Secara awam, kebahagiaan sering diukur dari seberapa banyak seseorang memiliki aset. Namun, tidak sedikit juga orang yang memiliki kekayaan berlimpah tidak kunjung merasa bahagia. Bagaimanakah sudut pandang Buddhisme terkait hal tersebut?
Dikisahkan pada suatu ketika, seorang pengembara tertentu kesulitan mencari minyak yang akan digunakan untuk melancarkan persalinan istrinya. Melihat hal tersebut, Sang Buddha berpikir bahwa orang yang paling berbahagia adalah yang tidak memiliki apa-apa.
Akan tetapi, yang dimaksud dengan "tidak memiliki apa-apa" ini perlu dipahami dengan sesuai. Bukan berarti setiap pihak harus membuang semua yang dimiliki agar berbahagia, terlebih jika hidup sebagai perumah tangga.
Tidak bisa dipungkiri, perumah tangga akan berbahagia jika terpenuhi setidaknya empat hal, yakni: memiliki harta kekayaan yang cukup, dapat menggunakan harta tersebut dengan baik, bebas dari utang, serta tidak melakukan pekerjaan tercela.
Hanya saja, dengan ragam perenungan, kita mengerti bahwa yang saat ini dianggap sebagai milik kita itu bukan sungguh-sungguh milik kita. Suatu saat akan terlepas dari kita. Sehingga, tidak sampai muncul keserakahan yang berlebihan saat menggunakannya.
Sementara itu, para bhikkhu memiliki cara hidup yang berbeda. Para bhikkhu tidak diperkenankan memiliki harta kekayaan. Seumpama seekor burung yang bisa terbang jika hanya dibebani oleh sepasang sayapnya, demikianlah seorang bhikkhu bisa berlatih sesuai jika hanya dibebani oleh jubah dan mangkuk makanan.
Sehingga, tidak ada istilahnya seorang bhikkhu menerima persembahan berupa uang dalam bentuk apa pun. Yang patut adalah sokongan kebutuhan yang sesuai, apakah terkait jubah, makanan, tempat tinggal, obat-obatan, atau hal-hal pelengkap lain sesuai kebutuhan tepat pada waktunya.
Lantas bagaimanakah ketika ada keperluan-keperluan lainnya yang membutuhkan uang?Â
Untuk ini, ada perizinan bagi para perumah tangga yang memiliki keyakinan untuk membantu mengaturkannya, dengan sebelumnya mengundang bhikkhu tersebut agar bisa menyampaikan ketika suatu saat membutuhkan perihal yang layak sesuai dengan nominal yang disebutkan.
Contoh kalimatnya bisa seperti ini, "Bhante, silakan menghubungi saya bilamana Bhante membutuhkan sesuatu yang memiliki nilai Rp150.000,00."