Mohon tunggu...
Kompasianer METTASIK
Kompasianer METTASIK Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis itu Asyik, Berbagi Kebahagiaan dengan Cara Unik

Metta, Karuna, Mudita, Upekkha

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Perjuangan Hidup Melalui Keinginan dan Niat Baik

10 Desember 2022   05:25 Diperbarui: 10 Desember 2022   05:28 593
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perjuangan Hidup Melalui Keinginan dan Niat Baik (gambar: theguardian.com, diolah pribadi)

Sejatinya, kehidupan seseorang adalah sebuah misteri, tidak ada yang tahu, kecuali orang itu sendiri. Terkadang kita menilai bahwa anak orang kaya, kehidupannya juga tak berkekurangan. Demikian juga dengan mereka yang tidak berkecukupan, anaknya pun pasti hidup miskin.

Asumsi pemikiran seperti inilah yang selalu tercipta dalam kehidupan manusia. Namun, kalau kita menelisik sedikit lebih dalam lagi, dengan pengetahuan pemikiran yang lebih baik dan bijak, sejatinya kehidupan akan berubah atau berbeda disaat seseorang menemukan tempat dan kondisi yang tepat. Dengan kata lain kesuksesan bukanlah sebuah hal yang mustahil untuk dicapai.

Penulis terlahir di sebuah desa yang kehidupannya jauh dari hiruk-pikuk kemajuan zaman. Listrik pun tidak dapat dinikmati, apa lagi jalan yang beraspal. Tidak ada infrastruktur yang memadai.

Hal tersebutlah yang saya rasakan di masa kecil. Berada di sebuah desa yang sebagian besar penduduknya hidup sebagai petani dan buruh dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang lambat.  

Penulis pun demikian. Bahkan jika dibandingkan dengan penduduk desa lainnya, kehidupan keluarga penulis masih lebih buruk. Kedua orangtua bekerja sebagai buruh kopra yang harus menghidupi 5 anak perempuan dan seorang putra.

Begitu sulitnya kehidupan yang penulis rasakan, sehingga nasi yang merupakan makanan pokok orang Indonesia saja, sangat susah ditemukan. Hanya nasi tiwul (singkong) saja yang selalu mengisi perut kami sekeluarga.

Bersekolah dengan kondisi seragam yang tidak layak, sepatu dan kaos kaki yang diikat karet. Belum lagi tas kresek, celana sobek, dan buku yang tidak lengkap.

Hal tersebut penulis rasakan semenjak SD hingga SMA. Tidaklah heran jika kondisi kemiskinan keluarga membuat penulis minder. Sangat berbeda jauh dengan teman-teman sekelas.

Sekilas jika penulis membayangkan, perasaan sedih selalu membuncah. Namun, kondisi mengenaskan yang dialami tidak serta-merta membuat penulis pasrah. Keinginan untuk mendapatkan uang jajan seperti teman-teman sekelas, membuat penulis rajin mencari rongsokan sepanjang desa untuk dijual kepada para pengepul.

Hasilnya lumayan. Bukan saja mendapatkan uang jajan, tetapi juga bisa membeli buku-buku pelajaran. Untungnya penulis termasuk seseorang yang dilahirkan dengan otak yang lumayan encer. Selepas SD, nilai bagus menjamin kelulusan ke jenjang SMP.

Tapi sekali lagi, permasalahannya adalah biaya. Jangankan meminta kepada orangtua. Mereka sendiri hanya pulang kembali ke rumah dua minggu sekali untuk menengok anak-anaknya. Tersebab harus bekerja di tempat yang jauh, membanting tulang demi menghidupi keluarga.

Kendati uang masuk sekolah akhirnya terpenuhi, tapi masih ada kendala-kendala lainnya. Berjalan kaki dengan jarak cukup jauh, berharap mendapatkan tumpangan dari teman-teman sekampung. Jika karma baik belum berbuah, berkilo-kilo meter jalanan pun harus disusuri.

Saat SMP, tenaga penulis sudah mulai laku untuk menjadi buruh. Membersihkan lahan, dan beberapa pekerjaan kasar lainnya. Pendapatannya lumayan, masih lebih bagus dibandingkan pemulung.

Bagi penulis, mencari uang bukan semata-mata demi memenuhi kebutuhan hidup, tetapi sesuatu yang lebih besar lagi. Penulis berharap setelah lulus tingkat SMP, masih bisa melanjutkan hingga ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

Bagi orang-orang desa di saat itu, lulusa SMP sudah sangat bagus dan merupakan level tertinggi. Akan tetapi, penulis selalu mengingat pesan dari ayahanda tercinta, warisan yang terbaik bagi seorang anak adalah pendidikan, bukanlah harta benda yang memang mereka tidak punya.

