Pernah ada kasus sebagai berikut dan itu bukan hanya sekali.
Saya membantu seseorang yang kekurangan uang untuk sesuatu, kedengarannya penting. Lain waktu dia minta lagi untuk biaya yang tidak kalah penting. Sampai di sini saya masih membantunya. Tapi, kali ketiga si belio minta duit lagi buat yang paling-paling penting.
"That's it," kuberseru!
Apalagi saya mendengar kabar juga dari kawan-kawan lain jika mereka juga membantu si belio. Jumlahnya tidak sedikit. Dan kerennya lagi, si belio masih sehat.
Akhirnya saya sadar, saya dipertemukan dengan kondisi yang tidak menyenangkan. Bukannya mendapat peluang untuk bertemu karma baik, tapi justru menciptakan karma buruk karena seruan singkatku.
"itu salahmu!" sisi lain dari diriku mengumpatku.
Iya, saya sadar karena berderma seharusnya tidak mengharapkan kembalian, meskipun itu recehan. Coba saja memasukkan duit di kotak dana, apakah ada tombol kembalian seperti pada mesin penjual otomatis?
Tapi, sekali lagi Lobha-ku memiliki argumentasinya juga. Menurutnya, setiap kotak dana pasti bunyinya cling-cling-cling, setidaknya kalau bukan coca-cola yang didapat, paling tidak itu adalah rasa puas dan bahagia.
Misuh-misuh kepada pengemis sehat, laksana mendapatkan minuman soda kadaluarsa.
Jadi, apakah salah jika saya tetap berderma sembari menunggu yang terbaik? Ah, biarlah para Romo yang menjawab pertanyaan ini.
Sekali lagi, saya masih berada dalam kondisi lobbha berkabut sutra ungu. Belum bisa sepenuhnya belajar melepas. Ketidakkekalan (Anicca) kuterjemahkan dalam versiku sendiri -- malu-malu tapi mau.