Kemarin pagi, seorang sahabat misuh-misuh. Perkaranya tentang kawannya yang menurutnya tidak tahu diuntung. Ia bilang, sudah memendam perkara itu cukup lama, bahkan sangat lama. Hingga akhirnya kesabarannya meledak di pagi itu.
"Berbuat jahat itu mudah, berbuat baik susah," itu katanya
Tentu saja saya tidak perlu menjelaskan duduk perkaranya. Ini bukan artikel gosip. Namun intinya, si sahabat tidak terima. Kawannya itu sudah melakukan kesalahan yang sama berulang kali (menurutnya).
Yang ingin saya fokus adalah ungkapan "berbuat jahat itu mudah."
Ah, ternyata sahabatku benar. Hasil bengong dan bloong selama beberapa menit, berhasil memunculkan rentetan peristiwa perlakuan jahat yang kuterima dalam hidupku. Aih...
Akan tetapi...
Saya hidup di dua dimensi yang berbeda. Antara kesadaran dan ketidaksadaran. Jika sisi mindfulness sedang aktif, semuanya terasa indah. Bahkan mereka yang memaki tampak seperti sedang bernyanyi di hadapanku. Terima kasih kuberseru!
Tapi, jika sedang tidak eling lan waspodo, semut pun bisa menjadi korban keberingasanku. "Siapa suruh elu terlahir sebagai semut. Eh..."
Nah, kedua sisi ini yang membuatku menjadi dua pribadi berbeda. Untungnya tidak sampai mengidap gejala kepribadian ganda. Sehingga kisah hidupku tidak perlu difilmkan.
Jadi, mari kita melihat defenisi perbuatan jahat dari kedua sisi ini dengan bobot yang sama. Biar adil, kata Judge Bao.
Menurut saya sih, ini masalah persepsi. Dalam ajaran Buddha, saya sudah sering mendengar bahwa manusia cenderung mengatakan sesuatu yang baik, jika kondisi tersebut sesuai dengan keinginan. Sebaliknya, apa yang tidak nyaman itu adalah tidak benar.
Sebagai contoh, hujan itu bagus, membasahi bumi, iklim menjadi sejuk, tidak panas, terutama di saat tidur. Namun terkadang ia tidak tahu diri, turun di saat permainan golfku baru saja dimulai.
Nah, guru-guru saya lantas berkata, "Upekkha, Rud." Artinya hujan ya hujan. Apakah dia bersahabat atau tidak sopan, itu adalah bentukan pikiranmu. Cobalah melihat segala fenomena ini tanpa melibatkan perasaan, tanpa menilai, tanpa mengumpat. Lihatlah dengan kenyataan, apa adanya.
Entengggg... Tentu, itu jika dimensi diriku yang berkesadaran sedang muncul.
Tapi sayangnya ia sering lenyap, ketika kemalasan, kebencian, kerisauan, keserekahan, dan energi sejenisnya muncul. Lalu, dengan cepat Upekkha pun menjadi tanha (pali: nafsu keinginan). Kekotoran batin (kilesa) dengan mudah menguasai. Ke-Aku-an muncul dengan cepat melumuri batin.
Pada saat itulah, kita mulai menilai semuanya dengan keinginan. Masalahnya, keinginan-keinginan ini bekerja seperti candu. Tidak pernah cukup untuk dinikmati.
Kalau candunya sudah habis, akhirnya timbullah penderitaan. Mendambakan hidup enak, tetapi hanya kekecewaan demi kekecewaan yang datang menyambar.
Lalu diri mulai menyalahkan keadaan, segala kondisi pun bisa dijadikan alasan. Memfitnah cicak di dinding, mengumpat kemacetan jalan, hingga menyembelih kambing hitam. Semuanya dituduh sebagai penyebab penderitaan.
Pertanyaannya, di dimensi manakah kita lebih sering berada?
Jika kamu, kamu, dan kamu menjawab yang berkesadaran, maka berhentilah membaca artikeli ini. Karena saya cukup yakin, kita lebih banyak meluangkan waktu di sisi yang berbeda. Sisi tidak berkesadaran.
Tidak heran jika kita begitu mudah mengingat semua perbuatan jahat yang dilakukan orang lain. Karena segala sesuatu yang tidak terasa nyaman, adalah "perbuatan jahat."
Nah... Apa yang bisa dilakukan.
Jawabannya sebenarnya jelas sih. Selalu munculkan sisi berkesadaran. Mindfulness kata teman.
Caranya? Tentu saja dengan bermeditasi, lebih sering lebih baik, hingga semakin terampil.
Mereka yang terampil bisa mengubah kondisi di sekitar mereka. Memiliki kekuatan sakti yang bisa serta merta berubah. Bukan sulap, bukanlah sihir, yang mereka lakukan hanya mengubah sudut pandang saja.
Niscaya makian yang ia terima dianggap sebagai sebuah pelajaran. Hinaan yang ia dapat dianggap sebagai penyemangat. Cacian yang ia dengar hanyalah sebuah informasi. Semuanya indah, jika kita bisa berpikir seperti itu.
Artinya, segala kondisi di dunia memang sudah terbentuk apa adanya. Itulah yang namanya kenyataan. Dengan kata lain, perasaan nyaman bukanlah kondisi yang berasal dari luar. Ia adalah bentukan pikiran, bentukan persepsi, dan bentukan perasaan. Menumbuhkan sisi berkesadaran dari diri kita sangatlah penting.
Kedengarannya mudah, tetapi susah. Iya, benar. Bukankah kenyataan memang demikian adanya? Mudah terjadi, tapi susah diterima.
Semoga Bermanfaat,
**
Makassar 22 November 2022
Penulis: Rudy Gunawan, Kompasianer Mettasik
Bahkan Angka Pun Tidak Serumit Pikiran
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H