Perlahan aku mendekati ranjang si Mbah dan duduk di dekatnya.
"Namo Buddhaya, Mbah" aku pun menyapanya lirih.
"Sapa kie ya (siapa ini ya)" tanya si Mbah  dalam bahasa Jawa.
"Kulo Suti mbah, putune Mbah (saya Suti Mbah, cucunya Mbah )" Sahutku.
Si Mbah pun terdiam sejenak dan seketika matanya berbinar. Sepertinya serpihan ingatan tentangku masih tertanam di kepalanya, meskipun sisa sedikit.
"Ow iya Suti seng umahe neng merden ya, nyong wes tau mrana yak (ow iya Suti yang rumahnya di merden ya. Aku sudah pernah ke sana ya)" jawab si Mbah dengan logat ngapaknya yang khas, memancing tawaku.
"Nggih Mbah (iya Mbah)" Jawabku sambil tersenyum lebar. Senang rasanya si Mbah masih mengingatku.
Ternyata pada saat itu sudah waktunya si Mbah mandi. Aku pun menawarkan diri untuk membantunya. Biasanya budeku yang selalu memandikannya, tetapi kali ini aku benar-benar ingin melakukannya. Kusiapkan air hangat dan peralatan mandi si Mbah. Perlahan kupapah si Mbah ke kamar mandi dan kududukan di bangku kecil.
Aku pun meminta izin sembari menyiramkan segayung air hangat padanya secara perlahan.
 "Ngapunten nggih Mbah tak siram banyune (Permisi ya Mbah ku siram airnya)". Izinku pada beliau.
"Iya, gemiyen nyong sing ngadusi putu putune siki gantian putune seng ngadusi nyong ya (Iya, dulu saya yang mandiin cucu-cucu sekrang gantian cucu-cucu yang mandiin saya ya)" Jawab si Mbah dengan nada riang.