Mohon tunggu...
Kompasianer METTASIK
Kompasianer METTASIK Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis itu Asyik, Berbagi Kebahagiaan dengan Cara Unik

Metta, Karuna, Mudita, Upekkha

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Mengapa Harus di Tanggal 9?

9 Juli 2023   05:55 Diperbarui: 9 Juli 2023   06:42 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mengapa harus di tanggal Sembilan? (gambar: dutch.com, diolah pribadi)

Ngomong-ngomong soal angka, aku senang dengan angka Sembilan. Tanpa alasan yang jelas, harus colek Acek Rudy nih, kenapa sih aku harus mengalami bahagia dan derita di tanggal 9?

Kisah bermula saat secara kebetulan kucing liar yang selalu datang ke rumahku setiap pagi dan sore numpang melahirkan bayi-bayinya pada tanggal 9 Desember tahun lalu.

Dari keempat anaknya, hanya satu yang bertahan dan itupun matanya belekan. Setiap pagi dan sore hari kuobati dengan obat tetes mata untuk anak kucing. Setelah sekitar dua bulan lamanya kuobati barulah sembuh, matanya kuning bulat menantang, cantik untuk mata kucing. Dia kuberi nama si Titi, tiga saudaranya sudah meninggal sebelum sempat kuberi nama.

Titi mempunyai saudara angkat sepantaran yang kuberi nama Tutu. Pertama kali dia datang bulunya kusut masai. Tapi, setelah kumandikan, ternyata dia ganteng juga. Bulunya putih bersih, sayangnya dia tidak bertahan lama, karena induk susunya lumayan galak dan angot-angotan, sering nampol juga.

Mungkin karena dia sudah hamil lagi. kucoba menyusui Tutu dengan botol, tetapi dia tidak mau akhirnya kucoba menyuapinya dengan makanan basah dan ternyata dia suka.

Setelah nafsu makannya bagus, tubuhnya pun mulai berisi, ganteng. Aku merasa bahagia punya sepasang kitten yang cantik dan ganteng.  Mereka berdua rukun, tidur, makan, dan bermain bersama. Aku sering juga ikut bermain dengan melemparkan mereka, tali rafia yang ujungnya kuberi racikan kertas agar mereka meraihnya bergantian.

Namun kebersamaan ini tidaklah lama, anicca berlaku disini. Tiba-tiba sore itu sepulang kantor kujumpai Tutu sudah terkapar kaku, disampingnya Titi terbaring bergeming. Sementara induk susunya melibat-libat di kakiku. Kuraih Tutu dan kucoba memijat-mijat dadanya sambil berharap dia beraksi atas pijatanku. Ternyata tidak berhasil.

Untuk sementara kubiarkan dia tergeletak dilantai yang sudah kualasi underpad, sementara aku memberi makan induknya dan Titi. Induknya seperti biasa makan dengan lahapnya, sementara Titi sepertinya merasa kehilangan. Dia hanya mengendus-endus makanan dan berkali-kali mendekati jasad Tutu.

Aku binggung Tutu meninggal tanpa sebab yang pasti. Paginya saat kusuapi dia masih segar bugar, lincah, dengan nafsu makan yang bagus. Bahkan dalam hal makan Tutu lebih bergairah daripada Titi. Aku yakin dia mati bukan karena keracunan sebab sejak kusediakan litter box. Tutu tidak pernah keluar dari halaman rumah walau pagarku masih bercelah yang memungkinkan kucing-kucing itu bebas keluar masuk rumahku.

Titi kehilangan teman bermain, untunglah tak lama setelah Tutu pergi, datanglah Putput, kuberi nama itu karena hampir keseluruhan bulunya putih, kecuali ekornya berwarna kuning.

Dilihat dari fisiknya Putput kelihatannya lebih tua dari Titi. Dia cukup tahu diri dan sopan saat pertama kali datang ke rumahku. Pandangan mata yang sayu dan penuh harap membuatku jatuh cinta.

Kedatangan Putput membuat Titi Kembali bergairah, hanya butuh satu hari untuk saling kenal, selebihnya mereka berdua cepat akrab layaknya temen sepermainan.

Namun tetap saja dia tidak kuizinkan untuk berdiam di halaman rumahku dan Putput sangat-sangat pengertian, dia akan keluar saat aku membukakan pintu dan menyuruhnya keluar.

Seperti biasa Titi kusuapi dan kuobati karena matanya mulai belekan lagi, Putput hanya menatap dengan pandangan memelas. Seolah dia berkata, "Mak aku juga ingin dimanja." Namun, karena waktuku agak sempit, maka dia kuabaikan. Tidak pernah kuelus apalagi kugendong, fokusku hanya pada Titi yang belekan.

