Mohon tunggu...
Kompasianer METTASIK
Kompasianer METTASIK Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis itu Asyik, Berbagi Kebahagiaan dengan Cara Unik

Metta, Karuna, Mudita, Upekkha

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Mengapa Harus di Tanggal 9?

9 Juli 2023   05:55 Diperbarui: 9 Juli 2023   06:42 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mengapa harus di tanggal Sembilan? (gambar: dutch.com, diolah pribadi)

Dan pada hari yang sama Putput membawa kitten lain yang seumuran dengan Titi. Berbulu jingga, dan kuberi nama Tengteng. Walaupun berasal dari jalanan, tapi dia bersih seperti kucing rumahan yang terawatt.

Kembali Puput menjadi baby sitter bagi si Tengteng, entah kenapa aku lebih jatuh cinta dengan si Tengteng, dia langsung mengantikan kedudukan Titi di hatiku. Putput selalu memandangiku dengan mata yang sayu memelas, saat aku menyuapi dan mengendong Tengteng.

Waktu aku mendaftar untuk merayakan Waisak di Borobudur, ada sedikit rasa cemas harus meninggalkan Tengteng, karena Tengteng agak pilih-pilih makanan. He ... he ... kalau dipikir bloon juga, wong selama ini mereka hidupnya di jalan pasti tanpaku mereka bisa mencari makan sendiri.

Kucing-kucing itu seperti punya alarm tersendiri, karena setiap aku pulang kerja mereka sudah menungguku di depan rumah. Namun, di hari naas itu tanggal 9 Mei, ada mobil parkir ditempat yang biasa kuparkir. Mau tak mau aku menunggu si empunya mobil untuk memindahkan mobilnya dari tempat parkirku.

Dan, pada saat itu pula si Tengteng ditabrak telah oleh motor yang ngebut, ia sempat melesat berlari pergi bersembunyi untuk mati. Sesaat aku turun dari mobil, seorang satpam memberitahuku kalau si Tengteng tertabrak dan kabur ke rumah kost-an sebelah. Lalu, bersama si satpam aku mencarinya, dan berharap dia selamat karena masih bisa berlari.

Saat itu kebetulan pintu rumah kost itu terbuka lebar karena ada tukang sampah hendak mengepul sampah disana. Di sanalah kulihat si Tengteng terkapar. Si tukang sampah menendang, tanpa dapat kucegah, dia tetap bergeming tanpa reaksi,

 "Udah mati" imbuh si tukang sampah.

Aku langsung mengendongnya dan saat itu dia meronta dan mengigitku hingga berdarah, setelah itu dia kembali diam. Ini tidak seperti biasanya Tenteng mengigitku dengan sadis, karena setiap saat dia naik kepangkuanku tidak pernah memakai cakar-nya.

Rupanya itu kenang-kenangan terakhir dari Tengteng, mungkin dia ingin aku membencinya, karena dia menyakitiku dengan menancapkan gigi runcingnya di lenganku sampai mengeluarkan darah, supaya aku tidak merasa kehilangan. Atau jangan-jangan dia merasakan sakit yang teramat sangat?  

Dia terkulai lemas dengan mata kosong terbuka, membuat miris di dada. Kutimang seperti hari-hari kemarin, biasanya setelah selesai makan, dia akan tertidur dalam pangkuanku selama tiga sampai empat puluh menit sebelum kukeluarkan dari halamanku.  

Kuusap-usap keningnya seperti aku sedang menidurkannya, kuusap-usap matanya sambil kubisikkan, "Tengteng sayang pergilah dengan tenang, maafkan mama tidak bisa melindungimu dengan baik, tidurlah sayang, pejamkanlah matamu, agar mama dapat mengingatmu betapa imutnya kamu saat tertidur nyenyak dalam buaian mama."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun