Perubahan, kata yang selalu lekat dengan kehidupan kita. Tidak ada yang kekal (Anicca). Yang pasti, perubahan itu sendiri.
Lihatlah perubahan zaman. Perkembangan teknologi semakin pesat. Tahun sembilan puluhan belum ada Tik-tok, Zoom, Youtube, Instagram. Â Namun ketika tahun 2000-an bermunculan aplikasi dan platform. Kita dituntut untuk dapat menguasainya agar tetap eksis.
Eeh... nanti dulu ada yang berbeda. Â Walaupun berproses, ia tetap maskot alam semesta. Mantap! Itu yang ditanamkan pada diriku sejak kecil oleh kedua orang tuaku.
Apa itu? Nah, aku mau berbagi cerita kepada teman-teman.
Aku almamater salah satu akademi (diploma tiga) sekretari yang mempunyai kredibilitas. Walaupun bukan lulusan terbaik, namun aku bangga.
Berbekal ketrampilan, pengetahuan serta kompetensi yang kumiliki. Aku langkahkan kaki menyongsong masa depan dengan penuh semangat dan percaya diri di masa itu.
Alhasil pada semester dua aku sudah bekerja paruh waktu. Berawal sebagai penginput data. Layaknya anak muda pada umumnya, aku pun menjajal dan agresif mencari tempat berkarya yang pas dengan pribadi dan keinginanku.
Aku jatuh hati pada sebuah perusahaan konglomerasi berlokasi di SCBD (Sudirman Central Business District). Â Wawancara dan psikotes aman. Â Aku resmi berkiprah sebagai sekretaris eksekutif seorang kongomerat di perusahaan multinasional, memiliki bisnis usaha yang menggurita.
Ada rasa bangga menyelinap dalam diriku. Ma, Pa! anakmu lolos seleksi berkat dukungan dan doa kalian. Terima kasih ya.
Seiring waktu, bos mempercayai dan melibatkan diriku dalam beberapa unit usaha jasa, antaranya: Tempat penitipan anak (Daycare) dan pendidikan prasekolah.
Melihat kesungguhan hati dan dedikasiku, bos menawarkan beasiswa melanjutkan pendidikan ke jenjang lanjut, program sarjana. Wah.. girang banget hatiku. Mimpi menjadi mahasiswi S1 bakal terwujud. Kabar baik ini pun mendapat rida mama papa.
Bertepatan saat itu bos sedang menjajaki kolaborasi dengan lembaga pendidikan Filipina yang berminat investasi di Indonesia. Malang tidak bisa ditolak. Mereka batal melanjutkan kerjasama. Pupus harapanku.
Namanya bos adalah bos, ia tidak puas. Â Buktinya negosiasi berikutnya dengan lembaga pendidikan asal Inggris mencapai kesepakatan.
Sekali lagi beliau menawarkan beasiswa penuh untukku. Hanya satu syarat "Harus Lulus". Aku diperbolehkan menggunakan fasilitas dari kantor. Komputer, kertas, printer, hingga penyediakan seorang security untuk mengunci pintu dan menemani turun lift dari lantai 21 -- Penthouse bila harus lembur mengerjakan tugas kuliah. Berkah luar biasa. Terima kasih, Pak!
Namun, galau tetap mendera. Apakah aku mampu? Eiits... Kenapa? Ternyata bukan program sarjana, tetapi program magister. Â Aduh, dari diploma tiga loncat ke program magister. Gimana nih? Bingung dan bimbang membayangiku. Beruntung keluarga memberi dukungan sepenuhya.
Kapan lagi? Mau ada perubahan? "Harus ambil," batinku.
***
Singkat cerita, tantangan berikutnya menanti. Pola kehidupanku berubah. Bangun jam 04.30 pagi, menyiapkan makanan keluarga di rumah dan bekal makan siangku. Menuaikan pekerjaan seorang sekretaris plus, plus pekerjaan lainnya hingga usai kantor. Berlanjut berangkat kuliah paruh waktu hingga pukul 09.00 malam. Sampai rumah jam 10.00 malam.
Saking lelahnya aku sering tertidur di taksi yang mengantarku pulang. Sopir membangunkanku ketika sudah memasuki jalan rumahku berada. Untung kejahatan dan pembegalan saat itu tidak  seperti sekarang. Aduh... aku bakal diantar ke antah-berantah.
Letih? Pasti. Dua tahun aku jalani. Aku membuktikan pada mama, papa dan bosku bahwa aku mampu. Hore, Bravo!
***
Aku terpincut dengan anak-anak daycare dan preschool yang lugu dan polos di bawah supervisiku. Â Aku bergumam, inilah ladang kebajikan yang perlu disemai.
Mereka adalah tunas yang akan tumbuh dan berkembang membawa misi kebaikan bagi keluarga, masyarakat, dan dunia.
Anak-anak ini adalah agen perubahan bagi kelangsungan generasi berikutnya. Melalui tangan-tangan mungil ini kemajuan dan keunggulan peradaban bangsa dibangun dan terbentuk.
Mereka menyatukan hati keluarga kecilnya, memberikan kehangatan bagi orang di sekitarnya. Senyum manis mereka melekatkan komunitas dan mengakhiri pertikaian. Kepolosan mereka membangun keharmonisan dalam bermasyarakat. Hingga pundi-pundi kebajikan bertambah seperti layaknya gumpalan bola salju (snowball) yang menggelinding membesar, makin besar dan semakin besar. Â
Syahdan, perusahaan tempatku mengabdi mengalami guncangan dahsyat. Kepailitan yang menakutkan semua pengusaha terjadi. Hingga aku harus rela meninggalkannya.
***
Kembali kepada cerita awal tentang maskot alam semesta yang diajarkan kedua orang tuaku. Mama dan Papa membekaliku nilai kehidupan dan memintaku melakukan banyak perbuatan baik sebagai pijakan mengarungi lautan kehidupan (samsara) ini.
Itu membuatku selalu eling kedermawanan dan kebaikan bosku; hingga saat ini tetap mengendap dalam relung hati. Terima kasih, Pak untuk keteladanan yang diberikan. Kebajikan yang ditaburkan bapak tumbuh subur dan bermekaran.  Akhirnya aku pun bertransformasi di dunia pendidikan anak usia dini.
Sebuah perubahan yang menjadi pilihanku. Aku ingin anak-anak didikku mendapatkan siraman edukasi yang membentuk karakter manusia seutuhnya.
***
Membangun peradaban melalui pendidikan dan bimbingan
Membangun peradaban tentu tidak bisa dilepaskan dari manusia sebagai subjek individu. Sejak dalam janin hingga menjadi manusia dewasa yang terjun ke masyarakat. Seorang anak mendapatkan pengasuhan, pendidikan dan bimbingan agar ia dapat menjadi pribadi yang bertanggung jawab atas dirinya sendiri dan lingkungannya.
Cerita dari seorang wali murid: "Miss, saya malu banget ketika kami berlima sedang antre untuk mendapatkan tiket pertunjukan. Karena malas berdiri lama, saya kasih uang dan suruh asisten rumah tangga untuk titip orang yang berdiri paling depan. Eeh... tetiba Richard bilang 'Kenapa Mama enggak bisa sabar ya! Semua orang juga antre' ". Â Sontak saya kaget dan menjawab, "Memang kenapa? Supaya cepat dong, Nak!"
"Ma, kata Miss kita harus sabar. Nanti juga kebagian! Jangan berebutan" jawabnya.
Kisah lain yang juga disampaikan oleh seorang guru kepadaku. "Miss, tahu enggak? Kemarin kan kita membahas tentang penyebab banjir. Ada anak yang mengadu kalau papanya suka buang sampah lewat jendela kaca mobil. Kemudian ia bilang 'Pa, jangan buang sampah di jalan nanti rumah kita banjir loh'. Akhirnya si papa batal melakukannya."
Masih banyak cerita menarik lainnya yang membuatku semakin bergairah berkutat di dunia anak. Simpel, sederhana sepadan dengan tingkat pemahaman anak usia prasekolah. Â Simak terus cerita Mettasik.
Dahsyat ya, satu orang anak mempengaruhi keluarga inti. Lalu keluarga ini menularkan kebiasaan baik kepada keluarga besarnya dan seterusnya. Andaikan itu dilakukan oleh sepuluh orang anak, seratus anak, bahkan seribu anak. Terbayang ya, dampak dari efek domino ini luar biasa.
Kebajikan besar atau kecil, sengaja atau tidak disengaja, terlihat ataupun tidak, semua akan memberikan dampak dan membawa perubahan lebih baik. Perubahan itu pasti tapi kebajikan harga mati.
Ayo, kita bersama-sama bergabung menjadi bagian penabur kebajikan. Niscaya hidup bahagia dan berkecukupan akan setia mendampingi kita.
"Janganlah meremehkan kebaikan (dengan berpikir), 'Kebaikan sedikit akan tidak berakibat.' Belanga pun akan penuh dengan tetes demi tetes air. Demikianlah, orang bijak dipenuhi kebaikan yang ia timbun sedikit demi sedikit." (Dhammapada 122)
Semoga semua makhluk hidup berbahagia.
**
Jakarta, 18 Agustus 2022
Penulis: Iing Felicia, Kompasianer Mettasik
Praktisi Pendidikan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H