Teratai adalah tanaman air yang akarnya menancap di lumpur. Walaupun hidup di air yang berlumpur, teratai tetap bersih dan indah.
Bunga teratai biasanya berada dekat permukaan air, sedangkan bunga sejenisnya, lotus, berada agak jauh dari permukaan dan kelopak bunganya lebih besar-besar. Lotus umumnya berwarna putih dan merah muda, sedangkan teratai warnanya lebih bermacam-macam, putih, kuning, merah, merah muda, ungu dan lainnya.
Sekali pun ada lumpur yang menyentuhnya, lumpur tersebut tidak akan menempel. Teratai atau lotus seperti terlapis semacam lilin alami, sehingga kotoran apapun yang berusaha menempel padanya akan tidak akan berhasil.
Teratai seperti terlapis semacam lilin alami, sehingga teratai terbebas dari kotoran yang ada di sekitarnya. Sekotor apapun lingkungan sekitarnya, teratai tetap indah, tidak terpengaruh, tetap bersih. Karena alasan inilah mengapa bunga teratai sering menjadi simbol di agama Buddha.
**
Dunia yang menyediakan banyak sensasi kenikmatan indrawi lebih sering menyeret kehidupan menjadi lebih berat, penuh beban. Mereka yang memahami dan melihat hal ini, akan berusaha menghindari.
Agar tidak terseret oleh sensasi kenikmatan indrawi, berjuang untuk melindungi diri. Sehingga apapun sentuhan sensasi kenikmatan indrawi tidak mengotori. Batinnya tetap tenang seimbang, sadar dan bijaksana.
Perlindungan diri dapat dikembangkan dengan memahami bahwa sensasi kenikmatan indrawi tidak bermanfaat, jika diikuti akan menyeret mengarah ke penderitaan yang panjang.
Dengan memahami hal ini, maka berkembanglah keengganan (nibbida) bersentuhan dengan sensasi kenikmatan indrawi. Semakin kuatnya keengganan, akan meninggalkan dan menghindari (viraga) sensasi kenikmatan indrawi, ketika hal ini terjadi maka pikiran menjadi terbebas (vimutti).Â
Setelah terbebas maka semua menjadi lebih jelas lagi, sehingga perlindungan diri semakin kokoh. Lilin kebijaksanaan telah terbentuk, sehingga sensasi kenikmatan indrawi apapun yang menyentuhnya tidak akan mengotori lagi, tetap tenang dan damai.
Lalu bagaimana melatih memahaminya?
Berlatih Melepas
Berlatih melepas atau berdana, adalah memberikan apa yang menjadi milik kita kepada orang lain, uang, makanan, pakaian, tempat tinggal, obat-obatan.
Dengan melatih melepas, maka kemelekatan pada apa yang dimiliki secara perlahan dikikis. Seingin dengan sering dan rajin berdana, maka kemelekatan pada apa yang dimiliki akan banyak berkurang.
Lagi pula apapun yang kita miliki suatu saat akan dilepas, jika tidak sekarang, mungkin besok, jika tidak besok, mungkin lusa, jika tidak, pada akhirnya ketika kematian tiba, apapun yang dimiliki harus dilepas, suka ataupun tidak suka.
Saat kematian tiba dan tidak siap melepas semuanya, yang ada adalah penderitaan yang luar biasa, tetapi dengan rutin berlatih melepas maka kemelekatan akan berkurang.
Berlatih Moralitas
Kegelisahan hidup banyak sekali muncul karena adanya penyesalan, menyesal melakukan kesalahan, melakukan pelanggaran moralitas, seperti membunuh, menyakiti, mengambil milik orang lain, selingkuh, menipu, berbohong atau mabuk-mabukan.
Seiring dengan tidak melakukan pelanggaran moralitas, maka penyesalan menjadi berkurang, kegelisahan berkurang, hidup akan lebih damai.
Berlatih Meditasi
Walaupun dalam keseharian perilaku sudah baik, tetapi pikiran masih sering memusuhi orang lain, iri, dengki, serakah, ragu, malas, sombong dan pikiran buruk lainnya, untuk itu pikiran harus dilatih agar tidak terseret pada semua ini.
Meditasi adalah melatih pikiran dan mengembangkan pikiran, pikiran yang semula sering mengembara, menilai apapun yang muncul, terseret sensasi yang muncul, dilatih untuk diam pada saat ini hanya menjadi pengamat. Tidak menilai, tidak mengikuti.
Ketika pikiran diam dan hanya mengamati maka mulailah apa yang sebenarnya terungkap, apapun yang diamati hanyalah muncul, sebentar lalu sirna, tidak ada yang kekal (anicca).
Mengembangkan Kebijaksanaan
Mengejar dan mempertahankan sesuatu yang tidak kekal, pada akhirnya hanyalah kesia-siaan, tidak akan berhasil, akan berujung pada kesedihan dan nestapa. Melekat sesuatu yang tidak kekal ini hanya membawa penderitaan (dukkha).
Sesuatu yang tidak kekal, tidak mungkin dapat dijadikan milik. Kemunculannya tidak dapat dikendalikan, sirnanya juga tidak dapat dikendalikan.
Kalimat "Ia menyakiti perasaanku", adalah pernyataan yang mengatakan bahwa perasaan adalah dirinya, suatu anggapan bahwa perasaan adalah diri, diri adalah perasaan, diri dalam perasaan, perasaan dalam diri. Karena "perasaan" hanya muncul dan lenyap tidak dapat dipertahankan, tidak dapat dikendalikan, sehingga tidak mungkin perasaan atau lainnya adalah diri (anatta).
Pengalaman melihat dan mengalami langsung hal ini menimbulkan keengganan (nibbida) dan meninggalkan (viraga) semua sensasi kenikmatan indrawi, sehingga apapun kontak sensasi kenikmatan indrawi yang terjadi tidak akan lagi mengganggunya lagi (vimutti).
Perubahan cara hidup dengan pandangan yang benar, pikiran yang benar, ucapan yang benar, tindakan yang benar, mata pencaharian benar, berdaya upaya dengan benar, selalu waspada dan konsentrasi benar, akan melindungi diri dari sensasi kenikmatan indrawi.
Seperti teratai yang tidak terkotori oleh lumpur, karena terlindung oleh lilin kebijaksanaan.
**
Jakarta, 27 September 2022
Penulis: Jayanto Chua, Kompasianer Mettasik
Programmer | Penulis Buku| Praktisi Meditasi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H