"Kamu kelihatan agak kurang hepi, ya? Banyak pikiran?"
"He, eh....," Mallika malu-malu mengaku.
"Ahh..., tidak masalah. Itu bisa dibereskan nanti sambilan kita makan siang. Yuk..., itu si keponakanku dari tadi sudah keroncongan perutnya," kata Bibi Lin sambil menggandeng tangan Mallika, mengajaknya ke ruang makan. Pablo sudah duluan ke ruang makan, karena begitu dia dengar kata "makan", dia langsung paham bahwa itu artinya sesuatu yang luar biasa menyenangkan. Maklum, anjing gembul. Aku mengikuti dari belakang dengan semangat yang tiba-tiba berkobar. Memang begitulah aturan dunia, orang lapar pasti akan mendadak bersemangat ketika menerima tawaran makan siang gratis.
Ruang makan di rumah Bibi Lin berjendela besar. Cahaya matahari dan pemandangan kebun belakang masuk dengan leluasa ke dalamnya. Bersih, terang, dan sejuk karena udara dalam dan luar bertukaran dengan lancar. Kami menikmati hidangan sederhana yang didominasi sayuran. Ada jukut ares, jukut urap, tempe goreng dan sambal matah serta beberapa tusuk sate lilit.
"Bibi, sate lilitnya terbuat dari daging apa?" tanyaku dengan penuh minat.
"Ikan tenggiri."
"Ikan tenggiri? Berarti ada juga ikan tenggara, ya?" balasku, mencoba melucu.
"Nggak lucu," si cantik menyambar sambil cemberut. Bibi tertawa melihatnya.
"Cieee....yang lagi bad mood," ledekku sambil menjulurkan lidah ke arahnya.
Dia langsung menatap tajam dengan pandangan yang mengisyaratkan "awas, jangan berani-beraninya mulai". Aku cepat-cepat menciduk beberapa bongkah nasi, mengambil porsi jukut ares dan urap, dua tusuk sate lilit, tiga potong tempe goreng dan sambal matah secukupnya. Bibi Lin sibuk mengambilkan nasi dan lauk untuk Pablo. Setelah semuanya beres, kami mulai makan sambil membicarakan si Pablo. Tentang tingkah laku pecicilannya, tentang makanan yang dia gemari juga.
"Pablo lahap sekali makannya. Dia doyan makanan kita ya, Bi?" Â tanya si cantik, heran meihat Pablo makan dengan lahap sekali di piringnya. Dia kira semua anjing seharusnya hanya doyan dogfood.