Menurut saya sih, ini masalah persepsi. Dalam ajaran Buddha, saya sudah sering mendengar bahwa manusia cenderung mengatakan sesuatu yang baik, jika kondisi tersebut sesuai dengan keinginan. Sebaliknya, apa yang tidak nyaman itu adalah tidak benar.
Sebagai contoh, hujan itu bagus, membasahi bumi, iklim menjadi sejuk, tidak panas, terutama di saat tidur. Namun terkadang ia tidak tahu diri, turun di saat permainan golfku baru saja dimulai.
Nah, guru-guru saya lantas berkata, "Upekkha, Rud." Artinya hujan ya hujan. Apakah dia bersahabat atau tidak sopan, itu adalah bentukan pikiranmu. Cobalah melihat segala fenomena ini tanpa melibatkan perasaan, tanpa menilai, tanpa mengumpat. Lihatlah dengan kenyataan, apa adanya.
Entengggg... Tentu, itu jika dimensi diriku yang berkesadaran sedang muncul.
Tapi sayangnya ia sering lenyap, ketika kemalasan, kebencian, kerisauan, keserekahan, dan energi sejenisnya muncul. Lalu, dengan cepat Upekkha pun menjadi tanha (pali: nafsu keinginan). Kekotoran batin (kilesa) dengan mudah menguasai. Ke-Aku-an muncul dengan cepat melumuri batin.
Pada saat itulah, kita mulai menilai semuanya dengan keinginan. Masalahnya, keinginan-keinginan ini bekerja seperti candu. Tidak pernah cukup untuk dinikmati.
Kalau candunya sudah habis, akhirnya timbullah penderitaan. Mendambakan hidup enak, tetapi hanya kekecewaan demi kekecewaan yang datang menyambar.
Lalu diri mulai menyalahkan keadaan, segala kondisi pun bisa dijadikan alasan. Memfitnah cicak di dinding, mengumpat kemacetan jalan, hingga menyembelih kambing hitam. Semuanya dituduh sebagai penyebab penderitaan.
Pertanyaannya, di dimensi manakah kita lebih sering berada?
Jika kamu, kamu, dan kamu menjawab yang berkesadaran, maka berhentilah membaca artikeli ini. Karena saya cukup yakin, kita lebih banyak meluangkan waktu di sisi yang berbeda. Sisi tidak berkesadaran.
Tidak heran jika kita begitu mudah mengingat semua perbuatan jahat yang dilakukan orang lain. Karena segala sesuatu yang tidak terasa nyaman, adalah "perbuatan jahat."