Entah mengapa pagi ini terasa berbeda. Lebih sunyi, lebih senyap. Apakah hanya perasaanku saja atau memang suasananya seperti ini.
Diiringi rintik hujan pagi yang menambah kesenduan, raga ini pun enggan bergerak dari atas tempat tidur.
Mataku terbuka, tetapi batinku tenggelam dalam ribuan angan. Tiba-tiba saja, lamunanku terhenti, memikirkan Mbah Putriku yang tinggal di desa yang terletak di pegunungan.
Mbah Putriku kini tak sebugar sebelumnya, tadinya ia masih bisa beraktivitas sendiri, tetapi kini sudah linglung. Ia bahkan tidak bisa mengenali cucu-cucunya yang datang berkunjung. Tidak seperti dulu lagi. Tidak seperti pada tahun-tahun sebelumnya saat aku berkunjung. Saat itu beliau masih biasa bercanda.
Aku masih ingat bagaimana beliau sembari beraktivitas di kebun kecilnya, kami bersenda gurau dengan riang. Tapi, kini hanya lamunan kosong yang lebih sering kulihat dari tatapan si Mbah.
Aku mendengar kabar si Mbah tidak sehat. Memang sudah seminggu ini beliau sakit, tapi aku belum sempat mengunjunginya. Hari ini kebetulan anakku libur sekolah dan suami juga libur dari kantornya, kami pun memutuskan untuk mengunjungi si Mbah.
Setelah dua jam lebih perjalanan, kami pun tiba di rumah pakdeku. Ya, sekarang si Mbah tinggal bersama pakde karena beliau sudah tidak bisa beraktivitas sendiri lagi. Ayahku dan paman-pamanku yang lainya hanya bisa memantau dan menyokong si Mbah dari jauh, karena mereka sudah merantau dan mengadu nasib di kota lain yang sangat jauh dari tempat kami.
Aku pun langsung menghampiri Mbah putri yang sedang tiduran di ranjang di depan TV. Ternyata keadaan si Mbah sudah membaik. Sebelum mendekat, aku menatapnya dari balik sekat dinding yang memisahkan ruangan si Mbah dan ruang tamu tempatku berada. Air mataku menetes karena si Mbah tak lagi seperti biasanya. Si Mbah tak lagi seantusias dulu menyambut kehadiranku. Tidak seperti itu lagi.
Bukan karena beliau tidak menyadari kehadiranku, ia tahu tentang kedatanganku. Namun, kulihat tatapannya benar-benar sepi memandangi layar TV yang mati.
Dulu saat aku datang si Mbah dengan riang berdiri sembari memelukku dan cucu buyutnya. Duduk dan masak bersama di perapian tungku yang sudah usang sambil berbincang bincang masa lalu. Seketika hatiku pun pilu.
Perlahan aku mendekati ranjang si Mbah dan duduk di dekatnya.
"Namo Buddhaya, Mbah" aku pun menyapanya lirih.
"Sapa kie ya (siapa ini ya)" tanya si Mbah  dalam bahasa Jawa.
"Kulo Suti mbah, putune Mbah (saya Suti Mbah, cucunya Mbah )" Sahutku.
Si Mbah pun terdiam sejenak dan seketika matanya berbinar. Sepertinya serpihan ingatan tentangku masih tertanam di kepalanya, meskipun sisa sedikit.
"Ow iya Suti seng umahe neng merden ya, nyong wes tau mrana yak (ow iya Suti yang rumahnya di merden ya. Aku sudah pernah ke sana ya)" jawab si Mbah dengan logat ngapaknya yang khas, memancing tawaku.
"Nggih Mbah (iya Mbah)" Jawabku sambil tersenyum lebar. Senang rasanya si Mbah masih mengingatku.
Ternyata pada saat itu sudah waktunya si Mbah mandi. Aku pun menawarkan diri untuk membantunya. Biasanya budeku yang selalu memandikannya, tetapi kali ini aku benar-benar ingin melakukannya. Kusiapkan air hangat dan peralatan mandi si Mbah. Perlahan kupapah si Mbah ke kamar mandi dan kududukan di bangku kecil.
Aku pun meminta izin sembari menyiramkan segayung air hangat padanya secara perlahan.
