Air pun mengalir membasahi rambut si Mbah yang sudah putih merata. Tubuhnya kurus dengan kerutan dimana-mana. Hatiku pun kembali sendu. Padahal aku menyadari, bahwa itu adalah proses anicca. Setiap manusia pasti akan mengalami kelapukan ini. Tapi, tetap saja hati masih sedih. Belum bisa melepaskan kemelekatan dan keterikatan duniawi.
Setelah si Mbah selesai mandi dan berpakaian, aku dan beliau pun duduk di depan pintu dapur yang mengarah ke kebun kecil. Aku mulai mengeringkan rambutnya sembari menatapi tanaman subur yang terpampang di hadapan kami. Kusisiri perlahan rambut si Mbah yang makin rontok.
Anak perempuanku yang berusia enam tahun datang menghampiri kami dan menawarkan diri untuk menyisir rambut buyutnya.
"Ibu aku mau sisirin rambut mbah buyut boleh ?" pinta anak perempuanku.
"Boleh tapi pelan pelan ya " jawabku sambil memberikan sisir ditangan kepadanya.
Dengan perlahan anak perempuanku menyisir rambut si Mbah dengan senang.
Aku pun duduk sambil memandangi mereka. Kini aku melihat sebuah pemandangan. Dua wanita berbeda generasi berada di depanku. Yang satu sedang tumbuh dengan berbagai pemikiran dan keceriaan di dalamnya. Dan, yang satu lagi seakan memiliki tatapan sendu diusia senjanya, melewati hari hari dan menua dalam sepi.
Sepi bukan karna tak berkawan atau tak ada yang menemani. Menua dalam sepi karena pikiran menjadi kosong. Ingatan-ingatan terkikis. Perlahan kenangan memudar. Hanya menjadi perasaan yang mengambang di hati.
Tapi, kenapa aku belum bisa sepenuhnya menyadari hukum ini. Susahnya menerima keadaan dan mengikis kemelekatan duniawi. Pada akhirnya aku pun begitu, akan menua dalam sepi. Hanya ditemani serpihan ingatan yang makin lama makin samar. Butuh kebijaksanaan dan tekad yang kuat untuk dapat menyelami dhamma sang Buddha ini. Yah, inilah proses hidup yang harus dijalani. Tak bisa dipungkiri Kita akan menua dalam sepi.
Tanpa terasa, waktu pun sudah sore. Aku berpamitan kepada si Mbah dan pakde, serta budeku. Kali ini pun situasi yang kurasakan juga berbeda. Tak ada cegahan sama sekali dari si Mbah. Dulunya, si Mbah selalu mencari alasan atau upaya mencegah kami pulang. Ia selalu ingin kami menginap saja. Meskipun, aku tidak pernah memenuhinya karena aku mengidap penyakit asma dan tidak tahan dengan udara dingin.
Kali ini, si Mbah hanya mengangguk dan mengucapkan "hati-hati" dengan nada lirih. Sungguh suasana yang terasa sangat berbeda. Namun, aku pun harus menerima hal ini.