Tapi sekali lagi, permasalahannya adalah biaya. Jangankan meminta kepada orangtua. Mereka sendiri hanya pulang kembali ke rumah dua minggu sekali untuk menengok anak-anaknya. Tersebab harus bekerja di tempat yang jauh, membanting tulang demi menghidupi keluarga.
Kendati uang masuk sekolah akhirnya terpenuhi, tapi masih ada kendala-kendala lainnya. Berjalan kaki dengan jarak cukup jauh, berharap mendapatkan tumpangan dari teman-teman sekampung. Jika karma baik belum berbuah, berkilo-kilo meter jalanan pun harus disusuri.
Saat SMP, tenaga penulis sudah mulai laku untuk menjadi buruh. Membersihkan lahan, dan beberapa pekerjaan kasar lainnya. Pendapatannya lumayan, masih lebih bagus dibandingkan pemulung.
Bagi penulis, mencari uang bukan semata-mata demi memenuhi kebutuhan hidup, tetapi sesuatu yang lebih besar lagi. Penulis berharap setelah lulus tingkat SMP, masih bisa melanjutkan hingga ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Bagi orang-orang desa di saat itu, lulusa SMP sudah sangat bagus dan merupakan level tertinggi. Akan tetapi, penulis selalu mengingat pesan dari ayahanda tercinta, warisan yang terbaik bagi seorang anak adalah pendidikan, bukanlah harta benda yang memang mereka tidak punya.
Oleh sebab itu, beliau selalu berpesan kepada anak-anaknya, bersekolah-lah hingga ke level yang paling tinggi. Pesan itu penulis terima dan simpan hingga ke lubuk batin terdalam.
Setelah tamat SMP, penulis melanjutkan sekolah hingga ke tingkat SMA. Kembali lagi, nilai ujian akhir yang bagus membuat penulis diterima di sebuah sekolah favorit. Dan kembali lagi, biaya sekolah menjadi hambatan. Namun, dengan penuh kesabaran dan ketabahan, penulis kembali mampu menyelesaikan tahap SMA dengan baik.
Karma baik masih berlanjut, penulis pun berkesempatan masuk ke Perguruan Tinggi. Menjadi mahasiswa, membuat diri harus pergi meninggalkan kampung halaman. Menjadi penduduk kota yang seharusnya lebih menjanjikan.
Meskipun harus menjadi mahasiswa termiskin, dengan uang saku Rp100.000 potong biaya wesel pos per bulan, kondisi sangat memprihatinkan. Â
Namun memang hidup itu indah jika disyukuri. Tinggal di asrama dengan fasilitas makan, membuat hidup serasa di surgawi. Penulis tidak pernah melewatkan jatah makanan. Meskipun sederhana bagi ukuran masyarakat kota, tetapi bagi orang desa, itu adalah makanan mewah.
Setiap jatah makan tak pernah penulis lewatkan. Bukan karena serakah, tetapi hanya itu yang bisa diharapkan untuk mengisi perut.