Saat itu pula aku mengganti pintu pagarku yang mulai doyong. Setiap hari aku khwatir Titi keluar rumah, melarikan diri karena takut mendengar kebisingan yang disebabkan pekerjaan tukang las. Saat pengerjaan pagar berlangsung, Titi aman. karena Putput selalu ada didekatnya. Mereka berdua ngumpet ditumpukkan kardus dan baru keluar saat mendengar panggilanku.

Pintu pagarku yang baru, rapat tidak dapat dimasuki tikus apalagi kucing. Selama kurang lebih dua minggu Titi terpaksa tidur sendiri di dalam. Pada pagi hari saat kubuka pintu, mereka Bubu (induk Titi), Rungi, Masmas, dan Putput berhambur masuk. Sementara beberapa ekor lainnya tetap menungguku diluar rumah.

Tidak seperti Bubu yang langsung menyerbu makanan, Rungi sibuk menjilati tubuhnya, Masmas diam menunggu untuk dielus, sementara itu Putput langsung mendekati Titi dan mengajaknya bermain.

Melihat ini aku sering menambah waktu mereka bermain, Putput akan kukeluarkan saat aku mau keluar rumah dan sorenya setelah jam enam.

Sifat Rungi dan Putput hampir sama, selalu tenang, disaat yang lain nge-reog. Ia selalu sabar menunggu namanya dipanggil barulah mendekat.   

Singkat cerita pada tanggal 09 April kemarin tiba-tiba Titi menghilang bersama induknya. Aku mengira dia pergi bersama induknya yang sudah hampir melahirkan atau mungkin sudah melahirkan.

Titi pergi tanpa kembali lagi sampai saat hari ini. Dugaanku dia sudah pindah alam, karena kalau dia pergi pasti kembali setelah kupanggil lewat kucing-kucing liar lainya. Hal ini pernah kulakukan untuk memanggil pulang si Gege yang pergi entah kemana padahal waktu itu dia masih berumur dua bulanan.  

Dan pada hari yang sama Putput membawa kitten lain yang seumuran dengan Titi. Berbulu jingga, dan kuberi nama Tengteng. Walaupun berasal dari jalanan, tapi dia bersih seperti kucing rumahan yang terawatt.

Kembali Puput menjadi baby sitter bagi si Tengteng, entah kenapa aku lebih jatuh cinta dengan si Tengteng, dia langsung mengantikan kedudukan Titi di hatiku. Putput selalu memandangiku dengan mata yang sayu memelas, saat aku menyuapi dan mengendong Tengteng.

Waktu aku mendaftar untuk merayakan Waisak di Borobudur, ada sedikit rasa cemas harus meninggalkan Tengteng, karena Tengteng agak pilih-pilih makanan. He ... he ... kalau dipikir bloon juga, wong selama ini mereka hidupnya di jalan pasti tanpaku mereka bisa mencari makan sendiri.

Kucing-kucing itu seperti punya alarm tersendiri, karena setiap aku pulang kerja mereka sudah menungguku di depan rumah. Namun, di hari naas itu tanggal 9 Mei, ada mobil parkir ditempat yang biasa kuparkir. Mau tak mau aku menunggu si empunya mobil untuk memindahkan mobilnya dari tempat parkirku.

Dan, pada saat itu pula si Tengteng ditabrak telah oleh motor yang ngebut, ia sempat melesat berlari pergi bersembunyi untuk mati. Sesaat aku turun dari mobil, seorang satpam memberitahuku kalau si Tengteng tertabrak dan kabur ke rumah kost-an sebelah. Lalu, bersama si satpam aku mencarinya, dan berharap dia selamat karena masih bisa berlari.

Saat itu kebetulan pintu rumah kost itu terbuka lebar karena ada tukang sampah hendak mengepul sampah disana. Di sanalah kulihat si Tengteng terkapar. Si tukang sampah menendang, tanpa dapat kucegah, dia tetap bergeming tanpa reaksi,

 "Udah mati" imbuh si tukang sampah.

Aku langsung mengendongnya dan saat itu dia meronta dan mengigitku hingga berdarah, setelah itu dia kembali diam. Ini tidak seperti biasanya Tenteng mengigitku dengan sadis, karena setiap saat dia naik kepangkuanku tidak pernah memakai cakar-nya.

Rupanya itu kenang-kenangan terakhir dari Tengteng, mungkin dia ingin aku membencinya, karena dia menyakitiku dengan menancapkan gigi runcingnya di lenganku sampai mengeluarkan darah, supaya aku tidak merasa kehilangan. Atau jangan-jangan dia merasakan sakit yang teramat sangat?  