 "Ngapunten nggih Mbah tak siram banyune (Permisi ya Mbah ku siram airnya)". Izinku pada beliau.
"Iya, gemiyen nyong sing ngadusi putu putune siki gantian putune seng ngadusi nyong ya (Iya, dulu saya yang mandiin cucu-cucu sekrang gantian cucu-cucu yang mandiin saya ya)" Jawab si Mbah dengan nada riang.
Air pun mengalir membasahi rambut si Mbah yang sudah putih merata. Tubuhnya kurus dengan kerutan dimana-mana. Hatiku pun kembali sendu. Padahal aku menyadari, bahwa itu adalah proses anicca. Setiap manusia pasti akan mengalami kelapukan ini. Tapi, tetap saja hati masih sedih. Belum bisa melepaskan kemelekatan dan keterikatan duniawi.
Setelah si Mbah selesai mandi dan berpakaian, aku dan beliau pun duduk di depan pintu dapur yang mengarah ke kebun kecil. Aku mulai mengeringkan rambutnya sembari menatapi tanaman subur yang terpampang di hadapan kami. Kusisiri perlahan rambut si Mbah yang makin rontok.
Anak perempuanku yang berusia enam tahun datang menghampiri kami dan menawarkan diri untuk menyisir rambut buyutnya.
"Ibu aku mau sisirin rambut mbah buyut boleh ?" pinta anak perempuanku.
"Boleh tapi pelan pelan ya " jawabku sambil memberikan sisir ditangan kepadanya.
Dengan perlahan anak perempuanku menyisir rambut si Mbah dengan senang.
Aku pun duduk sambil memandangi mereka. Kini aku melihat sebuah pemandangan. Dua wanita berbeda generasi berada di depanku. Yang satu sedang tumbuh dengan berbagai pemikiran dan keceriaan di dalamnya. Dan, yang satu lagi seakan memiliki tatapan sendu diusia senjanya, melewati hari hari dan menua dalam sepi.
Sepi bukan karna tak berkawan atau tak ada yang menemani. Menua dalam sepi karena pikiran menjadi kosong. Ingatan-ingatan terkikis. Perlahan kenangan memudar. Hanya menjadi perasaan yang mengambang di hati.
Tapi, kenapa aku belum bisa sepenuhnya menyadari hukum ini. Susahnya menerima keadaan dan mengikis kemelekatan duniawi. Pada akhirnya aku pun begitu, akan menua dalam sepi. Hanya ditemani serpihan ingatan yang makin lama makin samar. Butuh kebijaksanaan dan tekad yang kuat untuk dapat menyelami dhamma sang Buddha ini. Yah, inilah proses hidup yang harus dijalani. Tak bisa dipungkiri Kita akan menua dalam sepi.
Tanpa terasa, waktu pun sudah sore. Aku berpamitan kepada si Mbah dan pakde, serta budeku. Kali ini pun situasi yang kurasakan juga berbeda. Tak ada cegahan sama sekali dari si Mbah. Dulunya, si Mbah selalu mencari alasan atau upaya mencegah kami pulang. Ia selalu ingin kami menginap saja. Meskipun, aku tidak pernah memenuhinya karena aku mengidap penyakit asma dan tidak tahan dengan udara dingin.
Kali ini, si Mbah hanya mengangguk dan mengucapkan "hati-hati" dengan nada lirih. Sungguh suasana yang terasa sangat berbeda. Namun, aku pun harus menerima hal ini.
Saat sampai di depan pintu keluar, aku kembali menoleh ke arah si Mbah. Aku melihatnya sedang duduk di atas ranjangnya sambil memandangi kami. Sontak aku langsung melambaikan tangan padanya. Dan, si Mbah pun membalas lambainku seperti anak kecil.
Dan untuk kesekian kalinya akupun meneteskan air mata. Entah apa yang berhasil meruntuhkan bendungan air mataku yang sudah kutahan sejak tadi. Sehingga tanpa disadari pipiku sudah basah. Aku tenggelam dalam pilu. Dalam hati aku pun berbisik.
"Sehat sehat ya mbah besok kita bertemu lagi"Â
**
Banjarnegara, 13 Maret 202
Oleh: Sutiyani A.P, Kompasianer Mettasik
Ibu Rumah Tangga Praktisi Buddhis
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H