ketika bercerita tadi Bhante tampak sangat menjiwai?
"O itu, Bro belum tahu?" tanya Pak Jo keheranan ketika aku sampaikan rasa penasaranku. "Itu cerita tentang Bhante sendiri, Bro."
"Hah? Yang benar, Pak Jo?"
"Benar, Bro. Keluarga itu adalah keluarga Bhante sendiri."