Oleh sebab itu, beliau selalu berpesan kepada anak-anaknya, bersekolah-lah hingga ke level yang paling tinggi. Pesan itu penulis terima dan simpan hingga ke lubuk batin terdalam.

Setelah tamat SMP, penulis melanjutkan sekolah hingga ke tingkat SMA. Kembali lagi, nilai ujian akhir yang bagus membuat penulis diterima di sebuah sekolah favorit. Dan kembali lagi, biaya sekolah menjadi hambatan. Namun, dengan penuh kesabaran dan ketabahan, penulis kembali mampu menyelesaikan tahap SMA dengan baik.

Karma baik masih berlanjut, penulis pun berkesempatan masuk ke Perguruan Tinggi. Menjadi mahasiswa, membuat diri harus pergi meninggalkan kampung halaman. Menjadi penduduk kota yang seharusnya lebih menjanjikan.

Meskipun harus menjadi mahasiswa termiskin, dengan uang saku Rp100.000 potong biaya wesel pos per bulan, kondisi sangat memprihatinkan.  

Namun memang hidup itu indah jika disyukuri. Tinggal di asrama dengan fasilitas makan, membuat hidup serasa di surgawi. Penulis tidak pernah melewatkan jatah makanan. Meskipun sederhana bagi ukuran masyarakat kota, tetapi bagi orang desa, itu adalah makanan mewah.

Setiap jatah makan tak pernah penulis lewatkan. Bukan karena serakah, tetapi hanya itu yang bisa diharapkan untuk mengisi perut.

Perjuangan tidak pernah berhenti. Memaksimalkan kondisi, mengubah persepsi, dan tidak pernah menyerah kepada nasib. Ibadah dijalankan dengan rutin, tekun menuntut ilmu, melebarkan relasi, dan berteman dengan kawan-kawan yang baik. Sungguh merupakan sebuah berkah utama.

Waktu berjalan dengan cepat. Tanpa terasa penulis kini berada di sini. Memenuhi keinginan orangtua, mendapatkan gelar Doktor dengan IPK 4.00.

Jika diingat kembali, sepertinya perjuangan yang dilalui begitu berat. Ibaratnya hingga berdarah-darah. Melihat latar belakang keluarga, kondisi yang tidak terlalu mendukung, sangatlah tidak mungkin cita-cita saya tercapai hingga kini. Dengan kekuatan karma baik yang besar, hidup pun berubah. Kondisi ekonomi sudah cukup layak, kesuksesan pun tercapai.

Moral dari kisah:

Kesuksesan dan keberhasilan seseorang bukanlah darimana mereka berasal, atau terlahir di keluarga mana. Jika diri mampu dengan sungguh-sungguh mengejar kesuksesan, niscaya kesuksesan juga mampu diraih.

Sebagaimana yang diajarkan oleh Sang Buddha Gautama dalam Paritta:

"Kammassakomhi, kamma-dayado, kamma-yoni, kamma-bandhu, kamma-patisarano. Yam kammam karissami, kalyanam va papakam va, tassa dayado bhavissami-ti."

Terjemahan: Aku adalah pemilik karmaku sendiri, mewarisi karmaku sendiri, lahir dari karmaku sendiri, berhubungan dengan karmaku sendiri dan berlindung pada karmaku sendiri. Apapun yang kulakukan, baik maupun buruk, aku akan mewarisinya.

Ketika kita mampu mengartikan dan menyadari setiap kalimat yang diajarkan oleh Sang Buddha, maka kita akan mampu mengelola kehidupan menuju arah perbaikan.

Jangan pernah mengeluh pada keadaan yang sulit, jangan pernah menyerah pada kondisi yang lagi rumit, jangan bertindak bodoh untuk keuntungan sesaat. Jangan tumbuhkan sifat malas, jangan menanamkan pemikiran kerdil dalam diri sendiri, jangan berada pada komunitas yang tidak membawa kemajuan batin.

Susun program kehidupan kita untuk terus maju, tumbuh kembangkan pemikiran yang baik, pupuklah ketekunan, tumbuhkan tanggungjawab, tumbuhkan semangat, pelihara sifat menghargai orang yang telah berjasa. Serta tidak lupa, menjalin komukasi yang baik kepada setiap orang melalui sifat dermawan.

Semoga Seluruh Makhluk Berbahagia. Sadhu Sadhu Sadhu

**

Palangka Raya, 10 Desember, 2022
Penulis: Dr. Joko Santoso, S.Ag., MM, Kompasianer Mettasik

Tidak Terbatas di Kondisi Terbatas

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun