Mohon tunggu...
Kompasianer METTASIK
Kompasianer METTASIK Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis itu Asyik, Berbagi Kebahagiaan dengan Cara Unik

Metta, Karuna, Mudita, Upekkha

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Berbahagia karena Tidak Memiliki Apa-apa?

26 Juni 2023   05:55 Diperbarui: 26 Juni 2023   05:57 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Berbahagia karena Tidak Memiliki Apa-Apa (gambar; smithsonianmag.com, diolah pribadi)

Secara awam, kebahagiaan sering diukur dari seberapa banyak seseorang memiliki aset. Namun, tidak sedikit juga orang yang memiliki kekayaan berlimpah tidak kunjung merasa bahagia. Bagaimanakah sudut pandang Buddhisme terkait hal tersebut?

Dikisahkan pada suatu ketika, seorang pengembara tertentu kesulitan mencari minyak yang akan digunakan untuk melancarkan persalinan istrinya. Melihat hal tersebut, Sang Buddha berpikir bahwa orang yang paling berbahagia adalah yang tidak memiliki apa-apa.

Akan tetapi, yang dimaksud dengan "tidak memiliki apa-apa" ini perlu dipahami dengan sesuai. Bukan berarti setiap pihak harus membuang semua yang dimiliki agar berbahagia, terlebih jika hidup sebagai perumah tangga.

Tidak bisa dipungkiri, perumah tangga akan berbahagia jika terpenuhi setidaknya empat hal, yakni: memiliki harta kekayaan yang cukup, dapat menggunakan harta tersebut dengan baik, bebas dari utang, serta tidak melakukan pekerjaan tercela.

Hanya saja, dengan ragam perenungan, kita mengerti bahwa yang saat ini dianggap sebagai milik kita itu bukan sungguh-sungguh milik kita. Suatu saat akan terlepas dari kita. Sehingga, tidak sampai muncul keserakahan yang berlebihan saat menggunakannya.

Sementara itu, para bhikkhu memiliki cara hidup yang berbeda. Para bhikkhu tidak diperkenankan memiliki harta kekayaan. Seumpama seekor burung yang bisa terbang jika hanya dibebani oleh sepasang sayapnya, demikianlah seorang bhikkhu bisa berlatih sesuai jika hanya dibebani oleh jubah dan mangkuk makanan.

Sehingga, tidak ada istilahnya seorang bhikkhu menerima persembahan berupa uang dalam bentuk apa pun. Yang patut adalah sokongan kebutuhan yang sesuai, apakah terkait jubah, makanan, tempat tinggal, obat-obatan, atau hal-hal pelengkap lain sesuai kebutuhan tepat pada waktunya.

Lantas bagaimanakah ketika ada keperluan-keperluan lainnya yang membutuhkan uang? 

Untuk ini, ada perizinan bagi para perumah tangga yang memiliki keyakinan untuk membantu mengaturkannya, dengan sebelumnya mengundang bhikkhu tersebut agar bisa menyampaikan ketika suatu saat membutuhkan perihal yang layak sesuai dengan nominal yang disebutkan.

Contoh kalimatnya bisa seperti ini, "Bhante, silakan menghubungi saya bilamana Bhante membutuhkan sesuatu yang memiliki nilai Rp150.000,00."

Memungkinkan juga untuk donatur menitipkan uang kepada petugas yang ditunjuk untuk mengatur kebutuhan bhikkhu. Petugas tersebut biasa disebut sebagai kappiyakaraka, yang bermakna pembuat layak. Maksudnya adalah, perumah tangga yang membantu mengurus hal-hal yang tidak layak ditangani oleh bhikkhu.

Kappiyakaraka memungkinkan untuk ditunjuk oleh bhikkhu tersebut, oleh donatur, atau menawarkan dirinya sendiri. Kemudian, bhikkhu tersebut bisa mendapatkan sesuatu yang layak setelah diundang dengan kalimat yang sesuai.

Contoh kalimatnya bisa seperti ini, "Bhante, saya telah menitipkan dana pengganti kebutuhan sebesar Rp150.000,00 kepada Estiantoro Riyadi yang bertugas sebagai kappiyakaraka Bhante. Silakan Bhante mendapatkan kebutuhan yang layak pada waktunya dengan cara yang sesuai." Memungkinkan juga, kappiyakaraka yang menyampaikan informasi tersebut.

Selanjutnya, bhikkhu tersebut bisa meminta kebutuhan yang layak kepada kappiyakaraka dengan berbicara paling banyak tiga kali. Jika belum mendapat apa yang dibutuhkan, masih memungkinkan baginya memberi isyarat dengan berdiri diam paling banyak enam kali. Tidak bisa lebih dari itu.

Jika tidak juga mendapatkan apa yang dibutuhkannya, satu-satunya yang diperkenankan adalah bhikkhu tersebut menyampaikan pada donatur untuk kembali mengambil miliknya. Selama masih berbentuk uang, statusnya harus dimengerti sebagai milik donatur. Sehingga, tidak ada kesan bahwa seorang bhikkhu diperkenankan memiliki uang.

Walaupun sekilas terkesan rumit, tetapi cara hidup seperti inilah yang mengondisikan para bhikkhu agar berhati-hati dalam bertindak dan berucap, selalu bersabar, mudah disokong, serta berpuas dengan yang didapat. 

Sikap seperti ini yang memudahkan para bhikkhu untuk mengembangkan hal-hal yang lebih luhur. Bisa sepenuhnya berbahagia karena tidak memiliki apa-apa.

**

Jakarta, 26 Juni 2023
oleh: Bhikkhu A.S.K. Thitasaddho, Kompasianer Mettasik

Praktisi Dhammavinaya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun