Beberapa tahun lalu, jauh sebelum saya terpikir untuk bertahbis sebagai bhikkhu, saya bekerja sebagai penulis skenario lepas. Sehingga, memungkinkan bagi saya untuk menyelesaikan pekerjaan di mana saja. Apakah di rumah, kafe, rumah sakit, taman kota, serta termasuk ketika sedang di tengah perjalanan kereta api, seperti hari itu.
Sebelumnya, hari itu berlangsung biasa-biasa saja. Tidak ada kejadian yang signifikan. Saya sedang duduk sambil konsentrasi mengetik skenario di kereta api Gajahwong tujuan Yogyakarta. Karenanya, saya tidak begitu memerhatikan sekeliling. Akan tetapi, ketika hendak rehat sejenak, saya menyadari bahwa sepasang paruh baya yang duduk di hadapan sedang memerhatikan saya.
Sedikit canggung, saya memberikan sedikit senyuman kepada mereka.
"Lagi kerja, Dik?" tanya sang pria paruh baya sambil membalas senyum.
"Iya, ada beberapa naskah yang harus dikirim hari ini."
"Oh, memangnya kerja apa?" tanya sang wanita paruh baya.
"Penulis skenario."
"Oh, ya, ya, ya. Anak kami kalau masih hidup, sekarang kelihatannya seumur kamu," jelas sang pria paruh baya.
Mereka lalu bercerita mengenai bagaimana awalnya mereka menunggu-nunggu sang buah hati hingga bertahun-tahun. Namun, ternyata usianya tidak lama. Mereka sempat putus asa, tetapi akhirnya bisa menerima kenyataan bahwa kematian adalah sesuatu yang wajar menghampiri.
Semua orang pasti menghadapi kematian. Mereka pun tidak begitu berharap lagi untuk memiliki anak, yang paling penting adalah bisa berbuat baik untuk sisa hidup mereka.