Dia terkulai lemas dengan mata kosong terbuka, membuat miris di dada. Kutimang seperti hari-hari kemarin, biasanya setelah selesai makan, dia akan tertidur dalam pangkuanku selama tiga sampai empat puluh menit sebelum kukeluarkan dari halamanku.  

Kuusap-usap keningnya seperti aku sedang menidurkannya, kuusap-usap matanya sambil kubisikkan, "Tengteng sayang pergilah dengan tenang, maafkan mama tidak bisa melindungimu dengan baik, tidurlah sayang, pejamkanlah matamu, agar mama dapat mengingatmu betapa imutnya kamu saat tertidur nyenyak dalam buaian mama."

Dia ternyata menuruti kata-kataku, dia memejamkan matanya.

Putput yang selama ini terabaikan mulai kuperhatikan, karena tinggal dia satu-satunya kitten. Awalnya dia menghindar, sukar untuk disentuh, mungkin dia merasa jengkel juga dengan sikap cuek-ku terhadap dirinya.

Andai dia seorang manusia, pasti dia akan protes kaya gini, "Hm ... sekarang saat udah ga ada Titi dan Tengteng baru deh mau coba-coba dekati aku."  

Di sela-sela aku berusaha mendekati Putput, ada Masmas kucing dewasa jantan, seumuran dengan Bubu dan Rungi. Karena kecilnya sering kugendong-gendong, maka tak ayal, dia kembali manja setelah selang beberapa waktu aku sibuk dengan anak-anak Bubu.

Namun akhirnya aku dapat kepercayaan untuk mengendong Putput, tapi itu juga hanya sebentar saja, dia sudah mencelat dari gendonganku.

Hari demi hari berlalu dia mulai bisa bermanja-manja denganku, dia mengantikan kedudukan Titi dan Tengteng yaitu kusuapi makan sementara dia duduk dipangkuanku.

Perhatianku terhadap Putput masih terbagi dengan Masmas. Keduanya manis dan manja. Putput berusaha mati-matian untuk mendapatkan perhatianku, dia suka mengikuti kemana pun aku pergi. Entah ke warung yang jaraknya kurang lebih dua ratus meter dari rumahku atau ke tukang mie ayam. Pokoknya begitu aku keluar rumah atau turun dari mobil dia selalu mengikutiku.

Kala aku pulang dari Jogja, dia langsung membelit kakiku dan mengikutiku sampai ke tempat perbelanjaan untuk mengantar temen seperjalananku  yang ingin menunggu gojek disana.

Saat itu aku sempat memarahinya karena takut dia tertabrak. Sesampainya di rumah dia langsung menaiki bangku kecil yang kududuki saat memberinya makan, dia menggosok-gosokkan kepalanya ke wajahku, mungkin dia merasa sangat kangen juga padaku.

Pada tanggal 9 Juni, malam itu sepulangnya dari dokter, dia begitu manja, tapi agak tidak berselera makan. Saat itu aku menyuruhnya untuk menghabiskan makanan yang sudah ada dulu. Besok pagi barulah kuberi makanan yang dia sukai.

Dia malah memilih makanan kering dan itupun tidak banyak, karena sudah agak malam, jadi aku ingin cepat-cepat mandi terus tidur. Itu karena akhir-akhir ini aku sering sekali mengantuk, kadang jam 7 atau jam 8 malam aku sudah tertidur. Maka tidak sampai satu jam bermain, memanjakannya aku sudah mengeluarkan Bubu, Rungi, Masmas, dan tentunya Putput juga.

Namun tidak seperti biasanya, begitu kukeluarkan, dia masuk, dan masuk lagi, itu terjadi dua kali.

Sayangnya aku tidak dapat membaca isyaratnya, karena itulah saat terakhir aku melihatnya. Seandainya saja aku tidak memaksanya untuk keluar dan membiarkannya bermalam dihalaman rumahku, mungkin saja dia masih hidup.  

Seperti halnya Titi aku tidak tahu kemana perginya dan apa yang terjadi dengannya?

Di antara ketiganya aku paling merasa kehilangan akan kepergian Putput. Mungkin karena terselip rasa bersalah, pernah mengabaikannya selama berbulan-bulan, padahal dia mahkluk yang manis dan penuh cinta.   

Akhirnya aku menyerahkannya kepada karma mereka masing-masing, semoga mereka semua dapat terlahir dialam yang lebih baik daripada kelahiran mereka sekarang.

Semoga semua mahkluk hidup berbahagia.

**

Jakarta, 9 Juli 2023
Penulis: Sumana Devi, Kompasianer Mettasik

Hidup Harus Penuh Sati, Setiap Saat Diamati

  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun